LIMA
“Tapi, bagaimana mungkin engkau bisa menjadi seorang ibu?”
“Setiap perempuan pasti bisa menjadi seorang ibu”, Gayatri membaringkan bayi kecil itu di atas tempat tidur.
Bibi datang tak lama kemudian dengan tergopoh-gopoh, ekspresi wajah wanita itu sama persis dengan Hera, keheran-heranan, ketika mendapati Gayatri pulang dengan membawa seorang bayi tak dikenal. “Dokter?” Bibi mengerutkan keningnya.
Gayatri langsung menyerahkan bayi kecil itu kepada Bibi, “Bibi harus menjaganya”.
Dan perempuan setengah baya itu menerima bayi kecil dengan senyum, sepanjang hidup Bibi tak pernah melahirkan, suaminya pergi, hidup dengan wanita lain yang dipilih kemudian, dan ia pun pergi seorang diri. Ia telah menjaga rumah ini bertahun-tahun dengan penghuni berganti-ganti. Dan penghuni sekarang telah memberinya seorang bayi. Ketika bayi itu telah berada dalam gendongannya, Bibi seakan memperoleh keajaiban. Akhirnya ia memperoleh sesuatuyang selama ini tak pernah didapatkan. Wajah Bibi menjadi berseri-seri.
Hera masih terbengong-bengong dengan keputusan Gayatri, dokter itu belum lagi seumur jagung tugas di tempat ini, tapi telah mengambil keputusan yang berani, mengambil seorang anak Suku Dani. Tapi akhirnya Hera tak terbengong lebih lama, ia mengambil sikap yang sama dengan Bibi, mengagumi bayi kecil itu. Sementara Gayatri segera berpamit keluar. “Tolong jaga bayi ini, aku hendak membeli pakaiannya”, tanpa menunggu jawaban Gayatri segera berlalu pergi. Ia menghabiskan satu bulan gaji untuk membeli perlengkapan bayi. Sementara pemilik toko menjadi terheran-heran.
“Gay, pak Bupati undang kita datang nanti malam”.
“Baik”.
Dan malam itu mereka telah duduk di ruang tamu Bupati yang diatur dengan rapi. Ruangan itu adalah bagian dari sebuah gedung megah berlantai dua dengan atap seng melengkung setengah bundar berwarna hijau, dinding putih cemerlang, kusen-kusen yang kukuh, jendela kaca dengan tirai-tirai lembut, halaman yang luas dengan rumput hijau dan bunga aneka warna. Kedua tamu itu menjejakkan kaki pada permukaan lantai yang bersih tanpa debu. Perapian sengaja dinyalakan, demikian pula dengan mesin penghangat. Di setiap sudut rumah terpajang benda-benda seni, termasuk di antaranya ukiran Asmat dan kerajinan tangan Suku Dani, guci, fosil, dan benda antik lainnya. Gayatri tak merasa sedang dalam suasana lembah, situasi di dalam ruangan ini seperti ada di sebuah kota yang sudah maju.
“Selamat malam mama-mama”, satu sosok tinggi tegap dengan wajah berwibawa, rambut digunting pendek, dan kulit putih bersih muncul dari balik pintu. Jabatan tangannya erat dan hangat. “Silakan duduk, maaf baru sekarang saya dapat mengundang anda. Bagaimana, senang bertugas di Wamena?” Kata-kata itu demikian ramah dan bersahabat.
“Tempat ini amat indah, sementara penduduknya sangat ramah”, jawab Hera.
“Benar, Wamena tempat yang subur, kita tidak sulit bertahan hidup, karena hasil bumi lebih dari cukup untuk memenuhi konsumsi sehari-hari. Di daerah pantai keadaan lebih sulit, terlebih di daerah berawa, karena penduduknya tidak bisa bertani. Tapi keseluruhan hidup masyarakat di tempat ini masih tertinggal, karena lokasi lembah hanya bisa dijangkau dengan pesawat. Kami memerlukan banyak voluntir untuk menggugah ketertinggalan, dan lebih dari itu keterisolasian daerah ini harus dibuka”, Bupati tampak bersemangat dalam setiap kata-katanya. Seorang nona muncul tak lama kemudian membawa cangkir berisi teh panas dan kue cokelat pada piring keramik berbentuk tiram.
“Mari, silakan tehnya. O ya, saya dengar mama-mama berjalan kaki dari Kobakma ke Pass Valley dan menginap di tengah hutan. Tidak apa-apa nanti perjalanan ini dapat ditulis menjadi cerita di majalah wanita. Dan saya dengar mama juga mengadopsi seorang bayi Suku Dani?”
“Saya mengambilnya bapa. Bayi itu lahir kembar, yang lahir kedua dianggap sebagai anak setan dan harus dipisahkan. Kami kembali dari Kobakma dengan berjalan kaki adalah untuk membantu ibunya melahirkan bayi ini”, jawab Gayatri.
“Betul anggapan demikian. Dulu pernah terlahir pula bayi kembar, bayi kedua memang harus dipisahkan dan ia dibesarkan oleh missionaris, setelah dewasa akhirya bayi itu menjadi seorang dokter. Satu kali anak kembar itu bertemu, bayi yang menjadi dokter tak dapat berbahasa Dani, sedangkan kakaknya tak dapat berbahasa Indonesia. Keduanya tak dapat bercakap-cakap dan hanya merasa senang saja”, Bupati pun tertawa, menampakkan deretan giginya yang rapi kemudian ia terus bercerita.
“Demikian keadaan masyarakat kami, masih amat terbelakang. Dan akibat dari ketertinggalan itu harus ditanggung kaum wanita. Di Fugima, ada sebuah sungai yang teramat dalam, wanita yang sudah tidak sanggup menanggung beban hidup akan datang ke tempat itu, meninggalkan Sali pada bebatuan, memberati tubuhnya dengan batu kemudian menerjunkan diri ke dalam sungai dan tak akan pernah muncul kembali. Apabila pihak keluarga mencari kemudian mendapatkan Sali yang ditinggalkan, hal itu menjadi pertanda, bahwa seorang wanita yang malang telah berpamit pergi untuk selama-lamanya”.
Bupati masih bercerita dengan hangat tentang banyak hal, tetapi ada satu hal yang benar-benar melekat di benak Gayatri, kasus wanita yang bunuh diri dengan meninggalkan Sali pada bebatuan, di pinggir kali, di tepi jurang. Benarkah?
Malam telah digenangi embun ketika mereka berpamit. Jalanan di Wamena dingin dan sepi.lampu-lampu berpendar dalam cahaya terang, menembus kegelapan. Tak lama kemudian seisi lembahpun tertidur diselimuti kabut dan udara beku.
Bersambung (Bagian VI)
Gayatri menyandarkan kepala di jendela pesawat,
matanya memandang keluar, pada sebuah
garis kehidupan yang semu, antara biru langit dan sebuah peta yang harus
dituju. Tiga puluh lima menit penerbangan dari bandara Sentani ke Wamena
dilalui dengan melintasi rimbun hutan tiada bertepi seakan kebun raksasa di
bawah pengawasan tangan Sang Maha Sempurna. Sementara mega-mega tampak sebagai
gumpalan kapas dengan bentuk berganti-ganti dan selalu bergerak mengikuti arah
angin.Cahaya matahari terpantul dalam warna keemasan. Selebihnya dengung
pesawat yang meraung tanpa jeda, dan pramugari yang santun menawarkan yang
santun menawarkan hidangan dalam kemasan.
Seluruh perjalanan yang hampir diakhiri telah
menumbuhkan keyakinan baru dalam diri dokter itu, bahwa persoalann yang
dihadapi hanyalah sebagian kecil atau nokhtah dari kehidupan yang luas dan
harus dijalani.Ia harus melakukan sesuatu dalam hidup atau akan gagal sama
sekali. Perkawinan adalah impian setiap gadis kecil, tapi bukan satu-satunya
tujuan dan bukan akhir dari segalanya, sungguh pun ia merasa begitu terbuang.
Seorang penumpang di sebelahnya tampak heran, ketika
mendapati Gayatri bepergian seorang diri, menuju suatu tempat yang amat jauh
dan sulit dituju.“Nona ke Wamenakah?” penumpang itu membuka pembicaraan. Ia
seorang pemuda tinggi tegap dengan rambut digunting rapi, mata yang dalam,
hidung tinggi, dan rahang yang kuat.
Tentu saja ia melontarkan pertanyaan yang tolol, karena pesawat jenis Fokker
milik maskapai penerbangan Merpati ini memang telah dijadwalkan menempuh rute
penerbangan dari Sentani ke Wamena.
“Pesawat ini tidak mungkin menuju ke tempat lain,
karena memang sudah demikian rute penerbangan yang dijadwalkan”, Gayatri
menjawab dengan pasti, ia memperhatikan pemuda di sampingnya sekejab dan tak
berniat memperhatikan lagi.
“Maaf, maksud saya, nona dalam perjalana tugas atau mengunjungi keluarga?” pemuda itu
tergagap menyadari kesalahannya, ia tak dapat menyembunyikan keterpukauan pada
sosok yang begitu dekat di sebelahnya. Seorang gadis dengan garis wajah tanpa
cela, mengenakan stelan celana panjang dan blazer warna gelap serta rambut
hitam melewati bahu. Aroma lembut yang merebak dari tubuhnya serta perhiasan
berkilat yang melingkar pada jari, tangan, leher, dan kakinya, gadis itu akan
menjadi setangkai mawar yang mekar di tengah-tengah kehidupan lembah. Pemuda
itu merasa, bahwa suhu udara di dalam pesawat yang amat dingin secara perlahan
telah berubah menjadi hangat.
