Orang Papua Su Merdeka Dalam Doa


Oleh; Lucky Matui
Doc. CNN Indonesia

Kebebasan dalam mengungkapkan pikiran dan pendapat adalah hak setiap orang atau kelompok. Ekspresi itu adalah untuk memperoleh pengakuan akan hak hidupnya di mata orang lain, kelompok masyarakat, institusi penguasa dan bahkan dunia. Ini adalah hak pemberian Tuhan.

Semejak Papua masuk ke dalam NKRI, semangat dan tekad memperjuangkan kemerdekaa tercetus dan berjalan sampai saat ini. OPM (Organisasi Papua Merdeka) merupakan buah dari semangat dan tekad nilai perjuangan itu. Berbagai aksi dan tindakan kelompok-kelompok penuntut hak dan para aktivis kemanusiaan begitu mengalir deras, dan sangat sulit untuk dibendung. Pada prinsipnya, perjuangan kemerdekaan orang Papua merupakan cara untuk menarik perhatian dan dukungan akan hak hidup yang sedang menuju pada pemunahan rasnya.

Ekspresi hati dan pikiran orang-orang Papua, menuntut kebebasan haknya dari Indonesia –yang dari dahulu sampai sekarang ini dipahami sebagai “penjajah”– untuk mengembalikan kedaulatan atas negerinya sendiri. Hal itu tergambar jelas pada semangat para Martir Pejuang Papua yang telah gugur di medan perjuangan.

Ekspresi hati dan pikiran bukan hanya dalam bentuk perjuangan fisik, tetapi dalam berbagai macam bentuk yang dilakukan. Misalnya dalam bentuk seni budaya, Arnold Clemen Ap bersama Group Mambesak, melantungkan perasaannya lewat lagu dan tari tentang perjuangan ini. Selain itu, satu bentuk ekspresi hati orang Papua terhadap jati dirinya tergambar jelas di dalam setiap doa kepada Tuhan.

Doa merupakan sarana primer orang Kristen Papua dalam mengungkapkan penderitaan; ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketidakjujuran yang dilakukan “penjajah” Indonesia.

Saya pernah bertemu dengan seorang ibu, dia merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan Papua, yang telah mengabdikan dirinya dalam perjuangan Papua Merdeka.

Sang ibu itu kini telah berusia 80 tahun, kulit tubuhnya telah menjadi kendor dan rambut di kepalanya pun telah beruban.

“Semenjak saya masih muda, saya rindu sekali agar Tanah Papua ini harus cepat merdeka. Waktu kami naikan bendera di Jayapura untuk pertama kalinya itu, saya menangis dan bertanya kepada Tuhan dalam doa, “Kapan, Tuhan, tanah Papua ini bisa tersenyum? Andaikata sekarang ini, bangsa penjajah (Indonesia) ini, kasih kemerdekaan untuk kami, mungkin saya akan terbang seperti burung surga, yaitu Cenderawasih, yang terbang bebas, menyanyi tentang nyanyian kebebasan,” demikian tutur ibu ini. Diskusi kami begitu hangat dan menarik, sampai-sampai sang aktivis perempuan Papua ini, sesekali mengusap tetes air matanya yang mengalir pada kerutan pipinya. “Pendeta, kitong su tra bisa lagi berjuang dengan kitong punya kekuatan sendiri. Kitong harus setia berdoa dan minta Tuhan Yesus kasih kekuatan, agar kitong bisa pake untuk berjuang untuk dapat merdeka. Sebab, hanya dengan doa, kebersamaan dan selalu punya semangat dalam perjuangan ini, kita pasti merdeka. Seperti kata Ottow dan Geissler, saat mereka dua mendarat di Pulau Mansinam: ‘In Gottes Name Betraiten Wir das Land’ (Dalam Nama Tuhan, Kami Menginjak Tanah ini). Jadi, perjuangan kemerdekaan ini kitong harus dan tetap harus landasi dengan nama Tuhan. Mama yakin, kitong pasti Merdeka! Ya…, sekarang mama sudah tua, mungkin saya tidak bisa ikut tersenyum dengan kamu yang kelak menikmati kebebasan itu, tapi…, yang penting saya sudah ikut berjuang, walau dalam doa di usia senja ini. Saya tidak tahu kapan ajal menjemput saya, tapi saya akan selalu berdoa untuk perjuangan Papua Merdeka, sampai maksud Tuhan terjadi,” tutur ibu ini dengan suara yang gemetar karena tangisnya.

