Novel Etnografi
D U A
Jiwika,
seorang pemuda di kampung ini telah terbunuh dalam suatu perkelahian,
karena memperebutkan seorang gadis. Darahnya yang mengalir serta tangis
wanita yang melahirkannya telah menyulut api kemarahan seisi kampung.
Dan tangis itu tak berhenti juga hingga berhari-hari, rintihan dan
ratapan itu akhirnya berubah menjadi angin beliung yang mengobarkan bara
api, sehingga seisi kampung terjaga.
“Jiwika, saya punya anak,
mengapa engkau tinggalkan mamak pergi dengan darah di badan? Mengap
engkau mati terbunuh? Aku melahirkan kemudian membesarkanmu, tapi
kehidupan ini tidak adil, siapa yang akan membayar darah bagi
kematianmu? Siapa Jiwika?”
Ratapan perempuan itu terus menggema ke
seluruh penjuru kampung, suasana berkabung seperti tidak akan pernah
berakhir. Tak ada yang dapat mengakhiri suasana berkabung kecuali
terjadi bayar darah bagi kematian Jiwika. Maka tua-tua adat pun
berkumpul untuk mencari suatu jalan supaya tangisan itu berhenti.
Berhari-hari setelah tua-tua adat berkumpul, keputusan bagi bayar darah
terhadap kematian Jiwika disepakati. Perang suku dimaklumkan bagi
masyarakat di kampung ini. Bila perang tidak dikobarkan, maka tangis
perempuan itu tidak akan pernah berhenti dan keadaan akan terus
memburuk.
Untuk mengawali peperangan, maka adat bakar batu
diselenggarakan. Hasil kebun terbaik disiapkan, babi-babi gemuk dipanah,
dipotong kemudian dimasak bersama dalam lubang dengan batu panas yang
memutih. Sementara seluruh peralatan perang telah dikeluarkan dari honai
adat, genderng, panah, tombak, dan kapak batu. Kepala perang telah
mengenakan pakaian adat, siap dengan tombak dan perisa di tangan.
Setelah
hasil kebun dan babi itu masak, maka prajurit yang siap berperang itu
pun menyiapkan tenaga dengan makan sekenyang-kenyangnya. Dan akhirnya
saat keberangkatan itu pun siap sudah. Genderang perang telah ditabuh
dengan bertalu-talu, gaung dari genderang itu menimbulkan daya magis,
suatu kekuatan tak tampak mata yang mampu mengobarkan semangat setiap
prajurit untuk berperang di medan tempur, untuk hidup atau mati. Kaum
wanita melepaskan kepergiaan suami dan anak laki-lakinya dengan roman
muka sulit dilukiskan. Sehari-hari kaum laki-laki tak melakukan
pekerjaan berarti, kecuali berburu atau memanah burung, sementara kaum
wanita rutin berkebun. Kini, kaum laki-laki dihadapkan pada tugas maha
berat yang tak dapat terelakkan demi martabat puaknya, yaitu perang.
Dengan resiko mereka akan kembali atau tidak akan pernah lagi kembali.
Kugara
ada di antara sepasukan yang siap berperang itu, ia telah siap dengan
pakaian adat dan peralatan perang dan telah pula makan dengan
sekenyang-kenyangnya. Ia tak bisa mengelak diri tuntutan adat, yaitu
berperang. Kugara berpamit pada Lapina dan Liwa dengan perasaan tak
terkatakan, ia seakan tengah menjemput maut. Telah berulang kali ia
terlibat dengan perang antar suku, tetapi ia tak pernah berangkat
berperang dengan perasaan seperti ini. Lapina melepas Kugara dengan bayi
kecil dalam gendongannya, ia tak berkata-kata. Ketika seorang istri
melepas sumai pergi berperanag, maka ia harus menempatkan diri ke dalam
sebuah kesadaran, bahwa esok hari mungkin ia akan terbangun sebagai
seorang janda. Kali ini dengan seorang makhluk kecil tak berdosa yang
menjadi tanggung jawabnya. Lapina masih terpaku hingga prajurit yang
siap tempur itu bergerak menuju padang terbuka diiringi suara genderang
yang membahana dan pekikan panjang.
