Oleh: Herman E. Degei
Hari ini adalah hari Rabu. Hari yang ke 30 di bulan November 2016. Besok
tanggal 1 Desember. Kau tentunya juga tahu, hari itu oleh masyarakat Papua
diperingati sebagai hari apa. Di hari yang sama, Polisi & TNI di Papua (dan
kota-kota lain yang ada masyarakat Papua) selalu siaga. Patroli dan razia
digelar dimana-mana itu sudah pasti. Dan.. Oh, sorry. Saya kembali ke topik.
Tadi pagi di kampus, seperti janji dosen pada
minggu lalu, dua kelompok maju untuk mempresentasikan makalahnya. Kelompok
pertama memaparkan tentang "Dampak Globalisasi dalam Sistem Sosial Budaya
Indonesia". Usai presentasi, ada sesi tanya-jawab. Disitu saya tidak
bertanya, sebab saya rasa jika pun saya bertanya, tentu yang pasti saya tanyakan
adalah pertanyaan retoris.
Kelompok pertama sudah. Kini kelompok kedua.
Melalui sarana powerpoint, mereka memaparkan makalah mereka tentang
"Integrasi Nasional". Bagi saya ini lebih sedikit menarik. Pasalnya
saya punya satu pertanyaan tentang yang ini (integrasi nasional). Tahap
pemaparan materi barlalu, kini masuk ke tahap tanya-jawab. Berhubung waktu,
kami hanya dikasih dua sesi (setiap sesi tiga penanya). Disesi pertama saya
acung tangan, dan bertanya.
“Kalau kita bahas mengenai integrasi nasional,
berarti kita bicara mengenai kesatuan. Nah, yang ingin saya tanyakan disini
adalah: jika suatu kelompok atau masyarakat menginginkan disintegrasi,
bagaimana cara yang pas untuk mencegah adanya disintegrasi tersebut, dan
memupuk integrasi nasional itu sendiri?”
Oh, iya. Sebelum saya menuliskan kembali jawaban
mereka atas pertanyaan saya disini, saya mau kasih tahu, bahwa saya bertanya
demikian karena lebih-lebih saya ingin tahu sejauh mana pemahaman dan tanggapan
mereka terkait kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari integrasi
nasional. Bukan sebab yang lain tentunya.
Tiba saat untuk menjawab pertanyaan, ketiga
teman yang adalah sasaran pertanyaan saya tidak lekas menjawab. Bergeming.
Mungkinkah karena rumit? Atau dirasa sensitif? Dewi (salah satu dari mereka)
mempersilahkan teman-teman sekelas yang lain untuk bantu menjawab. “Kalo
mengenai yang memupuk integrasi nasional, menurut saya, masyarakat yang ingin
memisahkan diri itu harus didekati. Trus, para pemuda juga mesti memaknai
momen sumpah pemuda, hari pahlawan dan lain-lain.” Salah satu teman kami bantu
menjawab. Sementara itu Dewi dan kawan-kawannya masih berembuk untuk menjawab
pertanyaan saya tadi.
Sedikit heran saja saya ketika itu. Pasalnya
suasana tak sekayak biasa. Dan dari raut wajah Dewi dan kedua temannya, seakan
mereka memeloloti saya dan bilang bahwa kenapa seorang saya harus gelontori
pertanyaan demikian? Tak adakah pertanyaan yang lain? Itu terkuak jelas.
“Kalau upaya untuk mencegah disintegrasi,
berarti para TNI/Polri harus berperan penting untuk menghentikan
gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan diri. Beri mereka efek jera.
Biar mereka serik.” Begitu Dewi menjawab. “Bagaimana, apakah pertanyaannya
dirasa terjawabkan?” Dewi tanya balik. Saya hanya bilang sudah, sembari
menggangguk. Lagi pula kala itu sudah di penghujung jam mata kuliah.
Prakira saya sejatinya adalah pasti ada yang
menjawab: untuk mencegah adanya disintegrasi, kita harus mencari tahu dulu
secara seksama, apa pemicu suatu kelompok atau golongan tersebut ingin
memisahkan diri. Sebab suatu "akibat" muncul karena ada
"sebab". Layaknya seorang dokter, jika dia ingin memastikan sakit
yang diidap pasien, maka dia lebih dulu mesti mengdiagnosis pasien. Tapi tidak
ada. Bahkan dosen pun terakhir menyimpulkan, bahwa untuk mencegah adanya
disintegrasi dan memupuk integrasi nasional, maka negara harus membuat
pendekatan pembangunan. Baik itu melalui pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial
dstnya. Hah, kamorang sama saja!
Terakhir, saat akan keluar usai mata kuliah (..nya
ibu), mata saya mengawasi ibu. Adakah dia tampak memarahi saya atau tidak. Baru
nyaris semenit berselang, ibu melirik saya dengan mimik yang (sepertinya) agak
gusar. Apalagi siapa tahu ibu masih baper dengan kejadian di pertemuan dua
minggu lalu, yang (saat itu) saya sedikit membantah mengenai watak
etnosentrisme terhadap budaya berkoteka (bagi para pria masyarakat pegunungan
Papua) pada umumnya.
Akhirnya timbullah sedikit rasa cemas. Soalnya
berdasarkan yang saya ketahui di kampus-kampus lain, perlakuan demikian sering
berdampak pada nilai mahasiswanya. Tapi saya tahu. Dia (ibu dosen) beragama
Katolik, dan kami satu umat di Gereja Kristus Raja Baciro Yogyakarta. Tapi
apakah itu berpeluang? Sepertinya mustahil. Cuma, saya rasa dosen juga sudah
dewasa. Dan dia bisa atur?
(Penulis adalah
mahasiswa Papua, Kuliah di Yogyakarta)
0 Komentar