Biodiversity Papua, Sebuah Ironi (Bagian II)

Oleh; Ricky Waromi, S.Sos*


Dari aspek budaya, tanah adalah mama atau ibu. Ibu yang melahirkan, memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan hingga sekarang ini. Tanah beserta sumberdaya alam yang ada di dalamnya  baik itu hutan, hewan, tanaman dan hasil tambang adalah pemberian seorang Ibu untuk anak-anaknya. sangatlah menakjubkan bila kita perhatikan bagaimana struktur berpikir suku amungme yang begitu romantis dan sayang pada akirnya semuanya itu berakir tragis dengan berbagai kerusakan lingkungan yang terus terjadi.

Orang Amungme dan Komoro telah kehilangan hutan perburuan, karena hutan telah dialih fungsikan untuk kegiatan industri pertambangan, hutan sagu telah layu dan air sungai yang telah berubah warna yang disebabkan oleh limbah tailing perusahan dan tidak pantas lagi bagi kehidupan ekosistem sungai.

Penggalian Batu tambang baik gunung biji (Ertzberg) maupun Grasberg adalah suatu proses pembunuhan Ibu Kandung. Kepala sang mama sudah dihancurkan oleh mesin-mesin industri bagian badan yang daripadanya mengalir sungai otomona, Iwaka dan Ajkwa dengan mengakibatkan terjadinya pemusnahan hutan tropis seluas 3.300 ha,   dan sungai-sungai lainya telah berubah menjadi air kematian bagi suku Amungme dan Komoro, kerusakan yang terjadi dianggap sesuatu yang wajar oleh pemerintah walaupun sudah dikategorikan sebagai tindak kriminal di bidang lingkungan hidup.

Papua yang memberikan kontribusi dalam pembangunan sangat besar semenjak berintegrasi ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi dengan kekayaan sumberdaya alamnya baik itu hasil tambang, emas, minyak bumi dan hutan. Pembangunannya terkesan berjalan lambat, tetapi berbanding terbalik dengan laju kerusakan lingkungan yang terjadi dengan sangat cepat. Mengapa demikian? semua itu dikarenakan hasil dari keuntungan yang diperoleh dari sumberdaya alam yang dikelola tidak pernah sampai kepada orang Papua, agar dapat menata dan mengelola lingkungan hidupnya dengan baik. Kenyataan yang ada hingga saat ini orang Papua hanya menjadi korban dampak negatif yang begitu besar dari sebuah sentralisasi kebijakan ekonomi.

Hal ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hutan hujan tropis Papua yang kini terus menjadi buruan para investor dibidang ekonomi terutama di bidang perkebunan dan pertambangan yang kini telah merambah keseluruh daerah untuk menancapkan kekuasaan nya. Fenomena seperti ini seharusnya dapat membuka cakrawala berpikir bagi orang Papua, terutama para pemimpin yang memiliki kemampuan untuk mendorong perubahan dari sisi kebijakan, disertai dengan berbagai program yang dapat mendorong keterlibatan masyarakat untuk berperan aktif terhadap perlindungan hutan Papua dan Orang Papua. Mengingat sebagian besar orang Papua secara homogen hidup dikampung-kampung dengan pola hidup subsistem menggantungkan hidup dari hasil hutan.

Pembangunan alternatif merupakan hal yang terpenting yang harus dipikirkan tidak hanya berpikir investasi dalam skala besar dengan memanfaatkan pembukaan dan penebangan  hutan untuk kegiatan pekebunan dan pertambangan dengan manfaat yang diperoleh sangat kecil dari segi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja Orang Asli Papua dengan resiko kerusakan yang sangat besar, kerusakan-kerusakan tersebut akan mengancam keaneragaman hayati (Biodiversitas) yang ada di hutan hujan tropis Papua. 

Sebagai daerah yang memiliki megabiodiversity, Papua juga kaya akan tanaman obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, namun belum dikelola secara maksimal. Kekayaan alam tumbuhan di Papua merupakan tumbuhan berkhasiat obat (jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di Dunia). Potensi tanaman obat di Papua, termasuk tanaman obat yang tumbuh dihutan secara alami dan belum dikelola dalam pola budi daya, apabila dikelola dengan baik akan sangat bermanfaat dari segi ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan yang berekelanjutan. 

Potensi ini merupakan peluang besar bagi Negara berkembang mempunyai peranan penting dalam penyediaan bahan baku produk farmasi (38% untuk medical dan aromatic plants, 24% untuk vegetables saps dan extract, dan 11% untuk vegetables alkaloids). Tahun 2005, Uni Eropa tercatat sebagai net importir rempah dan herbal dengan total impor 358,2 ribu ton dan terus meningkat 4% per tahun sejak tahun 2003. Sebanyak 60% dari total rempah dan herbal Uni Eropa berasal dari negara berkembang, namun bukan berasal dari Indonesia melainkan Cina, India, Maroko dan Turki. 

Ini merupakan peluang bagi Indonesia secara khusus Papua untuk pengembangan ekspor tanaman obat ke pasar Uni Eropa. Dengan pola perencanaan pembangunan yang baik tentunya akan memberikan manfaat dari sisi ekonomi baik kepada masyarakat maupun lingkungan tempat dimana mereka berada, mengurangi eksploitasi sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan kerusakan yang begitu besar, semuanya itu menjadi peluang dan tantangan kedepan dalam membangun Papua.

Tetapi untuk mewujudkan semua itu tentunya membutuhkan sebuah kerja keras dan komitmen dan hal itu saat ini yang menjadi pertanyaan mendasar bagi kami Orang Papua sampai kapan kah nyanyian perlindungan yang di nyanyikan diatas panggung  Conservasi  ini  dikumandangkan dan memberikan rasa damai yang berujung pada kesejahteraan bagi orang Papua diatas tanah dan hutan kami, atau orang Papua akan  hidup dibawa bayang- bayang  nyanyian  sebuah lagu indah   berjudul conservasi yang bercerita tentang perlindungan, sebuah kehidupan yang harmonis dan lestari yang tak pernah menjadi kenyataan.

Kami tidak ingin tanah ini menjadi ladang dari berbagai praktik kebijakan busuk dan merupakan tempat persinggahan kendaraan kaum kapitalis dan kelompok penguasa yang terus datang dan pergi membawa semua yang menjadi hak keseulungan kami orang Papua, karena kehidupan untuk kami tidak berakhir untuk hari ini saja, tetapi masih ada hari esok oleh karena itu kami harus meninggalkan sesuatu yang baik  disaat ini dan itu merupakan warisan yang kami miliki kepada anak cucu kami seperti yang telah diberikan oleh pendahulu kami. 

*Ricky Waromi, S.Sos, adalah pemerhati masalah lingkungan Papua

Posting Komentar

0 Komentar