30 November 2016


Oleh: Herman E. Degei

Hari ini adalah hari Rabu. Hari yang ke 30 di bulan November 2016. Besok tanggal 1 Desember. Kau tentunya juga tahu, hari itu oleh masyarakat Papua diperingati sebagai hari apa. Di hari yang sama, Polisi & TNI di Papua (dan kota-kota lain yang ada masyarakat Papua) selalu siaga. Patroli dan razia digelar dimana-mana itu sudah pasti. Dan.. Oh, sorry. Saya kembali ke topik.

Tadi pagi di kampus, seperti janji dosen pada minggu lalu, dua kelompok maju untuk mempresentasikan makalahnya. Kelompok pertama memaparkan tentang "Dampak Globalisasi dalam Sistem Sosial Budaya Indonesia". Usai presentasi, ada sesi tanya-jawab. Disitu saya tidak bertanya, sebab saya rasa jika pun saya bertanya, tentu yang pasti saya tanyakan adalah pertanyaan retoris.

Kelompok pertama sudah. Kini kelompok kedua. Melalui sarana powerpoint, mereka memaparkan makalah mereka tentang "Integrasi Nasional". Bagi saya ini lebih sedikit menarik. Pasalnya saya punya satu pertanyaan tentang yang ini (integrasi nasional). Tahap pemaparan materi barlalu, kini masuk ke tahap tanya-jawab. Berhubung waktu, kami hanya dikasih dua sesi (setiap sesi tiga penanya). Disesi pertama saya acung tangan, dan bertanya.

“Kalau kita bahas mengenai integrasi nasional, berarti kita bicara mengenai kesatuan. Nah, yang ingin saya tanyakan disini adalah: jika suatu kelompok atau masyarakat menginginkan disintegrasi, bagaimana cara yang pas untuk mencegah adanya disintegrasi tersebut, dan memupuk integrasi nasional itu sendiri?”

Oh, iya. Sebelum saya menuliskan kembali jawaban mereka atas pertanyaan saya disini, saya mau kasih tahu, bahwa saya bertanya demikian karena lebih-lebih saya ingin tahu sejauh mana pemahaman dan tanggapan mereka terkait kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari integrasi nasional. Bukan sebab yang lain tentunya.

Tiba saat untuk menjawab pertanyaan, ketiga teman yang adalah sasaran pertanyaan saya tidak lekas menjawab. Bergeming. Mungkinkah karena rumit? Atau dirasa sensitif? Dewi (salah satu dari mereka) mempersilahkan teman-teman sekelas yang lain untuk bantu menjawab. “Kalo mengenai yang memupuk integrasi nasional, menurut saya, masyarakat yang ingin memisahkan diri itu harus didekati. Trus,  para pemuda juga mesti memaknai momen sumpah pemuda, hari pahlawan dan lain-lain.” Salah satu teman kami bantu menjawab. Sementara itu Dewi dan kawan-kawannya masih berembuk untuk menjawab pertanyaan saya tadi.

Sedikit heran saja saya ketika itu. Pasalnya suasana tak sekayak biasa. Dan dari raut wajah Dewi dan kedua temannya, seakan mereka memeloloti saya dan bilang bahwa kenapa seorang saya harus gelontori pertanyaan demikian? Tak adakah pertanyaan yang lain? Itu terkuak jelas.

“Kalau upaya untuk mencegah disintegrasi, berarti para TNI/Polri harus berperan penting untuk menghentikan gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan diri. Beri mereka efek jera. Biar mereka serik.” Begitu Dewi menjawab. “Bagaimana, apakah pertanyaannya dirasa terjawabkan?” Dewi tanya balik. Saya hanya bilang sudah, sembari menggangguk. Lagi pula kala itu sudah di penghujung jam mata kuliah.

Prakira saya sejatinya adalah pasti ada yang menjawab: untuk mencegah adanya disintegrasi, kita harus mencari tahu dulu secara seksama, apa pemicu suatu kelompok atau golongan tersebut ingin memisahkan diri. Sebab suatu "akibat" muncul karena ada "sebab". Layaknya seorang dokter, jika dia ingin memastikan sakit yang diidap pasien, maka dia lebih dulu mesti mengdiagnosis pasien. Tapi tidak ada. Bahkan dosen pun terakhir menyimpulkan, bahwa untuk mencegah adanya disintegrasi dan memupuk integrasi nasional, maka negara harus membuat pendekatan pembangunan. Baik itu melalui pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial dstnya. Hah, kamorang sama saja!

Terakhir, saat akan keluar usai mata kuliah (..nya ibu), mata saya mengawasi ibu. Adakah dia tampak memarahi saya atau tidak. Baru nyaris semenit berselang, ibu melirik saya dengan mimik yang (sepertinya) agak gusar. Apalagi siapa tahu ibu masih baper dengan kejadian di pertemuan dua minggu lalu, yang (saat itu) saya sedikit membantah mengenai watak etnosentrisme terhadap budaya berkoteka (bagi para pria masyarakat pegunungan Papua) pada umumnya.

Akhirnya timbullah sedikit rasa cemas. Soalnya berdasarkan yang saya ketahui di kampus-kampus lain, perlakuan demikian sering berdampak pada nilai mahasiswanya. Tapi saya tahu. Dia (ibu dosen) beragama Katolik, dan kami satu umat di Gereja Kristus Raja Baciro Yogyakarta. Tapi apakah itu berpeluang? Sepertinya mustahil. Cuma, saya rasa dosen juga sudah dewasa. Dan dia bisa atur? 

(Penulis adalah mahasiswa Papua, Kuliah di Yogyakarta)

Posting Komentar

0 Komentar