Matahari mulai tinggi ketika
“pasukan” itu tiba di tanah datar. Musuh telah bersiap pula menunggu,
lengkap dengan peralatan perang dan bunyi genderang. Setelah kedua belah
pihak siap, panglima perang memberi aba-aba, maka jeritan keras kembali
terdengar, kedua pihak saling beradu, dengan sebuah dorongan,
menjatuhkan lawan.
Padang luas yang sunyi pada hari-hari biasa,
kini menjadi hiruk pikuk oleh lautan manusia yang bertikai, saling
menyerang dengan peralatan perang. Perlahan-lahan darah mulai mengalir,
prajurit yang tak mampu lagi bertempur, lari bersembunyi menyelamatkan
diri, sehingga jumlah yang berperang semakin lama menjadi semakin
berkurang. Ketika senja turun, matahari semakin condong dengan cahayanya
yang muram terhalau mendung dan akhirnya padam sama sekali. Maka perang
harus dihentikan, gelap malam merupakan pertanda alam bagi kedua pihak,
bahwa perang harus berakhir tanpa harus memperhitungkan siapa yang
menang dan siapa yang kalah.
Kugara kembali ke silimo bersama
seluruh paukan, termasuk prajurit yang terluka, laki-laki itu masih
berhak akan hidupnya. Sampai keesokan harinya ketika perang harus
diteruskan pada hari kedua. Lapina dan Liwa melepas Kugara pergi dengan
mulut terkunci, ada sesuatu yang aneh pada kepergian Kugara kali ini.
Wajah laki-laki itu tampak sedemikian pucat, sementara sepasang matanya
telah kehilangan cahaya. Lapina tertegun dengan penampilan Kugara, suara
hatinya membersihkan sesuatu yang menakutkan, diam-diam lututnya
gemetar, tapi ia ta berpikir panjang. Babi-babi harus diberi makan dan
tembakau bagi Kugara harus disiapkan.
Lapina menyerahkan bayi
kecil kepada Liwa untuk kemudian ia melindas rasa gamang dengan
kesibukan bekerja. Lapina seakan tak menyadari, betapa waktu berjalan
cepat. Ia telah membakar ubi manis lebih banyak dari biasanya bagi
kedatangan Kugara. Ia juga telah mengisi kantung-kantung air, sehingga
Kugara dapat segera menghilangkan dahaga, karena peperangan itu. Tapi
tiba-tiba Lapina didera rasa gelisah, ia tidak dapat melakukan apa-apa
sampai dari kejauhan terdengar suara hiruk pikuk prajurit kembali dari
pertempuran. Hari telah gelap. Lapina berharap Kugara akan menyeruak
masuk ke dalam honai untuk mendapatkan ubi manis dan kantung air. Lapina
berharap untuk ....menyeruak masuk ke dalam honai untuk mendapatkan makanan
yang telah disiapkan. Laki-laki itu tak akan pernah meminta apa-apa
lagi, juga hak dan perkawinannya. Kugara datang dalam keadaan digotong
beramai-ramai dengan luka menganga bekas ujung tombang, tepat di
dadanya. Darah masih mengucur, maih hangat, mata Kugara terpejam,
wajahnya pucat pasi, kaki dan tangannya tak dapat lagi digerakkan. Daya
hidup yang menggerakkan badan kasarnya telah tercabut. Laki-laki itu
telah gugur di medan perang sebagai prajurit yang menuntut bayar darah
bagi kematian Jiwika.
“Kugara......!” Lapina berdiri kaku, seolah
tak percaya pada penglihatannya, atau ia sedang menyangkal pemandangan
yang tampak di depan matanya, tetapi sia-sia. “Apa yang terjadi
denganmu?” Lapina segera memburu Kugara, memeluk jasad yang berlumuran
darah. Air matanya menetes, jeritnya melolong panjang. Ia tak dapat
menyangkal penglihatannya. Kugara terbujur dengan luka di dada, ia tak
bergerak, ia telah mati.
