Kontribusi Kearifan Lokal dalam Kebijakan Pembangunan

(Renungan Peringatan Bencana Banjir Bandang Wasior 04 Oktober 2010)
Oleh; Donal Kabiay, S.Sos*

Foto; CahayaPapua.com
Kearifan lokal atau yang dong bilang “local wisdom” dapat dipahami sebgai gagasan-gagasan masyarakat setempat (lokal) yg bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yg tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal itu terdapt dalam masyarakat, komunitas, dan individu. Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan pengetahuan tradisional yg menjadi acuan dalam berperilaku dan telah dipraktekan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dlm masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan manusia, adat dan budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan.

Masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan. Selalu ada keseimbangan antara manusia dan alam sekitarnya. Tidaklah heran jika lingkungan terpelihara degan baik. Namun, sangat di sayangkan akibat moderenisasi dan adanya pembangunan, lingkungan mulai tercemar sehingga akn menimbulkan dampak negatif. Padahal masyarakat adat dgn kearifannya sudah menjaga dan memelihara lingkungan hidup.

Lingkungan hidup merupakan bagian yg mutlak dari kehidupan tiap manusia dan makhluk lainnya, oleh karen itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan terhadapnya. Kenyataan menunjukan bahwa di Wondama sampai saat ini masih banyak terdapat masyarat asli atau masyarakat dengan hukum adat dan kapasitas budaya, sistem pengetahuan dan teknologi, religi, tradisi, serta modal sosial seperti etika dan kearifan lingkungan, norma-norma dan institusi hukum untuk mengelola sumberdaya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.

Di Wondama, dimana wilayahnya masih banyak terdapat masyarakat hukum adat yang memiliki kearifan lokal dan budaya yang sangat kental,  dalam pengelolaan sumberdaya alamnya terutama yg berbasis lingkungan. Budaya sasi, salah satu kearifan yang masih terpelihara adalah salah satu wujud nyata pengelolaan sumberdaya alam berbasis lingkungan.
 
Masyarakat adat sudah sangat menyatu degan alamnya sehingga mereka menghargai alam seperti halnya mereka menghargai diri mereka sendiri.
Kapasitas budaya seprti ini merupakan modal sosial yg tak ternilai dan wajib diperhitungkan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan dan sumberdaya laut, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan, dan norma-norma hukum lokal (folk/customary/hukum adat) merupakan kekayaan budaya yang haras diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan pembangunan oleh pemerintah mengenai pengelolaan sumber daya alam.

Pembangunan di Wondama mulai digiatkan semenjak terbentuknya Teluk Wondama menjadai Kabupaten pada tahun 2003. Seiring degan jalannya Pemerintahn dna pembangunan di Kabupaten Teluk Wondama, segala aktifitas pembangunan berlangsung di atas tanah adat dan gereja, masyarakat, jemaat serta lingkungan alam Wondama menjadi obyek dari pembangunan itu sendiri.
 
Proses pembangunan mulai berjalan terus degan aktifitasnya hingga memasuki tahun ke tujuh. Tangal 04 Oktober 2010, Kab. Teluk Wondama ditimpa bencana banjir bandang yang telah menelan banyak korban nyawa manusia, materi yang hilang serta beberapa rumah masyarakat dan gedung fasilitas pemerintah. Hasil dari pembangunan itupun ikut hancur oleh banjir bandang yang sangat dasyat itu. Hasil pembangunan selama 7 tahun itu dihancurkn oleh Banjir selama 7 jam.

Selama 7 tahun kita terbuai degan hadirnya Kabupaten dan pembangunan yang kita anggap sebagai berkat bagi kita, tapi kita salah tidak mensyukuri dan salah mempergunakan berkat itu, dan akhirnya menjadi bencana bagi kita. Yang jadi pertanyaan di sini adalah, kenapa sampai banjir sedasyat itu bisa terjadi setelah Wondama menjadi Kabupaten? Padahal sekian lama orang Wondama hidup degan iman percaya kepad Tuhan dan degan budayanya bersahabat degan alam tidak pernah ada Peristiwa Alam yang mengancam kehidupannya!

Sudah seharusnya kita perlu merenungkan pertanyaan dan pernyataan ini. “Apakah mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita? Tidak mungkin tong mo tanya pada rumput yang bergoyang to?”

Bagi saya ada yang sudah tidak sejalan, retak bahkan mungkin putus antara hubungan kita manusia dengan Tuhan sebagai pemberi hidup dan juga degan alam sebagai sahabat hidup kita. Jadi kita harus bertanya pada diri kita sendiri bukan pada rumput yang bergoyang. Apakah kita sudah selalu dan senantiasa mengucap syukur kepad Tuhan yg telah memberi berkat Kabupaten ini buat kita? Setiap ulang tahun Kabupaten (12 April) selalu ada ibadah pengucapan Syukur dan derma dari kita yang diberikan buat Tuhan ka? Apakah selama aktifitas pembangunan berlangsung kita ada menghargai budaya dan masih memperhitungkan alam sebagai sahabat kita? Kebijakan pembangunan dari pemerintah sudah berwawasan lingkungan? Apakah ada kontribusi kearifan lokal dalam setiap kebijakan pembangunan? Atau tong tunggu sampai Tuhan dan alam ini tegur degan banjir baru tong mau memperhitungkan itu!