“Saya pegawai tidak tetap”, Gayatri menjawab singkat.
”Nona seorang dokter?” pemuda itu membelalakkan mata
lebar-lebar seolah ia menghadapi hal yang sama sekali baru dalam hidupnya,
sehingga Gayatri hampir-hampir tertawa.
“Kira-kira demikian”, Gayatri membuka majalah, membuka
halaman, dan membaca tulisan di dalamnya dengan serius, seolah-olah ia tak mau
diganggu. Dan benar, pemuda itu tak berani bertanya lagi.Ia tak dapat
berkata-kata, karena pikirannya terlalu sibuk, ada senyum tipis membayang di
bibirnya. Kepalanya dipenuhi bermacam rencana.
Sementara pesawat terus meraung, menebus batas langit,
melewati kabut, hingga akhirnya dengan perhitungan yang cermat pilot membawa
badan pesawat untuk melewati celah Pass Valley sebagai pintu masuk menuju
lembah. Beberapa detik kemudian pesawat mulai memutar, dari jendela pesawat
Gayatri dapat melihat Wamena sebagai konsentrasi bangunan dengan atap seng
berkilat-kilat dalam pantulan cahaya matahari, ruas-ruas jalan yang membelah
kota, kebun petani, honai yang tampak seakan sekumpulan jamur, bukit-bukit yang
berdiri kukuh dan tampak samar diselimuti kabut tipis. Ketika pesawat kian
menurun Gayatri dapat melihat orang berlalu lalang hanya dengan mengenakan
koteka dan Sali dengan hasil kebun atau babi di tangan. Semua ini adalah hal
baru, tapi ia telah bersiap bagi kehidupan itu.
Ketika roda pesawat mulai menyentuh landasan pacu
dengan suara mendecit dan guncangan bagi seluruh badan pesawat. Gayatri seakan
tengah menembus lorong waktu, kembali pada suatu masa, saat ia masih seorang
kanak-kanak dan tenggelam di dalam sebuah cerita ‘…. ketika genderang perang
itu ditabuh, maka muncullah kabut putih yang semakin lama semakin tebal. Di
dalam kabut itu muncul dua sosok manusia yang saling berkomunikasi, berselisih,
dan berbaikan kembali …’
Cerita itu demikian melekat di dalam benak Gayatri,
sehingga ia seakan-akan pernah menetap dalam waktu yang relative lama di tempat
di tempat ini, menjadi bagian hidup di dalamnya, dan merasa asing lagi.
Segalanya begitu murni dan menantang. Gayatri tak merasa begitu ragu ketika ia
harus melepas sabuk pengaman dan bersiap menjejakkan kaki di landasan pacu.
Sekelompok orang yang tergabung dalam satu rombongan terdengar mulai
bercanda.“Laki-laki Suku Dani yang menjual hasil kebun, biasanya menyimpan uang
di dalam koteka.Apabila pembeli adalah seorang wanita, maka mereka akan
mempersilakan wanita itu mengambil uang kembali dengan tangannya sendiri”,
kata-kata itu disambut dengan tawa berderai seisi pesawat, suasana di dalam
kabin menjadi riuh rendah. Gayatri tak dapat menahan senyum, ia tak menyadari,
bahwa pemuda di dekatnya menjadi terpesona dengan senyumnya dan pandangan
matanya menjadi penuh harapan.
Di luar kabin udara Wamena dingin dan segar. Bangunan
pertama yang dilihat Gayatri adalah honai raksasa dari dinding batu da atap
dipulas hijau. Gayatri tak ragu sedikit pun menuju ke bagian kedatangan untuk
mendapatkan barang bawaan. Seorang dokter dan pegawai dari kantor telah bersiap
bagi kedatangan dan tempat tinggalnya. Mereka segera menyambut Gayatri dengan
jabat tangan dan senyum bersahabat. “Saya Hera, saya belum terlalu lama
bertugas di tempat ini. Senang anda dapat bergabung pula di lembah. Dan ini
anton, rekan kita di dinas”, sambutan itu telah melenyapkan seluruh kelelahan
yang menguasai Gayatri dalam perjalanan panjang selama dua hari dengan transit
di Surabaya dan Jayapura.
“Gayatri, senang dapat berkenalan. Saya harap kita
dapat bekerja sama”, Gayatri memperkenalkan diri dengan senyum cerah, duka tak
tersisa lagi di wajahnya, ia merasa nyaman berkenalan dengan teman sejawat yang
bernama Hera. Dokter wanita itu masih mengenakan jas kerja yang berwarna putih
dengan sepatu kulit berhak setengah tinggi. Wajahnya manis dengan kulit
kecoklatan, gigi seakan deretan mutiara, dan model ramabut pendek menampilkan
lehernya yang jenjang.
“Ayo kita ke rumah, bibi telah menyiapkan kamar anda”,
Hera menggandeng tangan Gayatri menuju mobil kijang warna putih yang menunggu
di tempat parkir.Tukang pikul telah membawa karton-karton besar berisi
barang-barang. Gayatri melihat sekelompok anak berkulit hitam, berambut ikal,
dengan senyum polos, dan badan setengah telanjang. Gadis itu memberikan kotak
berisi makanan kecil yang tak disentuh selama penerbangan. Anak-anak itu segera
menerima dengan senyum girang dan terima kasih.
Beberapa menit kemudian Gayatri telah duduk di jok
mobil dengan tenang. Barang –barangnya bertimbun memenuhi bagasi, ia merasa
telah mengawali sebuah permulaan yang baik dengan sambutan dating di bandara.
“Kita orang sudah mendengar anda bersedia dating, tenaga dokter sangat
dibutuhkan, memang kehidupan di lembah ini tidaklah mudah, segalanya tergantung
kepada pesawat. Bila pesawat tidak masuk, kita akan kembali pada kehidupan
zaman batu”, Hera membuka pembicaraan. “Mengapa anda memilih lembah ini sebagai
tempat mengabdi pegawai tidak tetap?” Hera bertanya.
Gayatri tergagap sejenak dengan pertanyaan itu, tapi
sikapnya tetap tenang. Matanya memandang jeli pada segala yang ada di depan dan
di kiri kanan jalan. Lalu lintas amat jarang, kendaraan roda empat yang sering
ditemui adalah jenis mobil kijang, motor
roda dua yang bergerak perlahan, sepeda, dan yang unik adalah becak.
Rumah-rumah yang ada hampir semua dalam bentuk sederhana dengan pagar pelindung
dan humus pada bagian atasnya. Di sepanjang jalan tampak penduduk asli dengan
koteka berwarna kuning kemerah-merahan, wanita-wanita dengan Sali yang melilit
seputar pinggang, menutup seluruh bagian pinggul ke depan hingga batas lutut.
Mereka hendak pergi ke Pasar Nayak menjual hasil kebun. Udara dingin dan segar,
matahari bersembunyi di balik mendung, tampak sebagai seberkas sinar yang
pucat, sia-sia menembus alam. Mobil terus melaju, melewati sebuah tempat
berbentuk seperti halte bus bertuliskan flower shop, did alamnya tampak ibu-ibu
tengah menjuak bunga berwarna kuning, merah, dan ungu.
“Mengapa Gay?” Hera kembali bertanya, karena wanita
yang diajak bicara seakan tak mendengar kata-katanya.
“Maaf, aku tengah melihat-lihat suasana baru, kenapa?”
Gayatri seakan tersadar dari kekagetannya.
“Mengapa anda memilih Wamena sebagai tempat tugas
pegawai tidak tetap?” Hera mengulang pertanyaan.
“Anda sendiri kenapa Hera?” Gayatri balik bertanya,
pertanyaan itu sedemikian sederhana, tapi tak mudah dijawab, a tau ia belum
benar-benar ingin menjawabnya.
“Aku?Aku terlalu bising dengan suasana Jakarta. Di
sana ada sepuluh juta orang di malam hari dan lima belas juta di siang hari.
Semua sibuk bekerja dari pukul enam pagi hingga pukul sepuluh malam.Rumah
selalu sunyi, kecuali pada hari Sabtu dan Minggu. Aku melewatkan masa kecil di
perkebunan, tiba-tiba aku merasa asing dengan suasana itu. Aku ingin kembali
keada alam, kepada suasana masa kecil, ketika orang lebih mementingkan
kebersamaan dari pada bekerja seharian untuk mendapatkan uang. Sementara kakak
angkatanku di Universitas Indonesia lebih banyak bertugas di wilayah timur, mereka
selalu singgah di kampus dengan bermacam cerita dan aku menjadi tertarik. Di
lembah ini kita tidak sendiri”, Hera menjawab pertanyaan dengan lancar,
sikapnya nyata-nyata bersahabat.Benar, mereka memang tidak sendiri, meski pun
sudah berada pada peta yang sangat jauh dari tempat tinggal dan keluarga.
Setelah Hera menjawab pertanyaan dengan panjang lebar,
Gayatri pun berkewajiban pula menjawab pertanyaan.“Sejak kuliah aku memang
ingin bertugas ke wilayah timur, hitung-hitung transmigrasi spontan. Dan
seperti halnya anda Hera, aku pernah
membaca cerita anak-anak, Genderang Perang dari Wamena. Sejak membaca cerita
itu aku menjadi terobsesi untuk melihat secara langsung kehidupan di tempat
ini. Rupanya kita sama-sama terikat dengan situasi masa kanak-kanak. Ha ….
Ha…..Ha….”, keduanya tergelak, dan mobil telah sampai pada tempat tujuan,
memasuki halaman rumah.