Lapina menyapu darah yang menodai tubuh
Kugara, membasuh ke wajah kemudian turun ke dadanya. Lapina merasakan
sakit, seolah ujung tombak itu telah menembus pula belahan dadanya. Ia
masih sangat muda, dengan seorang bayi kecil di dalam gendongannya, dan
kematian Kugara telah membuatnya menjadi seorang janda, seorang janda.
Sementara
Liwa jatuh terduduk, pandangan matanya menjadi kabur dan samar-samar,
ia seakan sedang mengulang mimpi buruk. Mimpi yang memaksa datang pada
saat terjaga, mimpi yang sangat menakutkan. “Bapa .... “, terbata Liwa
memanggil Kugara, ia masih berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Tapi
raungan Lapina membuat Liwa sadar, ia tidak sedang bermimpi, tetapi
menghadapi kenyataan. Kugara kembali dari perang suku dengan tubuh
terbujur bermandi darah. Ia tak bergerak lagi, seperti yang pernah
terjadi pada diri Aburah, mamaknya yang belum lama tiada. Sekarang
Kugara mati menyusul Aburah, Liwa pun meraung, meraung tiada henti. Ia
menangisi Kugara, menangisi Aburah, dan menangisi dirinya sendiri. Ia
tak memiliki siapa-siapa lagi kecuali Lapina dan bayi kecil itu.
Tangisan
Lapina dan Liwa telah menyulut tangisan yang lain, sehingga suasana di
daalam silimo itu menjadi pekak oleh suara tangisan. Malam semakin
gelap, kabut tebal mengungkung seisi lembah seakan misteri bagi
datangnya maut pada hari itu. Lapina dan Liwa terus meraung hingga suara
menjadi kering, rasa duka dan penat memapahnya menuju tidur yang tidak
nyenyak dan gelisah hingga keesokan paginya. Jenazah Kugara telah kaku,
ia gugur sebagai pahlawan. Laki-laki itu terbunuh setelah ia berhasil
menebas leher pembunuh Jiwika dengan kapak batu. Ia telah membayar darah
bagi kematian Jiwika dengan darahnya sendiri. Ia adalah seorang
prajurit pada hari terakhirnya. Upacara pembakaran kembali disiapkan.
Sepanjang upacara itu Lapina dan Liwa tak pernah berhenti meraung,
meratap, dan merintih. Mereka sungguh menyesal, Kugara bukan meninggal
secara wajar, karena usia tua seperti setangkai daun kering yang jatuh
pada musim gugur. Ia tewas secara menyengsarakan dalam perang suku,
Lapina tak memerlukan sebutan janda seoraang pahlawan, ia ingin Kugara
kembali, tapi keinginan itu telah sirna.
Ketika jenazah Kugara
mulai dilahap api, hati Lapina dan Liwa sama hancurnya dengan keadaan
jenazah Kugara. Kematian dan pembakaran itu membuat Lapina mengerti,
betapa pun ia tak pernah bermimpi menjadi istri Kugara, tetapi
laki-laki itu pernah hadir dalam hidupnya, bahkan memberinya seorang
anak, bayi mungil yang amat dikasihinya. Kugara telah memperkenalkan
kepadanya perihal kehidupan keluarga, keseharian yang membingungkan,
yang harus terus dijalaninya, sehingga ia tak tahu lagi, apa sebenarnya
yang disebut dengan kebingungan. Tetapi ia telah belajar tentang
kehidupan. Lapina mengerti, betapa Kugara telah membawa dirinya pada
kenyataan hidup yang mau tidak mau harus dihadapi. Dan kini, laki-laki
itu telah dilahap api pada akhir hidupnya, Lapina terisak-isak. Wajahnya
tiba-tiba berubah menjadi sangat tua, layu, dan lesi. Wanita itu telah
dihempas badai kehidupan maha dasyat yang tak pernah mampu dipelajari
asal usulnya, kecuali bahwa dirinya adalah seorang pelaku.
