Pelarangan Buku-Buku Tentang Papua



Tulisan ini disalin dari situs Institut Sejarah Sosial Indonesia, dengan beberapa referensi tambahan seperti tertulis di bawah.




Di tengah rendahnya produksi buku tentang Papua, antara 2006-2009 Kejaksaan Agung melarang tiga buku diantaranya dan sebuah atlas yang memuat gambar bendera 'Bintang Kejora', lambang OPM (Organisasi Pembebasan Papua).

Ketiga buku yang dilarang ditulis oleh orang Papua sendiri dan membahas tentang kekerasan negara terhadap masyarakat Papua. Karya Sendius Wonda yang berjudul Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat (Jayapura: Deiyai, 2007), dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 27 November 2007. Pada tahun sebelumnya, yaitu pada 11 Juni 2006, Jaksa Agung melarang peredaran atlas yang diterbitkan oleh sejumlah perusahaan penerbitan di Surabaya dan Jakarta karena memuat gambar bendera 'Bintang Kejora'. Kejaksaan Agung kemudian melarang dua buku karya Socratez Sofyan Yoman secara berturut-turut pada 2008 dan 2009. Karya Socratez yang berjudul Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (Yogyakarta: Galang Press, Desember 2007), dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 26 Juni 2008. 

Sementara yang berjudul Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, tetesan Darah dan cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri (Jakarta Timur: Reza Enterprise, Desember 2007), dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 22 Desember 2009. Perlu dicatat juga bahwa, setidaknya satu kali, Kejaksaan Negeri Jayapura bertindak di luar kewenangannya dengan melarang peredaran edisi pertama buku Benny Giay yang berjudul Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua (Jayapura, November 2003).

Pelarangan buku-buku tentang Papua berkait dengan operasi militer untuk berbagai ekspresi protes masyarakat Papua, termasuk yang dilakukan oleh OPM, atas ketidakadilan tata kelola sumber daya alam di wilayah tersebut serta kekerasan militer yang menyertainya. Jaksa Agung Hendarman Supandji misalnya, mengatakan bahwa pelarangan buku-buku tersebut bukan hanya demi menjaga ketertiban umum sebagaimana dalih yang biasa diajukan Kejaksaan Agung saat melarang buku, tapi terutama demi 'menjaga persatuan dan kesatuan bangsa'. 

Tambahan informasi (dari editor sastra Papua): 
Beberapa tinjauan kasus pelarangan buku-buku sejarah Papua, bisa dilihat dalam petisi "Lawan Pelarangan Buku" yang berisi beberapa kasus terkait sejarah Papua sebagai berikut.
1. Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-140/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, tetesan Darah dan cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri, Karangan Socratez Sofyan Yoman, Penerbit Reza Enterprise Jl. Penggalang VIII No.38 Jakarta Timur di seluruh Indonesia.

Kasus pelarangan buku Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat karya Sokratez Sofyan Yoman


Laporan Kasus:
Aparat Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIJ kembali menyita 213 buku 'terlarang' . Buku-buku tersebut kini diamankan di Posko Satkom Kejati DIJ, Jalan Nyi Retno Dumilah No 39 Jogja, untuk selanjutnya dimusnahkan. Buku warna merah karangan Sokratez Sofyan Yoman itu disita berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No KEP-052/A/JA/06/2008. Setelah mendapat SK yang ditandatangani Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kejati segera membuat surat perintah operasi intelijen yustisial dengan nomor PRINOPS- 06/O.4/Dsp.1/08/2008.

Menurut Kasie Sospol, Asisten Intel Kejati DIJ Asep Saiful Bachri, ratusan buku setebal 477 itu disita Kamis (7/8) pukul 10.00. Aparat langsung menyita buku yang tersimpan di gudang penerbit sekaligus percetakan Galang Press di daerah Baciro Baru, Jogja. Asep menyebut, buku itu telah melanggar ketentuan UU No 4/PNPS/1963 yang dikeluarkan tanggal 23 April 1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum.

