Biodiversity Papua, Sebuah Ironi


Oleh; Ricky Waromi, S.Sos*



Konservasi di Papua, bukan merupakan sebuah hal yang baru di dengar oleh orang Papua, berbagai kegiatan telah dilakukan untuk melindungi dan melestarikan alam Papua. Tetapi kenyataan menunjukan angka kerusakan lingkungan di Papua terus meningkat. Dalam pertemuan Sustanaible Forest Development yang dilaksanakan di Manila pada tanggal 27-28 Mei-1993 dikatakan bahwa Indonesia akan menghadapi krisis hutan hujan tropis dalam kurun waktu 25 tahun yang akan datang. Bilamana tidak ada kebijakan baru yang mengacu kepada pelestarian dan perlindungan terhadap 109 juta hektare hutan hujan tropis Indonesia. Maka Indonesia akan kehilangan keseluruhan hutan tropis dengan total luas 60,56 juta ha.


Dari total kerusakan yang ada, Papua merupakan wilayah yang mengalami kerusakan yang cukup memprihatinkan dengan cakupan deforestasi yang terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Data Pemerintah RI menyebutkan, pada 2005-2009 luas hutan Papua berkisar 42,22 juta hektar. Tapi berselang tiga tahun kemudian (2011) mengalami degradasi hingga tersisa 30,07 juta hektar, dengan rata-rata deforestasi di Papua berkisar 143.680 hektar per tahun.


Sedangkan laju deforestasi di Provinsi Papua Barat per tahun rata-rata sebesar 293 ribu hektar atau 25 persen. Dari fakta tersebut, organisasi lingkungan internasional Greenpeace mencatat luasan hutan Papua yang hilang pada periode 2000-2009 berkisar 8,19 juta hektar atau rata-rata 910.000 hektar hutan hilang tiap tahun, terutama hutan hujan tropis Papua yang saat ini menjadi salah satu paru-paru dunia bersama hutan Amazone di Brazil dan Kongo di Afrika.
 
foto; lahan sawit, greepeace

Dari catatan Greenpeace, sekitar 300 ribu hektar hutan Papua rusak tiap tahun. Perkebunan kelapa sawit berskala raksasa dan aktifitas pertambangan  menyumbang kerusakan terbesar. Permasalahan ini bila tidak diatasi, bukan mustahil hutan Papua bakal musnah dalam hitungan beberapa tahun ke depan. Yang memprihantinkan, musnahnya hutan Papua di dorong oleh faktor pendukung lainnya seperti penebangan liar, LSM lingkungan Telapak pada 2007 mencatat setiap bulan sekitar 300 ribu meter kubik kayu ditebas dari hutan Papua sehingga tiap tahun ada sekitar 1 juta hektar hutan rusak. Pembalakan hutan Papua umumnya dilakukan perusahaan kayu yang memiliki izin. Tapi dilakukan di luar lahan konsensinya. Dikuatirkan, bila penebangan liar tidak segera dihentikan, LSM lingkungan memperkirakan akumulasi dari berbagai kegiatan tersebut  tahun 2020 hutan Papua bakal musnah.


Dari bergai sumber informasi yang ada menunjukan berbagai kegitan pembangunan dibidang Industri semenjak Orde baru hingga era reformasi dalam konteks pembangunan nasional mengejar laju pertumbuhan ekonomi dengan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada. Kendati harus di akui adanya perkembangan dengan pertumbuhan Ekonomi, Industrilisasi, teknologi dan informasi, tetapi semua itu hanya terpusat pada wilayah-wilayah tertentu.


Di Papua industri perkebunan sawit berada tujuh kabupaten, kabupaten itu adalah  Merauke (150.872 hektare/ha), Kabupaten Sarmi (71.889 ha), Kabupaten Kerom (18.338 ha), Kabupaten Jayapura (99.737 ha), Kabupaten Nabire (17.000 ha), Mimika (77.660 ha), dan Kabupaten Boven Digoel (385.167 ha) dengan total pemanfaatan 820.663.


Salaha satu contoh yang mungkin dapat saya gambarkan dampak dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas perkebunan kelapa sawit di Papua yang terjadi pada orang Abrab yang mendiami wilayah Arso Kabupaten Keerom. Beberapa tokoh masyarakat mengatakan bahwa semenjak investasi perkebunan kelapa sawit masuk ke daerah mereka pada tahun 1982 hingga saat ini kurang lebih 34 Tahun kami Orang Abrab hanya mendapat penderitaan dari kerusakan lingkungan yang ada, berupa banjir dan kelangkaan sumberdaya alam hutan sebagai tempat berbagai aktifitas kehidupan dan kebubayaan mereka hilang ditelan perubahan.


Hingga saat ini  orang Abrab masih hidup dengan pola sub sistem dengan manggantungkan hidupnya di hutan, tetapi kenyataan yang ada menurut masyarakat kehidupan sudah semakin sulit hutan yang tadi menjadi sumber penghidupan dengan menyediakan hasil buruan, tumbuhan yang bermanfaat sebagai tanaman obat, pohon sagu sebagai sumber makanan pokok dan kayu sebagai bahan dasar pembuatan rumah semuanya telah berubah menjadi perkebunan sawit.


Tidak mengherankan bahwa masyarakat mengatakan bahwa kami akan  kehilangan kearifan lokal dan budaya kami, karena alam tempat kami berkarya untuk menurunkan apa yang menjadi tradisi kami telah dirubah kedalam sebuah konsep pembangunan yang berwawasan Industri yang sangat jauh dengan tradisi kami sebagai masyarakat peramu.


belum lagi ditambah dengan kerusakan yang disebabkan oleh berbagai kegiatan pertambangan yang dilakukan di Papua, terutama PT Freepor Indonesia yang memiliki wilayah konsesi pertambangan terbesar di Papua semenjak tahun 1967 beroperasi di Papua wilayah konsesi PT Freeport Indonesia mencapai 100.000 ha dan terus meningkat dalam Kontark Karya kedua luas konsesi PT Freeport Indoesia bertambah menjadi 2,6 juta ha hingga tahun 2021 berlaku per tanggal 30 Desember 1991. Pemanfaatan lahan dan hutan untuk kegiatan aktifitas Industri pertambangan dengan membabat habis seluruh hutan yang ada  memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat Amungme dan Komoro yang tinggal disekitar wilayah operasi kegiatan PT Freeport Indonesia.


*Ricky Waromi, S.Sos, adalah pemerhati masalah lingkungan Papua


Posting Komentar

0 Komentar