Oleh karena waktu sudah mulai malam, saya dan aktivis perempuan ini mengakhiri ceritanya. Namun, sebelum mengakhiri cerita itu, saya mencoba menulis sebuah syair lagu dengan judul “Kapan Papua Tersenyum,”dan memperdengarkan di depan aktivis Papuana itu:
Bila nanti, kulihat dalam hidupku
Bila nanti, ajaib Tuhan terjadi
Hati ini terbang bagi burung sorga
Kapan, Tuhan
Bila nanti, kulihat kasih sayangMu
Bila nanti, ajaibMu menghampiriku
Nafas ini rindu tersenyum abadi
Kapan, Tuhan
Kapan lagi kebebasan kan terjadi
Kapan lagi nafas kan tersenyum
Cukup sudah derita yang kualami
Cukup sudah kumelangkah jauh
Kapan lagi, kapan, Tuhan??
Kapan lagi, Papua tersenyum!!
(Sentani, Medio, Juni 2012)

Doa tentang kemerdekaan orang Papua seiring berjalannya waktu. Semenjak 1965 OPM tercetus dan mulai bergerak memperjuangkan hak kemerdekaannya di depan mata Indonesia, orang-orang Papua setia berdoa dan bertanya kepada Tuhan tentang kapan kebebasan itu diraih. Institusi Gereja yang pada waktu itu bergerak mendukung hak hidup penduduk Papua adalah GKI Di Tanah Papua (Gereja Kristen Injili Di New Guinea), dicap sebagai “gereja OPM,” yang membonceng pergerakan Papua Merdeka. Banyak guru-guru YPK-GKI Di Tanah Papua harus menjadi korban kekerasan dan pembantaian. Akibatnya, peranserta GKI demi kemanusiaan manusia Papua tidak berjalan semaksimal, karena tekanan politik Indonesia.

Pdt. F.J.F Rumainum, Ketua Sinode I GKI Di Tanah Papua pada waktu itu, demi keselamatan hidup manusia Papua dari pembantaian masal Indonesia, harus mengorbankan kemurnian hatinya untuk merdeka. Papua dalam keadaan terpaksa masuk NKRI dalam kondisi karbit.

Pengalaman sejarah masa lalu itu membuat berbagai institusi Gereja di Papua begitu hati-hati dalam menentukan sikapnya terhadap politik yang terjadi di Papua. Beberapa tahun terakhir ini GKI bersama Gereja-gereja Kristen lainnya mulai gencar bersuara tentang Hak Azasi Manusia Papua di depan pendengaran Indonesia.

Dr. Benny Giay, seorang aktivis Gereja yang dengan lantang bersuara tentang hak hidup manusia Papua, harus mendapat tekanan dari pihak penguasa. Apakah Gereja harus diam? Ohhh, tidak sama sekali! Gereja Kristen dan umatnya di Papua hingga saat ini tetap berjuang melawan ketidakadilan yang sedang berlaku di atas tanahnya. Walaupun sungguh sulit untuk seorang hamba Tuhan (Pendeta) mendoakan perjuangan Papua Merdeka di atas mimbar-mimbar Gereja, tetapi pokok doa itu tetap terukir di dalam mezbah Allah, walau tak terucap. Doa tentang Papua Merdeka di kalangan Orang Asli Papua (OAP) tidak pernah berhenti, seperti tutur seorang aktivis perempuan Papua di atas. Doa Orang Asli Papua (DOAP) tentang sebuah kemerdekaan tetap berkumandang, baik dalam bentuk nyannyian, tari dan simbol-simbol berbagai budaya Papua, tetap dikumandangkan ke Surga, sampai Tuhan bertindak menjawab.

Bila nanti Anda menyanyikan lagu-lagu hasil karya I.S. Kijne, seperti Mazmur dan Nyanyian Rohani, Suara Gembira, Seruling Mas; dan bila membaca buku Kota Mas, tentunya Anda akan menjumpai di dalam karya termasyur tokoh pendidikan Papua ini, sebuah harapan akan kebebasan di atas Negeri Matahari Terbit, Papua. Itu Doa Orang Asli Papua (DOAP). Semoga bermanfaat!. ***


Posting Komentar

0 Komentar