“Kugara
.... Kugara ....!” Lapina menjerit-jerit, bau daging hangus tercium
dengan amat keras, asap tebal mengepul, menyatu dengan langit. Belum
lama silimo ini menjadi ramai oleh kematian Aburah, kini jenazah Kugara
kembali hangus dalam api yang menyala-nyala.
Liwa
bergulung-gulung di atas lumpur, ia telah kehilangan Aburah. Kematian
itu seakan baru terjadi hari kemarin, kini Kugara menyusul pergi. Liwa
merasa sebatang kara, ia tak memiliki siapa-siapa lagi di dalam
hidupnya, kecuali Lapina dan bayinya yang masih kecil. Liwa memandang
asap tebal itu dengan putus asa. Ia seakan ingin ikut terbang membumbung
tinggi ke langit, meninggalkan hari-hari duka yang merampas masa
kanak-kanaknya. Tapi ia tak punya sayap, bocah itu harus melampaui
detik-detik waktu yang menyakitkan, hatinya tersayat-sayat.
Kemudian
segalanya berlalu dengan cepat, waktu terus berguir sebagai hukum alam
semesta yang berdetak dengan pasti dan berwenang merubah segalanya. Pada
hari berikutnya setelah kematian itu, maka Liwa harus kembali menjadi
pelaku adat. Adat yang menakutkan dan menggenapi kesakitannya. Lapina
mengetahui akan hal itu, ia memeluk Liwa dengan segala rasa kasih, air
matanya mengucur.
“Saya takut mama!” Liwa memeluk Lapina
erat-erat dalam rasa takut yang amat sangat. Badan Liwa menjadi kurus
dan kecil, ia tak mempunyai tempat berlindung kecuali Lapina.
“Tak
usah engkau takut, semua anak kecil yang ditinggal mati orang tuanya,
karena berperang harus memahami hal seperti ini. Kau lihat ruas jariku
yang hilang, aku pun pernah mengalaminya. Bila tidak, roh Kugara tidak
akan tenang. Bukankah engkau menyayanginya?”
“Aku selalu
menyayanginya, tapi aku tak mau kehilangan ruas jariku”, Liwa memeluk
Lapina semakin erat, ia seakan tengah kehilangan separuh dari
kesadarannya. Badannya menggigil. Di lain pihak, Lapina menjadi lunglai,
ia teringat pada suatu masa, ketika harus merasakan hal yang sama
seperti Liwa. Lapina mengusap-usap kepala Liwa dan menyapu air matanya.
Pandangan wanita itu menerawang jauh, menghitung hari lalu yang dir
undung kemalangan selalu. Hari ini ia masih harus berhadapan dengan
kemalangan. Kemalangan apa lagi yang akan terjadi pada hari depan?
Lapina
terpaku ketika seorang tua-tua adat yang berwenang memotong ruas jari
Liwa datang dengan kapak batu tergenggang di tangan. Kematian akibat
peperangan telah terjadi , anak kecil dari orang yang mati harus
dipotong satu ruas jarinya sebagai pernyataan duka cita. Dan saat ini,
anak itu adalah Liwa. Lapina harus menyerahkan Liwa pada tua-tua adat,
tapi ia diliputi keraguan, air matanya tak pernah berhenti mengucur,
sepasang matanya telah bengkak. Ia tak dapat membedakan mana lebih
sakit, antara duka kehilangan Kugara dalam keadaan terbunuh atau mesti
menyaksikan Liwa kehilangan bapak, kemudian harus kehilangan pula ruas
jarinya. Kepala Lapina menjadi pening, semakin lama semakin hebat,
hingga ia tak sadar bahwa Liwa tak lagi ada di dalam pelukannya. Lapina
menyandarkan diri ke dinding honai, matanya terpejam, seakan ia ingin
membuang jauh-jauh kenyataan hidup yang harus dilampauinya. Di atas,
matahari semakin terik, langit biru cerah, udara gerah, tapi Lapina
merasa uap dingin menngungkung seisi silimo. Badan wanita itu pun
menggigil.