''Penerbit tidak salah. Hanya yang dipermasalahkan isi bukunya. Inti kesimpulan isi buku itu dikatakan, Papua Barat telah merdeka oleh sekutu sebelum proklamasi. Jadi kalau kita lihat setelah proklamasi Irian Barat tidak masuk NKRI,'' papar Asep soal isi buku yang dicetak 3.000 eksemplar itu.Karena sebagian buku itu telah tersebar di masyarakat, Asep mengimbau agar diserahkan ke masing-masing Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi. ''Jika setelah disita masih ditemukan peredaran buku ini, maka pelaku akan ditindak sesuai hukum yang berlaku,'' tandasnya.Sementara itu, saat dikonfirmasi Radar Jogja, pimpinan Galang Press Julius Felicianus menyangkal petugas telah menyita buku yang dinilai bisa memecah NKRI itu Kamis (7/8) lalu. Menurutnya, saat itu petugas dari Kejati hanya menyampaikan surat keputusan yang ditandatangani Jaksa Agung tertanggal 20 Juni 2008. ''Mereka hanya bawa satu eksemplar saja," katanya. Baru pada Jumat kemarin Galang Press yang menyerahkan buku-buku tersebut ke Posko Satkom Kejati DIJ. ''Itu itikad baik kami," ujarnya. Buku-buku yang diserahkan itu merupakan sisa dari cetakan yang tersimpan di gudang. Julius menyatakan pihaknya rugi hingga puluhan juta rupiah. Menurutnya, biaya total penerbitan dan percetakan buku itu mencapai Rp 45 juta.

2. Kasus buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia, Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat" karangan Sendius Wonda, SH., M.Si (2007). Penerbit            :    DEIYAI Jl. Nafri No. 2 Kam Kei, Abepura, Jayapura – Papua Barat

Hasil Penelitian:    Isinya mengganggu ketertiban umum, sehingga menimbulkan kerawananan terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Hasil Clearing House:    Merekomendasikan kepada Jaksa Agung untuk melarang beredarnya buku tersebut.
Dilarang beredar dengan Keputusan Jaksa Agung R. I. Nomor: KEP-123/A/J.A/11/2007 tanggal 27   November 2007.

Majalah, sebanyak :
-    Diteliti                :    67    judul
-    Diteruskan         :    67    judul
-    Tidak Diteruskan :    -    judul

3. Buku atlas berjudul “Atlas Lengkap Indonesia (33 Propinsi) dan Dunia”
Buku tersebut memuat gambar bendera Bintang Kejora dengan label WIRIAN dan pembagian peta Papua menjadi tiga propinsi, yaitu Papua Barat, Papua Timur, dan Papua Tengah. Terhadap buku atlas tersebut telah diambil tindakan pengamanan dengan Distribusi W Kejaksaan Seluruh Indonesia (R-1458/D/Dsp.2/11/2005 tanggal 15 November 2005). Buku atlas tersebut diterbitkan oleh Penerbit GBS Jakarta, Penerbit Karya Agung Surabaya, Penerbit Mitra Pelajar Surabaya, dan Penerbit Amelia Surabaya yang diterbitkan dalam kurun waktu tahun 2003 dalam jumlah yang cukup banyak dan beredar di kota-kota besar di Indonesia. Atlas dilarang peredarannya dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-050/A/JA/06/2006 tanggal 16 Juni 2006 tentang larangan beredar barang cetakan buku ATLAS yang mencantumkan gambar bendera bintang Kejora dengan label “WIRIAN” dan pembagian Propinsi Papua menjadi 3 (tiga) propinsi, yaitu Papua Barat, Papua Timur, dan Papua Tengah. 

Diskusi khusus soal pelarangan buku tentang Papua juga bisa dilihat di sini. Kajian ini belum memasukkan buku-buku terbitan pada masa Belanda yang dibakar dan dimusnahkan ketika Indonesia menduduki Papua Barat pada tahun 1963. 





Posting Komentar

0 Komentar