Degan alasan Pembangunan, penguasaan dn pemanfaatan sumberdaya alam banyak di dominasi oleh negara (pemerintah) yang hanya mengejar kepentingan ekonomi yg menjadi penyebab utama terjdinya degradasi lingkungan. Selain itu penguasaan dan pemanfaatan lingkungan oleh negara (pemerintah) yg sentralistik, justru menutup ruang bagi masyarakat utuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam yg ada. Misalnya saja akses masyarakat tehadap hutan sebgai sumber hidup juga akses masyarakat terhadap laut dan pesisir yang tentunya menggusur serta mengabaikan nilai-nilai budaya lokal yang mncerminkan kearifan lingkungan masyarakat asli dalam pemanfaatan sumberdaya alam.

Memang kita semua sepakat bahwa pembangunan harus tetap dijalankan demi kemakmuran masyarakat, tapi tidak harus menggunakan pendekatan kebutuhan namun memakai pendekatan Hak Asasi Manusia. Dalam arti bahwa tidak karena atas nama pembangunan, pohon bambu yang dulu banyak dan menjadi penahan air ditebang untuk dibuat jalan raya, pemukiman masyarakat yg dulu jauh di pesisir pantai sudah pindah ke darat dekat sungai dan mengganggu sungai. Hutan yang dulu hijau di tebang sehingga fungsi hutan berubah, hak-hak masyarakat atas tanah dan lingkungan alam di sekitarnya diabaikan sehingga akses tehadap sumberdaya oleh masyarakat adat pun hilang dan lainnya. Akibatnya sprti yang terjadi sekarang ini. Banjir bandang datag baru kitong kaget.

Kita harus tahu juga bahwa Wondama, yang sekarag jadi Kabupaten ini, sarat dengan nilai-nilai budaya dan kearifannya sebagai pemberian dari Tuhan buat masyarakat adat di Wondama, wilayah dan simbol sakral yang selaras dgn cerita-cerita nenek moyang. Tanah, bukit, batu, sungai, bambu, rumput/alang-alang, hutan, gua dan bunyi-bunyian memiliki kekuatan gaib yang secara rasional tidak dapat diterima, tapi fakta menunjukan bahwa kekuatan itu memang diyakini dan dirasakan oleh masyarakat adat. Keberadaan simbol sakral ini merupakn warisan nenek moyang yg dulunya hidup beragantung pada alam.

Alam diyakini sebagai sumber penghidupan dan sumber kesejahteraan bagi leluhur masyarakat adat Teluk Wondama sehingga keseimbangan alam merupakan ”TUAN yang perlu dijaga dan dihormati”. Keyakinan tentang hal-hal yang sakral masih menjadi pegangan bagi masyarakat adat Teluk Wondama. Degan budayanya masyarakat hidup dalam upaya menjaga keseimbagan antara alam dan manusia. Makan dari hasil alam, mencari nafkah dari apa yang disediakan alam bahkan untuk membiayai pendidikan anak dan cucu dari hasil alam.

Masyarakat meyakini bahwa alam adalah ciptaan Tuhan yang diperuntukkan bagi mereka guna menghidupi dan melindungi manusia yg mendiami kawasan Teluk Wondama.

Warisan leluhur yg sdh ada sejak dahulu kala hingga saat ini masih diyakini merupkn kekayaan budaya yg perlu dikembangkan. Tempat keramat maupun cerita rakyat yg dituturkan secara turun-temurun tidak dilihat sebagai mitos tanpa konsekuensi logisnya. Tanah, bukit, sungai, batu, hutan, gua, atau rumput/alang-alang scra rasional memiliki manfaat untuk menjaga keseimbangan alam sedangkan bunyi-bunyian merupkn pertanda dan pengingat bagi masyarakat adat Wondama akan alam dan leluhur mereka.

Pada kenyataannya, bagi pelaku pembangunan sekarag ini, tempat keramat atau cerita rakyat tidak dilihat sebagai potensi untuk melestarikan alam yg sedang kritis, namun dipandang sebagai ancaman dan penghambat pembangunan. Sebagai akibatnya, semua sumber daya alam yang tersedia dilegalkan untuk dieksploitasi mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan. Padahal pembangunan yang ada sebagian besarnya telah menutup akses bagi masyarakat. Tidak ada keterlibatan langsung masyarakat, tidak ada tawar-menawar dan tidak ada konsultasi dengan masyarakat sebagai “penjaga” bahkan “pemilik” dari sumber daya yang ada. Masyarakat menjadi penerima pasif dari sesuatu yang disebut pembangunan. Pemerintah mengangap tempat keramat atau cerita yang diyakini masyarakat adalah mitos yang menghambat pembangunan, sehingga seolah-olah tidak ada dan tidak diperlukan. Jika demikian, ada dua hal yang menjadi bahan perenungan bersama, yaitu: Pembangunan untuk apa dan siapa? Dan pembangunan yang tidak sensitif terhadap keseimbangan alam merupkn bentuk undangan resmi untuk bencana!

*Donal Kabiay, S.Sos, mantan mahasiswa Antropologi Uncen.

Posting Komentar

0 Komentar