Rumah itu berukuran mungil, berpagar rendah dengan
humus pelindung. Halaman tak terlalu luas ditumbuhi aneka bunga dan sebatang
pohon alpokad yang berbuah lebat, sebuah teras dengan seperangkat kursi kayu
dan tanaman hias di dalam pot yang ditata apik. Lantai rumah adalah semen
berwarna gelap, tampak mengkilap, karena dicuci setiap hari. Keseluruhan
bangunan terbuat dari kayu dengan atap seng dan talang untuk menadah hujan. Ada
tiga kamar tidur, ruang tamu, ruang TV, ruang makan sekaligus dapur, dua kamar
mandi, tempat mencuci dengan drum penampung air hujan, dan halaman belakang
rumah yang ditumbuhi palawija. Perabot
yang ada di dalam rumah amatlah sederhana. Gayatri harus bekerja extra
keras untuk melengkapi rumah ini, mengecat, menata taman bunga, dan membeli
bermacam perabot serta alat dapur, sehingg ia dapat memiliki tempat tinggal
yang nyaman, tapi untuk sementara ia merasa cukup senang dengan tempat
tinggalnya yang baru.
Seorang wanita setengah tua menyambut kedatangan
Gayatri dengan dengan senyum mengembang, wanita itu tak banyak berkata-kata,
tapi wajahnya selalu tersenyum. Dengan ramah ia mengantar Gayatri ke kamarnya,
sebuah ruangan berukuran tiga kali tiga meter dengan lantai semen, daun
jendela, tempat tidur kayu, mejakursi, dan alamari pakaian. “Ini dokter punya
kamar”, wanita membantu Gayatri mengangkat barang-barang kemudian segera sibuk
di dapur, menyediakan minuman.
Gayatri terduduk di kamarnya sejenak dengan
barang-barang bertimbun, ia menghirup udara dingin, menatap pemandangan
membentang dari bingkai jendela, dan tiba-tiba ia merasa haus. Gayatri bergegas
ke ruang tengah, Anton dan Hera tengah menunggu dengan teh panas di dalam
cangkirdan sepiring ubi manis goring.
“Ayo minumlah, ini ubi manis produk Lembah Baliem,
anda pasti menyukainya”, Hera menawarkan dan Gayatri tak menunggu lebih lama
lagi. Ia menghirup teh panas di dalam cangkir, mencicipi ubi manis, duduk
santai di kursi kayu dengan sepon yang sudah mulai usang. Gayatri tersadar ia
merasa amat lelah, setelah perjalanan yang jauh kini ia sampai di tempat
tujuan, ia memerlukan waktu untuk istirahat sebelum memulai hal-hal baru yang
sudah pasti sangat menantang.
Mereka bercakap-cakap, beberapa saat kemudian Hera dan
Anton berpamit kembali ke rumahsakit. Gayatri merapikan barang-barang di kamar,
tak lama kemudian ia pun tertidur dengan pulas. Di luar matahari bertahan tetap
pada garis edar tanpa tanpa sedikit pun bergeser, kabut mulai turun. Perbukitan
di seputar lembah tampak sebagai lukisan yang samar-samar.
Ketika terbangun dari tidur Gayatri tersadar, bahwa ia
harus memulai memanfaatkan tiap menit untuk kehidupan yang lebih baik dan
sebuah cita-cita. Gadis itu membongkar seluruh barang bawaan, merapikan pada
tempatnya, membagikan oleh-oleh pada Hera dan Bibi yang diterima dengan senang hati. Keesokan harinya ketika menghadap kepala dinas di
ruang kerjanya, Gayatri tertegun. Ia mengira akan berhadapan dengan seorang
laki-laki berambut putih, menjelang usia senja. Kepala dinasnya adalah seorang
dalam muda usia untuk jabatannya yang tinggi. Ia mengenakan hem putih
cemerlang, celana keki, sepatu kulit, rambutnya digunting rapi, wajahnya tenang
membayangkan kecerdasan dan pengertian. Gayatri mengulurkan tangan dan segera
dijabat erat. Mereka bercakap-cakap dengan bersahabat seolah dua orang yang
sudah saling mengenal. Gayatri tak menyadari, atau pura-pura tak menyadari,
bahwa penampilan dan kehadirannya begitu memukau sekaligus menimbulkan tanda
Tanya di setiap benak orang yang mengenalnya, mengapa ia memutuskan untuk
bertugas di lembah yang sulit dicapai? Ada apa di balik keputusan itu? Gayatri
tak mungkin menjawab pertanyaan itu satu per satu. Ia juga tak dapat menghindar
dari tatapan yang mengagumi penampilannya. Dokter itu terlalu sibuk dengan cita-citanya, ia tak
berpikir panjang bagi setiap kekaguman.
Setelah perkenalan dengan kepala dinas Gayatri harus
mengikuti orientasi, menyesuaikan diri di tempat tugas pada sebuah klinik yang
terletak di pinggir kota, membenahi tempat tinggalnya, dan menyesuaikan diri
dengan kehidupan lembah. Beberapa kali ia menelepon ke Yogya untuk mengabarkan
keadaan kepada keluarganya, kemudian ia harus ke Jayapura, mengikuti pelatihan
bedah bagi antisipasi tugas-tugas di lapangan. Tiga bulan kemudian Gayatri
bersiap kembali ke Wamena dengans seratus kilogram barang untuk melengkapi isi
rumah. Ia memiliki lebih dari sekedar cukup persediaan, karena ibunya memberi
seluruh isi tabanas yang dikumpulkan sejak masa kanak-kanak dan sedianya akan
diberikan pada hari perkawinannya.
Suasana menjadi lebih baik di dalam rumah, Gayatri
mengganti gorden, memasang karpet, melengkapi peralatan makan, membayar tukang
untuk mengecat rumah, memasang bantal dengan motif yang cantik di ruang tamu,
mengatur segala pernik, memasang perapian di ruang duduk, sehingga layak
kiranya rumah itu sebagai tempat tinggal. Hera tampak menyetujui segala upaya
Gayatri. Setelah itu ia pun mulai dengan tugas rutin.
Hari itu seorang bidan desa mengeluhkan kondisi ibu
hamil yang sudah dekat melahirkan.Wanita itu tampak sedemikian lemah dengan
perut terlalu besar untuk sebuah kehamilan. Wajahnya menguning, bibirnya pucat,
badannya menggigil dalam demam yang tinggi. Gayatri terdiam ketika menatap
wanita itu dalam jarak dekat, ia tak melihat kekuatan tersisa, pandangan
matanya dingin dan hampa.
“Ini anak ke berapa mama?”Gayatri bertanya.
“Delapan”, jawab wanita itu singkat.
“Nama mama?”
“Liwa”.
“Mama harus istirahat total, tidak boleh bekerja sama
sekali, coba periksa darah, barangkali malaria. Dan lebih baik mama
beristirahat di ruang rawat”, Gayatri berniat meninggalkan ruang periksa untuk
kembali ke ruang kerja, tetapi tatapan wanita itu seakan menahannya. Ia tak
banyak berkata, tapi wajahnya yang pasrah sudah cukup mengisyaratkan
penderitaannya. Ibu hamil itu sudah tak mampu berdiri, sehingga ia dapat
dinyatakan sakit oleh orang di sekitarnya dan harus dibawa ke klinik terdekat.
Gayatri memerintah seorang bidan mengambil sampel darah untuk tes malaria. Tak berapa lama kemudian
ketika hasil tes dilampirkan dengan pernyataan malaria positif tiga, Gayatri segera menyarankan supaya ibu
hamil itu segera diantar ke ruang rawat untuk diinfus. Gayatri mengawasi
seluruh tugas bidan yang sedang jaga kemudian ia meraih kursi, duduk menghadapi
seorang pasien dengan dada telanjang, keduanya bertatapan.
Gayatri seolah tengah menatap sepasang mata pada suatu
zaman yang telah beratus tahun berlalu, mata yang menimbun penderitaan hidup
tak terkatakan. Ia dan pasien yang tengah dirawat kini sama-sama wanita, tapi
dalam jarak yang dekat, pada ruang dan waktu yang sama, keduanya seolah
terpisahkan situasi yang jauh berbeda
dan tak akan pernah dapat disatukan.
Di pihak lain Liwa memandang Gayatri dengan hampa, ia
telah menyerah sebagai seorang wanita malang yang tak akan pernah berkuasa atas
dirinya sendiri. Setelah Ibarak mengambil kembali dari Lapina dan memperlakukan
dirinya seakan makhluk tak bernyawa, ia merasa dirinya semakin hari semakin
lemah. Suatu kenyataan pahit yang tak
bisa ditolak, bahwa akhirnya ia mendapati dirinya tenga hamil. Usia yang terus
berjalan, kerja keras, beban hidup, dan gizi yang buruk adalah persoalan
kompleks yang membuatnya sakit. Sementara Ibarak tak bisa melepaskan diri dari
kebiasaan melayangkan tangan. Liwa tak dapat membahasakan lagi nasib apa
sebenarnya yang telah menimpa dirinya. Ia selalu merasa lelah dan ketakutan,
dan akhirnya tak berdaya. Liwa putus asa dengan hidupnya, terlebih ketika
ia menyadari kandungannya. Anaknya telah
tujuh orang dan harus diberi makan
setiap hari. Kemamilan itu berarti, bahwa ia harus member makan seorang anak
lagi. Liwa tak punya tempat berlari, karena Lapina tak dapat member ijin ia
berlindung di dalam honainya. Ia pun terbaring lemah di dalam honai tanpa mampu
bergerak lagi.
Ketika menatap Gayatri, Liwa merasa dirinya seakan
tengah tersedot ke dalam suatu masa yang belum pernah dikunjungi, dalam
mimpinyansekali pun.Wanita itu m engenakan pakaian rapi berwarna putih bersih,
sepatu hitam mengkilat, rambutnya panjang dan lembut.Kemudian wajah itu adalah
citra roman yang rupawan, dengan sorot mata teduh dan senyum yang dapat
mengurangi rasa sakit.