Lapina mengatupkan mata semakin rapat, ketika ia
mendengar jerit tangis dan lolongan Liwa. Jeritan dan lolongan itu
terdengar dan meraung berulang-ulang, membawa Lapina kembal kepada masa
lampau, ketika ia harus merasakan sakit yang sama. Wanita itu menutup
sepasang telinga, hatinya tak berhenti mengutuki setan bernama adat yang
telah memenggal ruas jarinya dan kini ruas jari Liwa.
Tidak jauh
dari Lapina, Liwa tengah berperang melawan sakit tak terperi. Sebuah
kapak batu diayun berulang kali oleh tangan yang perkasa tanpa kenal
ampun. Ia tak pernah mengerti tentang adat, ia tak dapat melawan, ia
cuma seorang bocah yang terjebak ke dalam tatanan nilai yang mengerikan.
Bocah itu semakin tak dapat menguasai kesadarannya. Darah telah
mengucur, membasahi tanah. Rasa pedih yang dalam mendorong Liwa
menjerit, menjerit. Dan tiba-tiba, Liwa merasa matahari tergelincir ke
langit sebelah barat lebih cepat dari hari-hari biasa. Suasana terang
segera berubah menjadi gelap. Malam pun datang, bintang-bintang
bertaburan, selebihnya kehitaman. Liwa tak dapat melihat apa-apa dan tak
dapat merasakan apa-apa. Ia tersungkur dengan tangan berlumuran darah,
ruas jarinya telah terpenggal.
***
Setelah
saat-saat yang menyengsarakan itu, Liwa mendapati dirinya dalam keadaan
terbaring. Ia tak tahu dengan pasti berapa lama ia terbaring, ia tak
perlu menghitung hari, rasa sakit pada ujung jarinya telah merampas
separuh dari kesadarannya. Bocah itu terbenam dalam rasa kecewa,
menyesal, dan tak berdaya. Penderitaan datang bertubi-tubi, ia masih
terlalu kanak-kanak untuk menerima semua ini, tapi dapatkah ia mengelak?
Tangannya
yang kecil, kini terbalut erat-erat dalam selubung besar hingga ke
batas siku. Darah tak lagi mengucur, tapi rasa perih tak juga berkurang.
Liwa menyerahkan hidup pada Lapina, wanita muda yang telah menjadi
orang tua dan selalu merawatnya. Lapina bersyukur, bahwa para tetangga
telah membawa hasil kebun dalam jumlah yang besar, karena kematian itu,
sehingga ia tak perlu lagi pergi ke kebun hingga luka pada ujung jari
Liwa membaik.
Suatu hari ketika Liwa tengah terbaring di dalam
honai, ia mendengar suara orang bercakap-cakap. “Sampai kapan engkau
akan menjanda Lapina?” terdengar suara seorang laki-laki membuka
pembicaraan.
“Mengapa engkau bertanya akan hal itu?” Lapina segera menjawab.
“Tak baik terlalu lama menjanda, lagi pula engkau masih sangat muda”.
“Hari ini, aku bahkan masih dalam kedukaan, apa maksudmu?” Lapina balik bertanya.
“Aku pasti akan melamarmu dengan babi-babi dan engkau pasti akan menjadi istriku”.
“Jangan
bermimpi, aku masih dapat bertahan hidup dengan hasil kebun. Aku tak
menginginkan babi-babi itu”, suara Lapina terdengar tegas.
“Aih
perempuan muda. Engkau tinggi hati sekali”, tiba-tiba terdengar suara
berisik, diam sesaat, kemudian terdengar kembali suara Lapina berbicara.
Kali ini dengan tegas.
“Kalau engkau berani menggangguku, aku
akan mengadu kepada tua-tua adat dan mereka akan menuntut denda babi
kepadamu. Atau aku akan menangis berhari-hari, sehingga suara tangisanku
dapat memancing seisi silimo ini untuk membunuhmu!” terdengar suara
benda keras terbanting, tak lama kemudian Lapina segera menerobos masuk
ke dalam honai, membaringkan tubuh di samping Liwa. Sementara bayi
kecilnya masih tertidur.
