Oleh;
Ricky Waromi, S.Sos*
Dari
aspek budaya, tanah adalah mama atau ibu. Ibu yang melahirkan, memberi makan,
memelihara, mendidik dan membesarkan hingga sekarang ini. Tanah beserta
sumberdaya alam yang ada di dalamnya
baik itu hutan, hewan, tanaman dan hasil tambang adalah pemberian
seorang Ibu untuk anak-anaknya. sangatlah menakjubkan bila kita perhatikan
bagaimana struktur berpikir suku amungme yang begitu romantis dan sayang pada
akirnya semuanya itu berakir tragis dengan berbagai kerusakan lingkungan yang
terus terjadi.
Orang
Amungme dan Komoro telah kehilangan hutan perburuan, karena hutan telah dialih
fungsikan untuk kegiatan industri pertambangan, hutan sagu telah layu dan air
sungai yang telah berubah warna yang disebabkan oleh limbah tailing perusahan dan tidak pantas lagi
bagi kehidupan ekosistem sungai.
Penggalian
Batu tambang baik gunung biji (Ertzberg) maupun Grasberg adalah suatu proses
pembunuhan Ibu Kandung. Kepala sang mama sudah dihancurkan oleh mesin-mesin
industri bagian badan yang daripadanya mengalir sungai otomona, Iwaka dan Ajkwa
dengan mengakibatkan terjadinya pemusnahan hutan tropis seluas 3.300 ha, dan sungai-sungai lainya telah berubah
menjadi air kematian bagi suku Amungme dan Komoro, kerusakan yang terjadi
dianggap sesuatu yang wajar oleh pemerintah walaupun sudah dikategorikan
sebagai tindak kriminal di bidang lingkungan hidup.
Papua yang memberikan kontribusi
dalam pembangunan sangat besar semenjak berintegrasi ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi dengan kekayaan sumberdaya alamnya baik itu hasil tambang, emas, minyak bumi dan hutan. Pembangunannya terkesan berjalan lambat, tetapi berbanding
terbalik dengan laju kerusakan lingkungan yang terjadi dengan sangat cepat.
Mengapa demikian? semua itu dikarenakan hasil dari keuntungan yang diperoleh
dari sumberdaya alam yang dikelola tidak pernah sampai kepada orang Papua, agar
dapat menata dan mengelola lingkungan hidupnya dengan baik. Kenyataan yang ada
hingga saat ini orang Papua hanya menjadi korban dampak negatif yang begitu
besar dari sebuah sentralisasi kebijakan ekonomi.
Hal ini menjadi ancaman serius bagi
kelangsungan hutan hujan tropis Papua yang kini terus menjadi buruan para
investor dibidang ekonomi terutama di bidang perkebunan dan pertambangan yang
kini telah merambah keseluruh daerah untuk menancapkan kekuasaan nya. Fenomena
seperti ini seharusnya dapat membuka cakrawala berpikir bagi orang Papua,
terutama para pemimpin yang memiliki kemampuan untuk mendorong perubahan dari
sisi kebijakan, disertai dengan berbagai program yang dapat mendorong
keterlibatan masyarakat untuk berperan aktif terhadap perlindungan hutan Papua
dan Orang Papua. Mengingat sebagian besar orang Papua secara homogen hidup
dikampung-kampung dengan pola hidup subsistem menggantungkan hidup dari hasil
hutan.
Pembangunan alternatif merupakan hal
yang terpenting yang harus dipikirkan tidak hanya berpikir investasi dalam
skala besar dengan memanfaatkan pembukaan dan penebangan hutan untuk kegiatan pekebunan dan
pertambangan dengan manfaat yang diperoleh sangat kecil dari segi ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja Orang Asli Papua dengan resiko kerusakan yang sangat
besar, kerusakan-kerusakan tersebut akan
mengancam keaneragaman hayati (Biodiversitas) yang ada di hutan hujan tropis
Papua.
Sebagai
daerah yang memiliki megabiodiversity, Papua juga kaya akan tanaman
obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, namun belum dikelola secara
maksimal. Kekayaan alam tumbuhan di Papua merupakan tumbuhan berkhasiat obat
(jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di Dunia). Potensi tanaman obat
di Papua, termasuk tanaman obat yang tumbuh dihutan secara alami dan belum
dikelola dalam pola budi daya, apabila dikelola dengan baik akan sangat
bermanfaat dari segi ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan yang
berekelanjutan.
Potensi
ini merupakan peluang besar bagi Negara berkembang mempunyai peranan penting
dalam penyediaan bahan baku produk farmasi (38% untuk medical dan aromatic
plants, 24% untuk vegetables saps dan extract,
dan 11% untuk vegetables alkaloids). Tahun 2005, Uni Eropa
tercatat sebagai net importir rempah dan herbal dengan total
impor 358,2 ribu ton dan terus meningkat 4% per tahun sejak tahun 2003.
Sebanyak 60% dari total rempah dan herbal Uni Eropa berasal dari negara
berkembang, namun bukan berasal dari Indonesia melainkan Cina, India, Maroko
dan Turki.
Ini
merupakan peluang bagi Indonesia secara khusus Papua untuk pengembangan ekspor
tanaman obat ke pasar Uni Eropa. Dengan pola perencanaan pembangunan yang baik
tentunya akan memberikan manfaat dari sisi ekonomi baik kepada masyarakat
maupun lingkungan tempat dimana mereka berada, mengurangi eksploitasi
sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan kerusakan yang begitu
besar, semuanya itu menjadi peluang dan
tantangan kedepan dalam membangun Papua.
Tetapi untuk mewujudkan semua itu
tentunya membutuhkan sebuah kerja keras dan komitmen dan hal itu saat ini yang
menjadi pertanyaan mendasar bagi kami Orang Papua sampai kapan kah nyanyian
perlindungan yang di nyanyikan diatas panggung
Conservasi ini dikumandangkan dan memberikan rasa damai yang
berujung pada kesejahteraan bagi orang Papua diatas tanah dan hutan kami, atau
orang Papua akan hidup dibawa bayang-
bayang nyanyian sebuah lagu indah berjudul conservasi yang bercerita tentang
perlindungan, sebuah kehidupan yang harmonis dan lestari yang tak pernah
menjadi kenyataan.
Kami tidak ingin tanah ini menjadi
ladang dari berbagai praktik kebijakan busuk dan merupakan tempat persinggahan
kendaraan kaum kapitalis dan kelompok penguasa yang terus datang dan pergi
membawa semua yang menjadi hak keseulungan kami orang Papua, karena kehidupan
untuk kami tidak berakhir untuk hari ini saja, tetapi masih ada hari esok oleh
karena itu kami harus meninggalkan sesuatu yang baik disaat ini dan itu merupakan warisan yang kami
miliki kepada anak cucu kami seperti yang telah diberikan oleh pendahulu kami.
*Ricky Waromi, S.Sos, adalah pemerhati masalah lingkungan Papua
0 Komentar