“Dimana keluarga mama?”Gayatri bertanya.
Di telinga Liwa suara ity terdengar lembut mendayu dan
seakan berasal dari dunia yang sangat jauh.Bibir yang tebal dan pucat itu
tersenyum dipaksakan.“Ada menunggu di luar”, jawab Liwa singkat. Gayatri
mendengar suara berisik di dekat pintu kemudian ia mengangguk. “Baiklah,
sekarang mama istirahat dulu, besok saya lihat perkembangannya”, Gayatri segera
berlalu. Tapi aneh, ia tak sedikit pun dapat mengusir bayang-bayang Liwa dari
benaknya. Ada sesuatu yang mengiris dalam garis wajah wanita itu.Tiba-tiba
Gayatri terdorong rasa ingin tahu. Ada apa di balik wajah duka pasien itu? Ia
ingin melakukan sesuatu.
Keesokan harinya Gayatri mengunjungi Liwa di ruang
rawat dengan membawa beberapa lembar pakaian ganti. “Ini pakaian untuk mama”,
Gayatri mengulurkan tangan, dan ia pun tertegun ketika Liwa menerima pemberian
itu dengan berlinang air mata. Pakaian itu agaknya telah menjadi barang yang
amat berharga dan tak pernah dimiliki sepanjang hidupnya. Dengan susah payah
Gayatri membantu Liwa mengenakan pakaian, karena jarum infuse tetap tertanam.
Ketika pakaian itu telah dikancingkan, maka Liwa segera memeluk Gayatri, ia
seakan terlupa pada penyakitnya.
“Aih anak terima kasih, terima kasih”, Liwa
terisak-isak, ia memandangi pakaian barunya seakan benda berharga yang
menakjubkan. Seumur hidup ia tak pernah mengenakan pakaian sebagus Ini dan
tiba-tiba dokter itu memberi sekaligus membantu mengenakannya. Untuk sekali
dalam hidup tiba-tiba Liwa merasa dirinya masih cukup berharga.
Di pihak lain gayatri terdiam, ia tak menyangka bahwa
pemberian yang sederhana ini demikian besar artinya bagi seorang Liwa.
“Bagaimana keadaan mama?”Gayatri bertanya sambil menempelkan telapak tangan di dahi
Liwa.
“Saya masih lemah anak”, Liwa menjawab dengan suara
terbata-bata. Sehari-hari ia hanya berhubungan dengan orang di lingkungan
silimo, para pembeli di pasar, dan kerabat jauah, nyaris tak pernah bersentuhan
dengan orang luar, kecuali turis yang membeli kerajinan tangannya. Dan dokter
wanita itu demikian baik, Liwa merasa sakitnya banyak berkurang.
“Mama tinggal dimana?” Gayatri bertanya.
“Saya tinggal di silimo, perempuan tinggal dengan
perempuan,laki-laki tinggal dengan laki-laki”, Liwa menjelaskan adat kebiasaan
di tempat tinggalnya, gayatri mengangguk-angguk, ia telah belajar perihal adat
Suku Dani yang berbeda dengan adat suku lain. “Setiap hari saya harus bekerja
di kebun, saya tidak bisa istirahat, karena anak-anak harus makan. Saya sudah capek melahirkan, tapi
kehamilan ini tak dapat saya hindari. Kalau saya tidak mengikuti kemauan
Ibarak, suami saya, ia akan marah dan memukul saya. Saya hanya budak yang telah
dibayar dengan babi, tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Mungkin lebih
baik saya mati supaya saya tidak melakukan apa-apa lagi”.
Kata-kata itu
singkat, tapi Gayatri terhenyak, wanita itu telah berada pada batas yang amat
samar antara hidup dan mati. Kemudian kehamilan itu, gayatri tak yakin Liwa
dapat melampaui partus dengan selamat tanpa pembedahan, kondisinya demikian
lemah, tekanan hidup tampak semakin memperburuk keadaannya.
“Kalau mama meninggal, siapa yang akan mengurus
anak-anak mama?Apakah mereka akan besar dengan sendirinya?” Gayatri menanggapi,
ia berharap pasien itu akan menjawab, tapi ternyata Liwa terdiam, ia menatap
langit-langit kamar dengan bisu. Pasti ia sedang dihadapkan pada pilihan yang
sulit, antara sisa kekuatan mempertahankan hidup dengan hari-hari yang
menakutkan atau mati, meninggalkan seluruh kehidupanndengan mempertaruhkan
nasib anak-anak yang tak mempunyai kesalahan.
“Kelahiran ini akan menjadi hal yang tidak mudah,mama harus menjaga kesehatan
dan menguatkan hati, hanya dengan cara seperti ini bayi dan ibunya akan
selamat”, Gayatri menghibur, tak dapat disangkal, bahwa ia sangat mencemaskan
keadaan Liwa. Ia berkeputusan memantau keadaan pasien itu hingga kelahirannya.
Berdasarkan palpasi, kelahiran akan terjadi sekitar sepuluh hari ke depan.
Apabila malaria dapat disembuhkan, maka kemungkinan kesulitan dalam partus akan
berkurang.
“Tolong saya anak”, Liwa menggenggam tangan Gayatri,
tatapan matanya penuh permohonan, ia tak dapat memilih, tetapi ada satu hal
yang harus dikerjakan, berjuang bagi anak-anaknya.
Gayatri merasa ada sebuah dorongan kuat untuk memenuhi
permintaan Liwa, bahwa ia harus menyelamatkan wanita itu dalam melahirkan
bayinya. “Saya pasti akan menolong mama, itu tugas saya”,Gayatri mencoba
meyakinkan wanita itu supaya hatinya tenang.Ia pasti akan menolong Liwa dengan
semua kemampuan yang ada.
Akan tetapi, di Kobakma, sebuah kecamatan pemekaran
Karubaga yang terletak di sebelah barat lembah telah terjadi kasus luar biasa,
yaitu diare yang memakan korban jiwa. Sebuah tim medis harus didatangkan bagi
tindakan pengobatan, perintah itu diterima oleh Hera dan Gayatri beserta dua
orang perawat. Mereka harus segera terbang ke lokasi dengan menumpang pesawat
Cessna.
Gayatri tak pernah merasa terbeban dengan tugas di tempat
yang paling terpencil sekalipun.Ia hanya merasa bimbang, Karena harus
meninggalkan Liwa, pasien siap partus yang telah merebut simpatinya. Gayatri
tak pernah menduga, bahwa ia akan menangani kasus seperti ini di tempat yang telah dipilihnya untuk bertugas. Wanita
di lembah ini masih terpaku pada kehidupan konvensional, di bawah perintah
suami untuk memikul seluruh beban keluarga hingga terancam keselamatan
hidupnya.Mereka tak dapat memilih, tak dapat merubah atau memberontak, rantai
persoalan telah membawanya menuju perangkap tanpa jalan keluar.
“Ada yang kau pikirkan Gay?” Hera bertanya, ia telah
terbiasa sehari-hari dengan Gayatri, tak lagi menyebutnya dengan anda. Mereka
duduk di jok bagian tengah pesawat Cessna yang menampung dua penumpang, pesawat
telah meraung membelah angkasa, langit biru tanpa cela.
“Aku meninggalkan ibu hamil dalam keadaan sangat
buruk, aku yakin bayi itu hanya akan selamat lewat pembedahan.Aku telah
berjanji untuk menolongnya.Seorang wanita yang malang”, Gayatri menatap keluar
jendela dengan galau.Ia tahu penerbangan dari Wamena ke Kobakma tak pernah
terikat pada jadwal yang pasti. Ia dapat terkurung di tempat itu dalam waktu
tiga minggu. Dalam kurun waktu itu, saat melahirkan bagi Liwa pasti tiba, ia
tak akan dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya.
“Seburuk apa keadaannya?”
“Buruk sekali, ia mengalami depresi, karena tekanan
hidup.Dalam beberapa kasus, ibu partus gagal diselamatkan, karena hambatan
psikologis. Aku harus ada di Wamena saat ia partus. Aku ingin melihatnya dalam
keadaan hidup”, Gayatri mengambil keputusan.
“Bekerjalah semampumu jangan memaksakan diri”, Hera
menghibur, ia mulai pening dengan getaran konsisten dalam pesawat yang sesak,
karena ruangan yang sempit.
Sementara Gayatri mulai berpikir mencari jalan keluar.
Seandainya, seminggu kemudian pesawat tak datang menjemput, ia terkurung untuk
jangka waktu yang dapat ditentukan. Dan bagaimana nasib Liwa? Wajah perempuan
itu selalu terbayang di depan mata. Gayatri yakin, ia tak akan pernah merasa
tenang sampai dapat menolong Liwa dengan selamat. Gayatri teringat pada
kegagalan partus yang telah lalu, ia memang terbiasa menghadapi kematian dengan kepala dingin,
karena hal ini adalah resiko tugas seorang dokter. Tapi ia masih
bertanya-tanya, apakah kepalanya akan tetap dingin, apabila kematian itu
terjadi pada Liwa? Sosok yangbaru dikenal dengan kemalangan yang mengusik
nuraninya.
Dokter itu memacu pikirannya.Di dalam peta tergambar
sebuah jalan darat sejauh 60 kilometer dari Kobakma ke Pass Valley, satu lokasi
yang terletak di km 60 dari Wamena. Kondisi jalan itu amatlah parah dengan
menyeruak hutan belantara . Masyarakat setempat memerlukan 12 jam untuk
menempuh jarak itu dengan berjalan kaki. Sementara pejalan kaki yang lain
memerlukan waktu lebih panjang. Ada sebuah pondok di tengah perjalanan yang
biasa digunakan para pejalan kaki untuk istirahat di malam hari.Apabila dalam
seminggu pesawat tidak dating menjemput, karena satu dan lain hal. Maka ….