Lapina tak lagi berkata-kata, ia menatap
langit-langit honai dengan muram. Terlalu banyak hal yang terjadi atas
dirinya, tanpa ia dapat berkehendak atau menolak. Tapi perkawinannya
dengan Kugara telah membuatnya mengerti, babi-babi yang dibayarkan pada
hari perkawinan telah membuat dirinya diperlakukan sebagai budak. Tidak
mudah melupakan hari-hari yang menakutkan itu. Adakah manusia yang
dengan sadar berniat mengulangnya dalam suasana kedukaan? Lapina
memejamkan mata rapat-rapat seolah tak hendak membukanya kembali. Ia
ingin menghindar , dari hal-hal yang tidak dikehendaki, ttanpa sadar
mata wanita itu menjadi semakin berat , dan ia pun tertidur.
Waktu
pun terus berlalu, hari berjalan menjadi minggu, minggu berganti
menjadi bulan, dan bulan berubah menjadi tahun. Lapina membawa Liwa
melewati rutinitas yang sama hingga gadis itu tumbuh menjadi remaja,
dan wanita itu tetap memilih untuk menjanda. Sementara di luar silimo
perubahan terus bergulir. Upaya missionaris untuk membudayakan
masyarakat Suku Dani terus berjalan sejak 1954 yang telah lalu, ketika
untuk yang pertama kali missionaris menjejakkan kaki di Lembah Baliem
dengan mengendarai pesawat ampibi dalam rangka menyebarkan Injil.
Perubahan dengan amat perlahan terjadi dengan didirikannyaa sebuah
gereja dan masyarakat Suku Dani dengan terpatah-patah mengikuti suatu
keyakinan tentang adanya Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa, pencipta langit
dan bumi. Secara sistematis penyebaran agama diterapkan, dalam kurun
waktu tak terbatas.
Catatan sejarah menuliskan, bahwa pada tanggal
1 Oktober 1962 Pemerintah Belanda menyerahkan Irian Jaya pada
pemerintah sementara PBB dan selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Perubahan yang terjadi setelah hari
bersejarah itu amatlah perlahan. Sementara missionaris membangun gereja
dan sekolah, maka pemerintah Indonesia membentuk kelembagaan di tingkat
daerah. Bendera merah putih berkibar.
Masyarakat Suku Dani praktis
menyaksikan perubahan itu sebagai penonton. Mereka dihadapkan pada
pesawat terbang, deretan orang-orang berseragam yang menamakan dirinya
aparat pemerintah, dan segala peraturan. Liwa masih terlalu bocah untuk
memahami perubahan itu. Di tengah arus perubahan yang semakin pesat Liwa
hanyalah seorang anak yang tak dapat mengerti, untuk apa semua
perubahan ini harus terjadi? Hal yang diingat Liwa adalah orang-orang
berseragam yang menamakan dirinya aparat negara telah melarang adat
pemotongan ruas jari pada saat kedukaan, demikian pula adat berperang.
Larangan itu menyebabkan suara melolong dri bocah kecil yang dipotong
ruas jarinya, tak terdengar lagi. Sementara perlengkapan perang
diamankan dari honai adat dan disimpan di dalam sebuah museum. Baik
pemerintah maupun missionaris berdampingan memberdayakan masyarakat Dani
menuju peradaban. Sebuah kondisi yang memerlukan waktu rtusn atau
bahkan milenium bagai sebuah pencapaian.
Liwa terus bertumbuh
menjadi gadis remaja dengan pinggang yang kian ramping, dada membukit,
dan wajahnya yang lugu. Lapina tetap menjanda, ia memilih hidup bersama
Liwa sambil membesarkan bayi laki-lakinya yang kini telah menjadi
seorang anak. Ia menggantungkan hidupnya kepada hasil kebun, air kali,
dan udara lembah yang segar. Lapina sangat terhibur dengan celoteh dan
gerak laku anak laki-lakinya yang mengingatkan dirinya akan Kugara.
