foto; dok. kosapa |
Jarum jam telah menujukan pukul 22.30 WIT, masih seperti malam sebelumnya, aktifitas di Lab. Antropologi seakan tidak ada habis-habisnya. Setiap orang yang berada pada tempat tersebut masih fokus dengan kesibukannya sendiri-sendiri. Di ruangan bagian tengan kk Binsar dan Tim pemetaan wilayah perbatasan masih berpacu untuk memfinalisasi penyelesaian dokumen penelitian mereka, sedangkan ruangan sebelah kanan (Rektorat Universitas Kaki Abu) ada beberapa teman-teman yang sedang asik mengutak-atikan laptopnya, memanfaatkan fasilitas wifi gratis milik Fakultas Hukum Uncen.
Mat malam kaka boss !!!
Suara itu tak asing di telinga
saya, ternyata benar tepat di belakang saya ade Frengki dengan gaya khasnya
yang santun datang menghampiri seraya memijat pundak. Frengki adalah salah satu
dari beberapa mahasiswa aktif Antropologi yang menjadi penghuni Lab.
Antropologi. Para-para adat Gatrocen (Gabungan Anak Antropologi Universitas
Cenderawasih), begitulah istilah akrab anak Antropologi.
“Ade ganteng thanks, ko ambil kursi, kaka mau cerita dengan ko,” ujar saya
seraya memintanya mengambil kursi dan duduk disamping saya. Mungkin berbagi
cerita dengan Frengky dapat menghilangan penat dan rasa jenuh, setelah seharian
saya melakukan rutinitas di Lab. Antro hingga pukul 18.00 WIT.
“Ade ganteng, sekarang ko cerita
kenapa ko bisa datang kuliah di Jayapura, kenapa tidak di Manokwari atau keluar
Papua saja?”
Sambil tersenyum dan tersipu
malu, dengan suara terbata-bata frengki menjawab, “Adoh kaka boss, trada. Memang
dari Yahokimo dulu sa su ingin kuliah di Jayapura, karna ada kaka.”
Dengan nada yang datar saya
melanjutkan bertanya “iyo sudah bagus, tapi Sebelumnya ade ko sudah pernah ke
Jayapura ka?”
“Belum pernah kaka boss, pass
kuliah ini saja yang sa ke Jayapura,” jawaban yang singkat dan membuat
penasaran, memancing saya untuk terus bertanya. Malam itu saya menjadi antusias
untuk terus bertanya dengan kekonyolan berfikir saya.
“Ade ganteng, bagaiman ko datang
ke Jayapura, sedangkan ko belum pernah ke Jayapura, ko punya gambaran mengenai
Jayapura ka?”
Kaka boss, sa punya cerita lucu
ni, sa dari Wamena naik pesawat sampe tiba di bandara Sentani baru sa telp sa kaka
dorang datang jemput saya. Dulu waktu di Yahokimo itu sa biasa tanya kaka dong
yang pernah ke Jayapura, “Jayapura itu kotanya seperti apa?”
“Aeeh Jayapura itu bahaya, mobil itu jalan di
pingging-pinggir gunung, kalau jatuh itu langsung masuk ke dalam air di danau Sentani.
Di Jayapura mobil dengan motor banyak skali, kalau ko mau menyebrang jalan itu
ko bisa tunggu dari pagi sampe sore baru ko bisa menyebrang. Terus di Jayapura
itu ada jalan yang putar-putar (lingkaran Abe).”
Setelah saya di Jayapura, ternyata
info yang mereka sampaikan mengenai Jayapura hanyalah sebuah kabualan, yang
menggunakan majas hiperbola. Karena terlelu asyik baku cerita, kami dua tidak
menyadari bahwa kaka Binsar dan Tim yang sedang fokus bekerja merasa terganggu.
Kaka Binsar pun menegur kami berdua, “Ulim, kam dua tra papa ka?”
“Om Bin, Sorry ade tong dua terlalu asik cerita mengenai Frengki punya kisah
jadi.”
Stevanus Payokwa pun tak mau
ketinggalan, Ia datang menghampiri dan mengambil bagian dalam diskusi kami
berdua.
“Karr, diskusi hangat, mari
gabung,” ajak saya.
“Ade Frengki, awas jangan terlalu
serius nanti kaka David dia bisa isi ko dalam karung, hahahaaa,” kata Payokwa
sambil tertawa.
Ada satu pertanyaan yang belum
dijawab oleh frengki, yaitu mengenai “LAUT”, saya menjadi sangat penasaran,
bagaiman pendepat dia mengenai laut dan bagaimana reaksinya pada saat melihat
laut.
“Ade ganteng, tadi ko belum kas
tau mengenai laut, ko punya reaksi bagaimana saat ko lihat laut, terus kapan
pertama kali ko lihat laut?”
“Adoh kaka boss, ini yang paling
parah, hahahaa” jawab Frengki. Lantas iapun mulai cerita, pertama kali sa lihat
laut waktu itu sa pu kk dong pernah ajak sa ke Abe Pante, tapi itu cuma lewat
saja. Kedua saat kita pergi inisiasi di Skow. Sa su tau Laut tapi cuma lihat
dari jauh saja, jadi Pass malam di tempat inisiasi kaka panitia dong kasi waktu
lima menit untuk yang mau buang air besar pergi ke laut. Sa tra rasa buang air
tapi karna mau lihat laut dari jarak dekat, jadi sa juga ikut teman-teman dong
yang lari ke laut.
Waktu sa lihat pasir yang kena
air laut itu, kelihatannya macam licin. Sa jalan pelan skali, raba-raba deng
kaki karena takut talucur baru masuk ke dalam air laut. Ternyata pasir itu tra
licin. Selama ini sa juga cuma dengar orang cerita kalau air laut itu asin, jadi
pass di laut hal pertama yang sa buat, sa coba minum air laut dan ternyata
betul air laut itu asin. Sa juga kira laut itu macam di kali yang ada batu-batu
kecil tapi ternyata trada.
Stevanus Payokwa lalu berbagi
cerita mengenai salah satu teman angkatan dari Frengki yang pada saat mengikuti
inisiasi dari jurusan Antropologi di kampung Skow. “Karr, ada Fregki dong punya
teman satu juga yang pada saat panitia persilahkan dong mandi, de punya
teman-teman lain jalan menuju beberapa kamar mandi di belakang rumah warga, tapi
pace ini trada, de ambil sabun baru lari menuju laut mandi di air asin pake
sabun”
Kami tertawa dengan rasa yang ada
bercampur aduk, antara lucu, terharu dan sedih. Namun itulah kisah bagaimana
Frengky dan teman-temannya beradaptasi di kota Jayapura. Frengki telah
selangkah lebih maju dengan membuka lembaran baru kehidupannya, seorang pemuda dari
Yali yang merantau ke kota studi Jayapura, dengan berbekal semangat.
Di akhir cerita, saya berbagi pengalaman dengan Frengky, “Ini adalah Jayapura ade ganteng, bukan Yahokimo. Kota ini “jahat”, tidak sedikit orang-orang di Jayapura penuh dengan segalah tipu muslihat, tapi ko sedikit beruntung karna Tuhan ijinkan ko bisa menjadi bagian dari keluarga besar Antropologi. Ko punya tujuan datang ke Jayapura itu untuk kuliah, jadi jangan salah gunakan kesempatan yang Tuhan berikan. Dan terkhir terimakasih ko sudah mau berbagi cerita dengan kaka dan Payokwa.”
*David Ulim; adalah mantan Mahasiswa Antropologi Uncen, penghuni Para-Para.
0 Komentar