Gayatri menarik napas panjang, sepasang matanya
terpejam.Ia harus berada kembali di Wamena saat Liwa melahirkan, dengan banyak
cara. Beberapa menit kemudian pesawat mulai memutar, menukik dengan lurus
menuju landasan pacu.Dari ketinggian Kobakma tampak sebagai sekumpulan rumah
mungil, silimo seakan jamur bertaburan, landasan pacu dengan rumput
hijau.Selebihnya, hutan membentang dengan batas garis langit.
Pesawat terguncang ketika roda-roda menyentuh landasan
pacu sepanjang 400 meter.Di ujung landasan sekumpulan masa telah menunggu,
mereka ingin menyaksikan burung besi, benda ajaib yang dapat terbang mencapai
langit dengan suara bergaung.Anak-anak ituadalahwajah tak berdosa yang
terkurung di tengah perbukitan bagi sebuah masa yang sulit digambarkan.
Gayatri menjejakkan kaki di tanah berumput dengan
hati-hati, masyarakat segera menyambutnya, kepala kampong, tua-tua adat, PNS
yang bertugas di tempat ini. Gayatri mengucapkan terima kasih kepada pilot yang
telah selesai menjalankan tugas kemudian berjalan beriringan menuju rumah kayu
yang telah dipersiapkan. Rumah itu memiliki dua kamar dengan satu ruang tamu
dan kamar mandi yang terletak agak jauh ke belakang, dipisahkan dengan kebun
jagung. Gayatri dan Hera meletakkan barang-barang di kamar bagian belakang, sedangkan
Anton dan Trimas menempati kamar bagian depan. Sebenarnya mereka ingin
beristirahat sejenak setelah penerbangan yang memabukkan, tapi dalam sekejab
tempat tinggal itu segera berubah menjadi rumah sakit darurat dengan antrian
panjang pasien di seputar halaman.
Keempat orang itu tak puny a pilihan lain, Trimas
membuka meja pedaftaran di bagian teras, Gayatri dan Hera di ruang darurat
pemeriksaan, dan Anton membagikan obat-obatan.Pelayanan terus berlanjut, waktu pun berjalan, matahari
telah condong di langit sebelah barat, dan keempat orang petugas itu sudah
merasa kelaparan. Nasi putih, ubi manis, super mie, dan ikan kaleng telah
dihidangkan. Gayatri mencuci tangan diikuti Hera, Anton, dan Trimas kemudian
mereka menghadapi hidangan dengan piring masing-masing dan mulai menyuap
makanan ke mulut.
Belum selesai acara makan, seorang datang dengan
tergesa-gesa menyampaikan informasi, tentang seorang pasien yang sangat kritis.
Gayatri menyelesaikan makan dengan tergesa kemudian mengisyaratkan Trimas ikut
serta dengan tas berisi obat-obatan dan perlengkapan. Rombongan kecil itu
berjalan beriringan melewati jalan setapak sejauh dua ratus meter menuju sebuah
kampong dengan honai bertebaran di antara hijau pepohonan. Gayatri dipersilakan
masuk ke dalam sebuah honai, ia segera mendapati dirinya di dalam rumah jamur
dengan langit-langit yang rendah, tungku
api di tengah-tengah ruangan, dan seorang anak kecil tergolek dengan tubuh
telanjang.
“Ia sudah dua minggu buang-buang air, tolonglah mama,
tiga anak saya yang lain sudah meninggal, saya tidak mau kehilangan lagi”.
Seorang wanita yang menjadi ibunya tampak melolong-lolong.
“Tenang mama, kami pasti menolong, untuk itu kami datang”,
Gayatri segera mengambil tindakan, memeriksa kondisi pasien dan segera
memerintah Trimas memasang infuse, karena kondisi pasien sudah sangat lemah.”Ia
dingin, ia harus memakai pakaian, ambil kain atau apa saja untuk membungkusnya,
dan nyalakan api, Gayatri memberi saran, ia sungguh kasihan melihat kondisi
anak yang malang itu. Ketika seorang mengulurkan sehelai kain yang telah kumal,
Gayatri segera membungkus tubuh kurus itu. Sementara udara mulai dingin dan
langit menjelang gelap, api tungku menyala dengan asap mengepul memenuhi seisi
honai, bocah itu terbatuk-batuk. Gayatri membantu menyuapkan obat dan oralit
kemudian merebahkan kembali ke lantai honai.
“Ia harus minum air matang, jangan sekali-kali
memberinya air yang belum dimasak, karena air mentah itu penyebab penyakitnya”,
Gayatri ingin lebih lama di tempat ini, tapi matahari telah padam, ia harus
berlindung dari gelap di dalam rumah
yang kuat.” Baiklah sementara sampai di sini, saya harus kembali, karena
hari sudah malam”, Gayatri berpamit, ia harus menempuh 200 meter jalan setapak
untuk mencapai tempat tinggal dan menghempaskan tubuhnya yang letih ke dalam
sleeping bag. Tenaganya tak lagi bersisa.Hera dan Anton telah menyalakan lilin
pada tiapruangan, telah mandi dan menghirup secangkir the panas dengan nikmat.
Gayatri tak sempat mengingat air mandi, tak sempat
meneguk teh panas, ia rebah di dalam sleeping bag dan baru terjaga pada
keesokan harinya. Hera terkekeh-kekeh melihat Gayatri terbangun dalam keadaan
kusut masai dengan pakaian yang sama yang dikenakan saat keberangkatan.
“Selamat pagi ibu dokter, pasti dapat
mimpi indah sekali setelah satu hari satu malam tidak mengganti pakaian”,
kata-kata itu menyadarkan Gayatri perihal keadaan diri dan ia segera merasa
tolol. Ia tahu Hera akan terus meledeknya, kalau ia tak melakukan kegiatan
rutin yang mestinya dilakukan seorang dokter, yaitu mandi dan berganti pakaian
bersih.
Di luar pasien telah antri berjubel.Tuan rumah kembali
menyediakan menu serupa ditambah dengan sarden campur super mie. Dokter dan
perawat itu tak punya pilihan lain kecuali menyantap menu apa adanya untuk
memulai pelayanan. Gayatri menyempatkan diri mengunjungi pasien kecil di dalam
honai untuk mengganti botol infuse dan memastikan kondisinya mulai membaik,
selanjutnya Trimas yang melanjutkan perawatan, karena Gayatri harus melakukan
pelayanan di Puskesmas darurat. Hari ketiga pasien mulai berkurang, Gayatri
kembali turun ke kampong untuk melihat keadaan pasien kecil yang telah diinfus,
ia bersyukur, karena pertolongan yang diberikan telah mengembalikan pasien itu
kepada kondisi sehat.
Hari keempat pasien semakin berkurang. Hari kelima tim
medis itu sepakat turun ke rumah-rumah untuk mengadakan penyuluhan. Ketika
Gayatri menengok pasien kecil yang dikunjungi di dalam honai dan didapatinya
anak itu tengah duduk mengunyah ubi manis, ia pun tersenyum. “Adik sudah
sembuh?” Gayatri menyentuh pipi anak itu, ia pun melepas sepatu kemudian duduk
menghadap ke tungku. Sementara Hera melakukan hal yang sama.
“Mama, terima kasih. Anak saya sudah sembuh”, seorang
wanita memeluk gayatri, ia adalah ibunya. Bapak si anak datang tak lama
kemudian, duduk bergabung. Api tungku dinyalakan, seikat jagung disorongkan,
dikupas , dan tak lama kemudian api telah berubah menjadi bara, jagung itu pun
masak sudah, dan mereka mengunyah jagung bakar itu dengan nikmat.
“Mama, agaknya Tuhan telah mengirim mama berdua ke
tempat terpencil ini. Kami tidak tahu apa yang terjadi apabila anak saya tidak
tertolong. Selama ini tak pernah ada orang mengunjungi tempat ini, tidak ada
yang memperhatikan nasib kami, tidak ada yang tahu kami punya kesusahan. Mama
lihat keadaan kami, rumah kami tidak baik, kami ingin rumah sehat. Pakaian kami
juga tidak baik. Kami hidup terpencil, serba susah. Kalau nanti mama sampai di
kota, sampaikan pada beliau di sana tentang keadaan kami, kami ingin berubah”,
Petrus, bapak anak itu tiba-tiba membuka pembicaraan dengan panjang lebar.”Kami
sangat berterima kasih dan bersyukur, bahwa mama berdua bersedia duduk dengan
kami di dalam honai. Tempat ini sangat jauh, pesawat tidak bisa diharap, untuk
bisa datang ke kota seringkali kami harus berjalan kaki sejauh enam puluh
kilometer dengan melewati hutan. Satu kali cuaca pernah demikian buruk, hujan
es turun ketika masyarakat di sini sedang dalam perjalanan.Dia tidak tertolong,
dia meninggal”, kata-kata itu terlontar dengan bersahaja seolah-olah Petrus
tengah bercakap-cakap dengan sahabat yang sudah lama dikenal dan amat
dipercaya.
Gayatri melihat mata Hera berkaca-kaca, gadis itu
sedang berusaha menahan sedu sedan. Sedangkan ia mengalami hal serupa, air
matanya bahkan telah gugur, karena kata-kata itu. Ia bukan hanya seorang dokter
yang mampu mengobati pasien, tapi juga satu sosok dari dunia lain yang duduk di
lantai honai, dituntut mengalami persoalan rumit di sekitarnya. Gayatri
teringat pada kehidupannya yang mapan, ia tak pernah punya kesulitan dalam
mencapai cita-cita, tak pernah ada yang salah, segalanya demikian sempurna.