Sementara Liwa telah menjadi teman bekerja di kebun setiap hari,
sepanjang thun. Ia memang tak pernah melhirkan anak itu, tpi i telah
memapahnya dalam keadaan limbung, karen kematian demi kematian. Kini, ia
adalah ibunya.
Pada hari Minggu Lapina membawa Liwa ibadah ke
gereja. Ia harus mencermati khotbah demi khotbah dengan pemahaman yang
sederhana. Sekolah pun kemudian dibangun, tai sudah amat terlambat bgi
Liwa, ia sudah terlalu dewasa untuk duduk di bangku sekolah dasar. Liwa
pun tumbuh sesuai bakat alam, hingga tibalah saat untuk meninggalkan
keremajaan dan memulai babak baru, yaitu memasuki kehidupan perkawinan.
***
Nun jauh di sana, di tempat sebuah peradaban berkembang seorang gadis kecil menerima sebuah judul cerita anak-anak: Genderang Perang dari Wamena. Gadis
kecil itu amat gemar membaca, ia telah berimajinasi dalam sederett
komik H.C. Andersen, cerita dongeng, dan bertumpuk majalah anak-anak. Ia
medapatkan suatu kehidupan lain dalam setiap halaman yang disimaknya.
Buku-buku yang dibacanya membuat hari-harinya menjadi penuh gairah dana
pertanyaan.
Genderang Perang dari Wamena diberikan oleh saudara
tertua, gadis kecil itu segera terbenam di kamarnya yang hangat, membuka
lembar demi lembar yang penuh sensasi dan misteri. Adalah seorang anaak
laki-laki missionaris yang bersahabat dengan seorang anak Suku Dani di
sebuah kota bernama Wamena yang terletak di Lembah Baliem di
tengah-tengah irian Jaya. Wamena selalu diliputi kabut, udara dingin,
dan beku. Pada mas lampau suku-suku yang menghuni lembah itu gemar
berperang dengan menggunakan senjata tradisionil yang memiliki kekuatan
gaib. Akan tetapi, kehadiran missionaris dan pemerintahan yang resmi
menyebabkan adat berperang harus dihentikan, sementara segala bentuk
perlengkpan perang akhirnya disembunyikan di tempat-tertentu.
Lama
setelah adat perang dihentikan dan perlengkapan perang disembunyikan
demi alasan keamanan. Dua orang anak missionaris dan Suku Dani bermain
pada sebuah gudang dana menemukan genderang perang yang sengaja
disembunyikan. Ketika genderang perang itu ditabuh, maka muncullah kabut
putih yang semakin lama semakin tebal. Di dalam kabut tebal itu muncul
dua sosok manusia yang saling berkomunikasi, berselisih, dan berbaikan
kembali. Setiap hari kedua bocah itu bermain di gudang, memukul
genderang perang sambil menyaksikan kabut tebal dengan kejadian-kejadian
di dalam kabut itu. Anehnya setiap kejadian yang muncul dalam kabut
tebal akhirnya menimpa kedua anak itu, anak missionaris dan anak Suku
Dani. Gambaran di kabut itu seolah ramalan bagi hari yang akan datang.
Ajaib!
Tapi kedua bocah itu akhirnya menjadi ketakutan. Mereka
bahkan tidak ingin mengetahui kejadian yang akan menimpa dirinya esok
hari. Akhirnya genderang perang itupun dikembalikan pada tempatnya, tak
pernah disentuh lagi. Gadis kecil itu menutup cerita dengan rasa ingin
tahu dan sebuah pertanyaan di benaknya. Dimanakah kota berkabut yang
bernama Wamena?
“Gayatri, sudah sore, ayo jangan lupa tugasmu?”
sebuah suara membuyarkan lamunan gadis kecil itu, sebelum akhirnya ia
bergegas meninggalkan kamar untuk tugas rutin sehari-hari, menyapu
lantai dan merapikan seisi rumah.
0 Komentar