Para-Para Yang Hangat

Oleh; David Ulim*
foto; dok. kosapa


Jarum jam telah menujukan pukul 22.30 WIT, masih seperti malam sebelumnya, aktifitas di Lab. Antropologi seakan tidak ada habis-habisnya. Setiap orang yang berada pada tempat tersebut masih fokus dengan kesibukannya sendiri-sendiri. Di ruangan bagian tengan kk Binsar dan Tim pemetaan wilayah perbatasan masih berpacu untuk memfinalisasi penyelesaian dokumen penelitian mereka, sedangkan ruangan sebelah kanan (Rektorat Universitas Kaki Abu) ada beberapa teman-teman yang sedang asik mengutak-atikan laptopnya, memanfaatkan fasilitas wifi gratis milik Fakultas Hukum Uncen.


Mat malam kaka boss !!!


Suara itu tak asing di telinga saya, ternyata benar tepat di belakang saya ade Frengki dengan gaya khasnya yang santun datang menghampiri seraya memijat pundak. Frengki adalah salah satu dari beberapa mahasiswa aktif Antropologi yang menjadi penghuni Lab. Antropologi. Para-para adat Gatrocen (Gabungan Anak Antropologi Universitas Cenderawasih), begitulah istilah akrab anak Antropologi.


“Ade ganteng thanks, ko ambil kursi, kaka mau cerita dengan ko,” ujar saya seraya memintanya mengambil kursi dan duduk disamping saya. Mungkin berbagi cerita dengan Frengky dapat menghilangan penat dan rasa jenuh, setelah seharian saya melakukan rutinitas di Lab. Antro hingga pukul 18.00 WIT.


“Ade ganteng, sekarang ko cerita kenapa ko bisa datang kuliah di Jayapura, kenapa tidak di Manokwari atau keluar Papua saja?”


Sambil tersenyum dan tersipu malu, dengan suara terbata-bata frengki menjawab, “Adoh kaka boss, trada. Memang dari Yahokimo dulu sa su ingin kuliah di Jayapura, karna ada kaka.”


Dengan nada yang datar saya melanjutkan bertanya “iyo sudah bagus, tapi Sebelumnya ade ko sudah pernah ke Jayapura ka?”


“Belum pernah kaka boss, pass kuliah ini saja yang sa ke Jayapura,” jawaban yang singkat dan membuat penasaran, memancing saya untuk terus bertanya. Malam itu saya menjadi antusias untuk terus bertanya dengan kekonyolan berfikir saya.


“Ade ganteng, bagaiman ko datang ke Jayapura, sedangkan ko belum pernah ke Jayapura, ko punya gambaran mengenai Jayapura ka?” 


Kaka boss, sa punya cerita lucu ni, sa dari Wamena naik pesawat sampe tiba di bandara Sentani baru sa telp sa kaka dorang datang jemput saya. Dulu waktu di Yahokimo itu sa biasa tanya kaka dong yang pernah ke Jayapura, “Jayapura itu kotanya seperti apa?” 


 “Aeeh Jayapura itu bahaya, mobil itu jalan di pingging-pinggir gunung, kalau jatuh itu langsung masuk ke dalam air di danau Sentani. Di Jayapura mobil dengan motor banyak skali, kalau ko mau menyebrang jalan itu ko bisa tunggu dari pagi sampe sore baru ko bisa menyebrang. Terus di Jayapura itu ada jalan yang putar-putar (lingkaran Abe).”


Setelah saya di Jayapura, ternyata info yang mereka sampaikan mengenai Jayapura hanyalah sebuah kabualan, yang menggunakan majas hiperbola. Karena terlelu asyik baku cerita, kami dua tidak menyadari bahwa kaka Binsar dan Tim yang sedang fokus bekerja merasa terganggu. Kaka Binsar pun menegur kami berdua, “Ulim, kam dua tra papa ka?”


“Om Bin, Sorry ade tong dua terlalu asik cerita mengenai Frengki punya kisah jadi.”


Stevanus Payokwa pun tak mau ketinggalan, Ia datang menghampiri dan mengambil bagian dalam diskusi kami berdua. 


“Karr, diskusi hangat, mari gabung,” ajak saya.


“Ade Frengki, awas jangan terlalu serius nanti kaka David dia bisa isi ko dalam karung, hahahaaa,” kata Payokwa sambil tertawa.


Ada satu pertanyaan yang belum dijawab oleh frengki, yaitu mengenai “LAUT”, saya menjadi sangat penasaran, bagaiman pendepat dia mengenai laut dan bagaimana reaksinya pada saat melihat laut.


“Ade ganteng, tadi ko belum kas tau mengenai laut, ko punya reaksi bagaimana saat ko lihat laut, terus kapan pertama kali ko lihat laut?”


“Adoh kaka boss, ini yang paling parah, hahahaa” jawab Frengki. Lantas iapun mulai cerita, pertama kali sa lihat laut waktu itu sa pu kk dong pernah ajak sa ke Abe Pante, tapi itu cuma lewat saja. Kedua saat kita pergi inisiasi di Skow. Sa su tau Laut tapi cuma lihat dari jauh saja, jadi Pass malam di tempat inisiasi kaka panitia dong kasi waktu lima menit untuk yang mau buang air besar pergi ke laut. Sa tra rasa buang air tapi karna mau lihat laut dari jarak dekat, jadi sa juga ikut teman-teman dong yang lari ke laut. 


Waktu sa lihat pasir yang kena air laut itu, kelihatannya macam licin. Sa jalan pelan skali, raba-raba deng kaki karena takut talucur baru masuk ke dalam air laut. Ternyata pasir itu tra licin. Selama ini sa juga cuma dengar orang cerita kalau air laut itu asin, jadi pass di laut hal pertama yang sa buat, sa coba minum air laut dan ternyata betul air laut itu asin. Sa juga kira laut itu macam di kali yang ada batu-batu kecil tapi ternyata trada.


Stevanus Payokwa lalu berbagi cerita mengenai salah satu teman angkatan dari Frengki yang pada saat mengikuti inisiasi dari jurusan Antropologi di kampung Skow. “Karr, ada Fregki dong punya teman satu juga yang pada saat panitia persilahkan dong mandi, de punya teman-teman lain jalan menuju beberapa kamar mandi di belakang rumah warga, tapi pace ini trada, de ambil sabun baru lari menuju laut mandi di air asin pake sabun”


Kami tertawa dengan rasa yang ada bercampur aduk, antara lucu, terharu dan sedih. Namun itulah kisah bagaimana Frengky dan teman-temannya beradaptasi di kota Jayapura. Frengki telah selangkah lebih maju dengan membuka lembaran baru kehidupannya, seorang pemuda dari Yali yang merantau ke kota studi Jayapura, dengan berbekal semangat.

Di akhir cerita, saya berbagi pengalaman dengan Frengky, “Ini adalah Jayapura ade ganteng, bukan Yahokimo. Kota ini “jahat”, tidak sedikit orang-orang di Jayapura penuh dengan segalah tipu muslihat, tapi ko sedikit beruntung karna Tuhan ijinkan ko bisa menjadi bagian dari keluarga besar Antropologi. Ko punya tujuan datang ke Jayapura itu untuk kuliah, jadi jangan salah gunakan kesempatan yang Tuhan berikan. Dan terkhir terimakasih ko sudah mau berbagi cerita dengan kaka dan Payokwa.”

*David Ulim; adalah mantan Mahasiswa Antropologi Uncen, penghuni Para-Para.

Posting Komentar

0 Komentar