Tapi masyarakat yang sedang dihadapi kini? Mereka adalah warga Negara yang sama,
akan tetapi tidak memiliki hak serupa, mereka adalah sekelompok dari wilayah
timur yang terabaikan, yang tak memperoleh hak akan keadilan. Dan kelompok itu
dengan lugu memohon kepada dokter muda untuk meneruskan segala keluhan kepada
“beliau” bagi sebuah perubahan.
Tiba-tiba Gayatri merasa dirinya begitu kecil, ia
belum sepenuhnya mampu menganalisis atau tak mempunyai keberanian untuk
mengungkapkan sebab-sebab yang berakibat pada ketidakadilan di lembah ini.
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Jayawijaya bahkan sama besarnya dengan
subsidi yang diterima universitas setiap tahun. Suatu jumlah yang kecil, tidak
sesuai dengan tingkat kesulitan hidup dan tidak adil. Tapi, kepada siapa
ketidakadilan ini mesti dipertanyakan?
Gayatri merasa amat dungu.Ia hanya bagian amat kecil dari sebuah system atau
rezim yang tengah berkuasa. Ia memang telah mampu keluar dari persoalan,
mencapai cita-cita, martabat, dan menjadi sebuah pribadi. Tapi memenuhi
permintaan masyarakat yang polos ini?Gayatri tak berkuasa menjawabnya.Demikian
pula Hera.
Gadis-gadis itu keluar dari honai dengan mata
sembab.Keduanya tak lagi berkata-kata, tenggelam dalam pikiran
masing-masing.Sambutan, kenangan, dan kejujuran masyarakat di tempat ini telah
menjadi sebuah isyarat, ada sesuatu yang tak beres dalam system pemerintahan
nasional.Dan untuk sementara Gayatri harus berhenti sampai di sini.
Kemudian masuk berita lewat radio, bahwa pesawat tak
bisa dating menjemput.Rombongan medis itu pun terhenyak.Di tempat terpencil dan
sunyi hari-hari terasa berjalan lamban. Gayatri teringat akan Liwa, ia tak
mampu lagi menguasai kecemasan. Ia tak
dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada wanita yang malang itu tanpa
kemampuan bedah seorang dokter. Bidan-bidan tak akan pernah mampu mengatasinya.
Sementara tempatnya bekerja adalah klinik kecil di pinggir kota, ia sudah
berjanji untuk menyelamatkan Liwa. Ia pun tidak bisa berlama-lama di tempat
terpencil ini.
Sementara Hera tampak termenung, gadis itu tak dapat
menyembunyikan wajahnya yang diliputi mendung.Ada persoalan berat yang dipikirkan.“Kenapa
Her?”Gayatri bertanya.
“Aku harus secepatnya pulang ke Wamena untuk
menghubungi mama, sesuatu yang buruk telah terjadi”.
“Apa kira-kira?”
Hera tak segera menjawab, ia menghela napas berat
berulang kali, ragu-ragu dengan dirinya sendiri. Gadis itu termangu-mangu
sebelum akhirnya menjawab.”Ini masalah keluarga, masalah yang sangat pribadi”,
Hera terdiam, beberapa saat kemudian Hera meneruskan kata-katanya.“Mereka akan
bercerai”, dokter itu merebahkan diri di atas sleeping bag, menatap langit-langit
kamar dengan hampa.
“Mereka?Maksudmu?”
“Mama dan papa. Aku tak tahu apa sebenarnya yang telah
terjadi, tiba-tiba mereka memutuskan untuk bercerai. Aku tak bisa berdiam lebih
lama di tempat ini.Paling tidak aku harus menelepon dari Wamena untuk mengetahui
apa yang terjadi”.
“Tapi pesawat tak dating untuk menjemput”.
“Kita harus melakukan sesuatu untuk keluar dari tempat
ini”, Hera tamapak berpikir keras.
“Aku pun harus segera sampai ke Wamena untuk melihat
keadaan pasien, tak bisa bertahan lebih lama”, Gayatri menimpali.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?”Hera memandang
Gayatri berlama-lama, mencoba memperoleh jawaban.
“Ada jalan darat sejauh enam puluh kilo meter dari
Kobakma ke Pass Valley. Kalau engkau berani berjalan kaki dengan beberapa orang
penduduk?”
Jawaban itu sepertinya sebuah solusi, kedua dokter itu
saling bertatapan kemudian mengangguk.“Engkau berani Gay?”Hera bertanya.
“Aku telah memikirkannya sebelum pesawat mendarat di
landasan pacu”.
“Bagaimana dengan Anton dan Trimas?”
“Mereka pasti akan menyertai”.
Anton dan Trimas ternyata setuju, mereka mengambil
keputusan dengan cepat, bersiap-siap denganempat belas penduduk yang lain bagi
perjalanan pada keesokan harinya. Gayatri dan Hera tidur lebih cepat dari
biasa, mereka memutuskan untuk melakukan suatu hal yang terlalu berani, mungkin
juga konyol, dan mencemaskanuntuk sampai
kembali ke Wamena dengan resiko tak diperhitungkan.
Keesokan harinya ketika pagi belum juga merekah,
Trimas dan Anton telah mengetuk dinding kamar.Mereka harus mengepak
barang-barang, sarapan, dan menguatkan hati bagi suatu perjalanan yang belum
pernah terbayangkan. Beberapa penduduk yang bersedia mengantar telah
berdatangan, mereka bersimpati bagi kedatangan tim medis yang telah bekerja
keras mengobati pasien hingga kesembuhan.
Matahari bersinar dalam cahaya keemasan ketika
rombongan itu mulai bergerak. Anton berjalan rapat di dekat Hera, sekilas ia
melihat mendung pada wajah yang manis itu, tapi sungguh ia tak berani bertanya.
Bagi sementara orang dokter wanita itu menjadi sebuah pribadi tertutup yang
seringkali diliputi pertanyaan.Ia konsisten dengan tugas rutin, tapi di luar
tugas, maka dokter itu cenderung menutup diri. Keputusan untuk menempuh
perjalanan ini merupakan suatu hal yang mengejutkan, tak mungkin Anton tak
menyertai, ia pun menaruh simpati terhadap dokter itu.
Sementara Trimas berjalan tak jauh dari Gayatri, ia
merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan dokter ini. Kedatangannya ke
Lembah Baliem sudah menjadi suatu hal yang mengherankan, dan perjalanan yang
nekad ini.“Dunia ternyata tidak kurang orang-orang aneh”, demikian Trimas
mengguman di dalam hati. Trimas semakain heran, karena tak sedikit pun dokter
itu mengeluh dalam menempuh perjalanan, ia bersikap santai seolah tengah
bertamasya keliling kota. Gayatri menyimpan seluruh arsip dalam ransel kecil
dan menyandangnya. Sejak sekolah ia memang hobi hiking, menyusuri desa-desa
kecil yang tak dapat dijangkau dengan kendaraan. Perjalanan ini menjadi
kesukaannya, meski jauh di dalam hati kecil ia merasa ada suatu ketakutan.
Takut terhadap suatu hal yang tak mudah dimengerti.
Mereka melewati sebuah silimo, berpamit pada seorang
abambok –kepala suku—yang tak dapat berbicara dalam bahasa Indonesia dan
melepas kepergian itu dengan senyum bersahabat. Rombongan yang seluruhnya
berjumlah 18 orang itu terus bergerak melewati jalan pengerasan. Setengah jam
kemudian mereka melewati Desa Seralima, desa terakhir. Pagi masih basah dan
berembun, sinar matahari masih condong kekuningan.melewati jalan pengerasan.
Setengah jam kemudian mereka melewati Desa Seralima, desa terakhir. Pagi masih
basah dan berembun, sinar matahari masih condong kekuningan. Deretan honai yang
berdiri di kiri kanan jalan tampak mengepulkan asap tipis sebagai tanda
kehidupan. Penduduk yang berdiri di depan honai, bersedekap, melawan udara
dingin, menyaksikan rombongan kecil yang berjalan dengan tas punggung dan
perbekalan. Gayatri menyempatkan diri membidik kamera. Kelak, bidikan itu akan
menjadi foto terbaik dari koleksi yang dimilikinya.
Perjalanan diteruskan, semakin lama kondisi jalan
semakin menyempit, berlumpur dan mendaki.Cahaya matahari hangat menembus hijau
dedaunan.Di seputar jalan adalah semesta luas dalam warna hijau dinaungi biru
langit dan awan putih yang terus berarak berubah bentuk.Rombongan sampai pada
anak sungai pertama sebelum mencapai pondok.Mereka berisitirahat sebentar,
membersihkan lumpur dan keringat di wajah kemudian mulai bergerak mendaki bukit
dengan memanjat kayu-kayu yang rebah.Suasana sunyi kembali berlanjut ketika
suara gemercik air tak lagi terdengar.Sesekali memecah suara binatang hutan
kemudian suasana kembali bisu.
Tiba-tiba jalan menyempit dan semakin memburuk, tanah
pengerasan tak lagi tersisa, yang harus dipijak di setiap langkah adalah
lumpur. Semula lumpur hanya mencapai betis, akhirnya lutut pun terbenam.
Gayatri menganga dengan sepasang mata terbelalak lebar.Ia sering mendaki jalan
setapak di tengah hutan, tetapi tidak berlumpur seperti ini. Hera telah
menghilang di bagian depan, hanya sesekali berkelebat bayangannya. Gayatri
meneguk multivitamin, membagikan kepada Triman kemudian kembali
melangkah.Trimas membimbingnya dengan kesabaran, jalan terus berlumpur dan
mendaki. Di kiri kanan jalan adalah
hutan berlumut, tak ada tanda kehidupan di hutan ini, kecuali suara alam yang
amat halus dari tetes embun gugur kemudian musnah tanpa jejak. Langit mulai
diliputi mendung, udara bersih dan segar. Rombongan terus berjalan hingga
mencapai sebatang sungai dengan arus yang deras dan air yang jernih.Rombongan
itu beristirahat. Gayatri merasa lega
ketika ia melihat wajah cerah Hera, gadis itu tak sekali pun mengeluh.
Ia menyimpan beban hidup dan ketakutan di balik wajahnya yang tenang.
Sementara dari ruang SSB yang sempit pada suatu tempat
di Kobakma, berita mengenai perjalanan lewat darat telah dikirim dan langsung
diterima operator yang bertugas di kantor dinas. Dengan tergopoh-gopoh operator
menyampaikan berita itu kepada kepala dinas dan di belakang meja, Yohanis,
dokter senior berpengalaman itu menerima laporan dengan mata terbelalak.
“Jadi, mereka membawa dua dokter perempuan berjalan
kaki melintas hutan. Tidak! Mereka tidak cukup mengenal tempat ini. Mestinya
pesawat MAF menjemputnya, sehingga
mereka tidak perlu melakukan hal-hal gila seperti ini. Kirim berita ulang, hentikan
mereka!” dr. Yohanis merasa kepalanya berdenyut-denyut, saat itu ia merasa
dicekam kepanikan. Seandainya terjadi apa-apa dengan dokter wanita itu, ia
harus bertanggung jawab, karena ia yang memberi tugas itu. Bagaimana pula
dengan teguran dari provinsi? Ya Tuhan!
“Maaf bapa,
mereka pasti sudah sampai di tengah perjalanan. Saya pernah melewati jalan
itu.Jalan setapak berlumpur. Menjelang petang mereka akan sampai pada sebuah
pondok yang terletak di bawah tebing batu untuk bermalam. Keesokan harinya
perjalanan dapat diteruskan dan sampai di Pass Valley pada tengah hari”, jawab
operator, ia mencoba bersikap setenang mungkin untuk menutupi kegugupannya.
“Mereka akan bermalam di pondok, di tengah hutan!”
mata dr. Yohanis menatap lurus ke depan pada sang operator tak percaya. “Saya
harap kamu orang tidak mengada-ada. Cek kembali radio, barangkali berita itu
keliru, atau ….”, Yohanis terduduk lemas di kursi, beberapa detik ia seakan
kehilangan kesadaran, dimana posisi yang sebenarnya?
“Maaf bapa, saya tidak keliru mendengar, beritanya
betul seperti itu”, kata-kata itu demikian tenang dan pasti.Kedua orang itu,
atasan dan bawahan saling bertatapan. Yohanis pun menundukkan kepalanya. Ia
teringat pada keberadaan gerakan separatis yang beroperasi di hutan-hutan,
dokter itu memejamkan mata, ia merasa panas demam merayapi seluruhtubuhnya. “Kembali ke
tempatmu”, suara itu perlahan, hamper-hampir berbisik, setelah itu menjadi
sunyi. Yohanis terlalu cemas atau ia sebenarnya telah mencemaskan sesuatu yang
tidak perlu dicemaskan, atau entahlah. Laki-laki itu merasa wajahnya memucat.Ia
menggenggam kalung salib dan mulai berdoa.
Nun jauh dari tempat Yohanis berdoa, rombongan terus
berjalan, lumpur masih mencapai lutut. Pada suatu tempat yang agak kering
rombongan berhenti, membuka perbekalan, ubi manis yang direbus dan papaya.
Mereka tidak berhenti terlalu lama,
karena matahari terus merangkak dan udara semakin panas. Gayatri merasa lelah,
tapi ia harus tetap berjalan, berjalan sampai matahari hingga matahari
tergelincir di batas cakrawala dan suasana semakin temaram. Dari kejauhan
terdengar suara gemercik air sungai, pondok sudah dekat. Rombongan berhenti di tepi sungai, ada yang mandi, ada yang
membersihkan kaki, dan semuanya mencuci muka. Separuh perjalanan telah
dilampaui, kaki-kaki kembali menjejaki pohon-pohon yang rebah, hutan tetap
menghijau dan diliputi kesunyian abadi.Hera telah sampai di pondok terlebih
dahulu, Gayatri kemudian menyusul.Mereka menuruni jalan setapak, merayap di
bawah pohon tumbang dengan akar mencuat, kemudian tampaklah atap pondok yang
terbuat dari jalinan ilalang dengan tebing batu berdiri kukuh seakan benteng
pelindung.
“Hera”.
“Gay”.
Keduanya berpelukan kemudian merebahkan diri di lantai
pondok berbantal jaket.Di luar terdengar orang membelah kayu bakar.Trimas dan
Anton menebang batang batang semak-semak sebagai alas tidur, tak lama kemudian
mulai api mulai menyala di pondok. Gelap pun perlahan turun dan udara semakin
dingin. Perbekalan dibuka, ubi manis dibakar ke dalam abu panas. Rombongan itu
pun makan dengan menu serba apa adanya.
Di luar kehitaman datang dengan cepat, Gayatri dan
Hera telah berlindung di dalam sleeping
bag. Trimas telah mengokang senapan angin dan meletakkan di dekat pintu
masuk.Semuanya merasa lelah dan segera tenggelam dalam istirahat
masing-masing.Api tetap menyala. Gayatri menghindarkan tatapan dari setiap
orang.Ia pun menatap langit-langit pondok dengan gamang, ia telah memutuskan
perjalanan yang penuh resiko, ia harus melepaskan diri dari kehitaman malam di
hutan ini dan meneruskan perjalanan pada keesokan hari. Malam pun turun dengan
pasti, tak ada lagi yang terdengar kecuali kesunyian dan suara daun kering
terjatuh dihembus angin.
Hera tampak gelisah dalam tidur, Gayatri memaksakan
diri memejamkan mata.Ia harus mengumpulkan tenaga bagi perjalanan pada keesokan
harinya. Semula ia merasa susah, tetapi ia memohon kepada Yang Mahan Kuasa,
sehingga akhirnya ia pun terlena. Beberapa kali Gayatri terjaga, ketika ia tak
mendengar adanya tanda-tanda bahaya, ia pun kembali terlena. Jarum jam terus berdetik.
Akhirnya fajar menyingsing, Gayatri membuka mata
dengan rasa syukur, bahwa ia melewatkan malam dengan selamat. Tak ada kejadian
mengerikan seperti yang pernah ia bayangkan, dan ia harus segera bersiap-siap.
Perjalanan segera diteruskan. Biskuit, ubi manis, dan air mineral dibagikan.
Gayatri dan Hera membersihkan diri pada sebuah anak sungai yang terletak di
seputar pondok dan berganti pakaian.Tak lama kemudian rombongan itu mulai
berjalan mendaki bukit, pondok itu ditinggalkan dan kenbali diam.
Di Wamena dr. Yohanis telah bersiap-siap bagi sebuah
penjemputan, ia menukar Toyota Kijang warna putih dengan Taft GT milik LIPI
untuk mendaki jarak 60 kilo meter dari wamena ke Pass Valley. Dokter itu telah
menyiapakan pula perbekalan, nasi kotak, air mineral, dan kue basah. Sementara
seluruh radio yang beroperasi di wilayah ini terus memantau perjalanan.
Penampilan dr. Yohanis masih simpatik, ia adalah seorang kepala dinas yang tak
pernah menganggap dirinya pejabat dan menjadi tinggi hati, karena jabatan itu.
Orang-orang di sekitarnya, termasuk bawahannya, bahkan cenderung menganggapnya
sebagai seorang ayah, teman atau sahabat.
Wajah dr.
Yohanis masih pucat ketika ia duduk di jok mobil, di sebelah kiri kemudi. Ia
sengaja membawa driver untuk mengemudikan mobil menuju Pass Valley. Badan
dokter itu merasa demam, ia mengenakan jaket tebal berwarna merah hati,
mulutnya terkunci, pandangannya nyaris padam. Ia harus bertanggung jawab
terhadap keselamatan tim medis yang ditugaskan di Kobakma, terlebih dokter
wanita itu, semoga doanya terkabul, tak akan terjadi apa-apa pada rombongan
itu. Tak aka nada penculikan.
Di tengah hutan
Gayatri melangkahkan kaki dengan riang, ia tak pernah berada di tenega
kemurnian semesta seperti yang pernah ia salami. Ia menjadi sebuah titik kecil
di tengah maha belantara yang subur menghijau dengan batang pohon ditumbuhi
lumut, suara satwa liar, embun yang mengkristal seakan berlian tiruan, harum
tanah basah, dan langit yang diliputi kabut. Burung dan kupu-kupu dengan warna
warni yang memikat beterbangan.Gayatri tak merasa lelah, sementara kabut dan
udara dingin telah menggugurkan embun dalam sebuah irama yang abadi.
Rombongan terus
melangkah, jalan semakin membaik, endapan lumpur hanya tinggal sisa. Anton
tetap menjaga hera pada barisan rombongan di bagian depan. Gayatri tetap di
belakang bersama Trimas.Setelah mencapai bukti tertinggi akhirnya jalan mulai
menurun.Pohon-pohon mulai berkurang berganti dengan semak belukar.Langit telah
berubah warna menjadi biru cerah.Sesekali rombongan itu beristirahat, kemudian
kaki harus tetap berjalan dengan lumpur berlepotan.
Sementara Taft
GT yang ditumpangi dr. Yohanis terus mendaki jalan trans Irian yang rencananya
akan terus dibangun hingga menghubungkan Wamena – Jayapura, dengan keseluruhan
jarak 615 kilometer. Kendaraan itu berhenti di Kilometer 60, driver memarkir
mobil dan mematikan mesin di halaman rumah seorang pendeta.dr. Yohanis membuka
pintu mobil, menatap pemandangan di seputar tempat itu dengan muraam.
Seandainya ia tak dapat menjemput rombongan itu, maka ….
Tapi tidak!
Dokter itu menatap langit dengan penuh harapan.Ia pun kembali berdoa. Ketika
ada beberapa orang hendak berjalan kaki menempuh rute Pass Valley – Kobakma,
dr. Yohanis menitipkan kue dan pesan, bahwa ia telah datang menjemput tim medis
itu. Setelah itu ia duduk di tepi sungai, menunggu. Air sungai amatlah jernih
dan terus bergerak dalam pusaran arus menuju muara tanpa henti.Rombongan belum
juga sampai, dokter itu mulai gelisah.
Sementara di
tengah hutan rombongan mulai menuruni bukit, ketika Gayatri berpapasan dengan
beberapa orang pejalan kaki, ia pun mengerti Pass Valley sudah dekat. Pejalan
kaki itu menyampaikan donat yang dititipkan dr. Yohanis dan Gayatri segera
melahapnya dengan rakus. Ia tak pernah
merasa selapar ini. Kemudian rombongan berpapasan dengan seorang wanita
yang berjalan perkasa dengan bayi kecil terbaring di dalam nokennya. Pertemuan
dengan pejalan kaki itu membuat Gayatri tahu, ia tak akan lebih lama lagi
menempuh perjalanan yang susah ini.
Ketika akhirnya
mendengar suara gemuruh air sungai dan tak lama kemudian atap-atap rumah mulai
bermunculan.Semua menarik napas lega, perjalanan yang melelahkan ini telah
selesai. Di pihak lain dr. Yohanis merasa beban yang menindih pikirannya segera
melayang. Orang pertama dari delapan belas yang lain menampakkan diri dalam
keadaan compang camping, menyusul orang berikutnya. Akhirnya tampak Hera dalam
gandengan tangan Anton dengan keadaan lemas dan kondisi yang sama, compang
camping. Dr. Yohanis segera menyambut kedatangan Hera, membuka tangan dan
memeluknya.“Kami semua mencemaskanmu, mestinya kalian menunggu pesawat.Kau
tidak tahu keadaan di sini”, dokter itu tak dapat menyembunyikan kecemasannya.
“Dimana Gayatri?”
“Dia ada di
belakang bersama Trimas”, jawab Hera, gadis itu melihat wajah atasannya yang
pucat, dan ia segera merasa bersalah.
“Bersihkan kaki
dengan air kali, kemudian minum di rumah pendeta”, dr. Yohanis mengawasi Hera
yang berjalan menurun, mencuci lumpur yang melekat pada pakaian, tangan, wajah,
dan kakinya. Ia tengah mengucap syukur diam-diam, keselamatan itu seolah
keajaiban. Tuhan mengabulkan doanya.
Tak lama
kemudian ketika Gayatri muncul dengan lumpur memenuhi penampilannya, dr.
Yohanis mulai dapat tersenyum. Dokter wanita itu selamat meski wajahnya tampak
berantakan dan penampilan itu tak mencerminkan pribadi yang sesungguhnya. Ia
pun menyambut Gayatri dan memeluknya erat seolah dokter itu adalah anak
gadisnya sendiri. “Kalian berani sekali, ini termasuk daerah berbahaya, seharusnya
perjalanan ini tak perlu terjadi. Tapi, sudahlah yang penting kalian semua
selamat, “ dr. Yohanis teringat pada pertemuan pertama ketika Gayatri
melaporkan kedatangannya di ruang kerja, betapa polosnya gadis itu, betapa ia
memiliki keberanian untuk kehidupan di tempat ini. Jauh di dalam hati timbul
rasa sayang terhadap Gayatri . kini gadis itu mengakhiri perjalanan yang
mencemaskan. Yohanis tak dapat membayangkan seandainya rombongan itu
terperangkap ke dalam bahaya, ia harus bertanggung jawab atasnya.
Gayatri segera
turun ke sungai, membersihkan muka, tangan, dan kaki. Telapak dan kakinya
tergores duri dan akar pohon, terhimpit sepatu, seakan tak berbentuk lagi. Tapi
luka-luka itu akan segera sembuh, ia tak menyesali perjalanan ini. Ada satu hal
yang dapat dimengerti, betapa sulit masyarakat Kobakma bertahan hidup. Setelah
membersihkan diri dan merasa lebih segar, Gayatri dan Hera membuka dompet,
membayar satu per satu penduduk Kobakma yang mengantarnya. Mereka saling
berjabat tangan kemudian berpisah satu sama lain dengan ucapan terima kasih
yang dalam. dr. Yohanis membawa anak buahnya ke rumah pendeta, mereka menghirup
the panas dalam udara yang sangat dingin, mencicipi kue donat, bergambar
bersama, berpamitan kemudian menempatkan diri di jok mobil. Mesin dihidupkan,
mobil itu bergerak meninggalkan halaman rumah pendeta. Beberapa anak
missionaries tampak berangkulan akrab dengan anak penduduk setempat sebagai
teman. Di seputar anak-anak yang berkawan itu adalah kehijauan yang tanpa batas dan langit yang
tiba-tiba digayuti mendung.
Mobil terus
bergerak, membelah jalan trans Irian, mendaki dan menuruni bukit. Di kiri jalan
adalah ngarai dengan dasar bayang kegelapan, di kanan jalan adalah tebing
terjal, menyangga bukit-bukit. Semakin lama jalan semakin menurun dan akhirnya
Wamena kota tampak sebagai atap seng yang berkilat-kilat dari kejauhan. Pass
Valley telah ketinggalan jauh di belakang, perumahan mulai bermunculan, suasana
kota menyatu, dan akhirnya Gayatri serta Hera tiba kembali di rumah tinggal.
Bibi memeluknya
dengan erat. “Semua orang mencemaskan dokter, untung dokter selamat”, mata
wanita setengah tua itu tampak berkaca-kaca, ia selalu menunggu nona-nona rumah
kembali, karena dalam hidupnya ia tak memiliki siapa-siapa lagi.
“Kalian
istirahat, sampai kondisi membaik, baru masuk kembali ke kantor”, dr. Yohanis
berpesan, ia berpamit kemudian duduk kembali di jok mobil, menyandarkan
kepalanya yang masih berdenyut-denyut, ia pun harus segera berisitirahat
setelah hari yang menegangkan.
Gayatri dan Hera
memenuhi anjuran dr. Yohanis, beristirahat, tapi Gayatri segera teringat akan
Liwa, dan ia tak bisa menunda lebih lama. Keesokan harinya Gayatri memacu
kendaraan menuju klinik di pinggir kota dan segera mendapati Liwa tengah
meregang nyawa bagi kelahiran bayinya. Ia dating pada waktu yang tepat. Gayatri
tak sempat lama berbincang dengan seluruh pegawai yang menyalami dan menyambut
kedatangannya serta menanyakan perihal perjalanan itu. Konsentrasinya tertuju pada Liwa.
“Mama …” Gayatri
memegang tangan Liwa dengan segala rasa iba. Di lain pihak, Liwa tak mampu lagi
berkata-kata, ia hanya dapat menatap Gayatri dalam rasa sakit tak terperi. Ia
telah berada dalam situasi yang amat kritis antara hidup dan mati. Usia yang
terus berlanjut, tekanan hidup, dan kesehatan yang belum sepenuhnya pulih tak
memungkinkan wanita malang itu melakukan partus dengan normal. Gayatri harus
melakukan sesuatu untuk menyelamatkan hidupnya.
“Siapkan
pembedahan, bawa pasien ke ruang operasi”, perintah Gayatri dan semuanya
berjalan dengan cepat. Gayatri dan tiga orang asisten bekerja hingga keringat
bercucuran, setelah surat pernyataan disetujui dengan cap jempol oleh pihak
keluarga. Gayatri sadar akan resiko yang
harus dihadapi, pembedahan –caesar—ini adalah keberanian pertama setelah tiga
bulan pelatihan di Jayapura, keahlian sebagai dokter dipertaruhkan untuk
seorang wanita yang belum lama dikenalnya. Ketika tangannya tengah bekerja,
maka dalam hati dokter itu terus berdoa.
Liwa terlelap
dalam tidur yang amat pulas dan tak pernah menyadari bahaya yang mungkin terjadi pada dirinya, ia berada
di bawah pengaruh obat bius yang memusnahkan seluruh kesadarannya. Ia tak
tengah merasa berada di meja bedah, tapi pada suatu tempat yang jauh, asing,
dan belum pernah dikunjungi. Liwa seakan berada pada sebuah terowongan dengan
cahaya redup melingkar dan terus berpendar-pendar. Di ujung terowongan tampak
seorang dengan wajah tak dikenal, memanggil-manggil sambil melambaikan tangan.
Liwa ingin memenuhi panggilan itu, tapi ada kekuatan tak tampak yang terus
menahannya. Wanita itu pun terpaku pada tempatnya berdiri untuk jangka
waktu yang tak dapat diperkirakan sampai
tiba-tiba Liwa mendengar sebuah gema memanggilnya dari tempat yang sangat jauh.
“Mama ….”
Tak lama
kemudian Liwa membuka mata dengan perlahan, ia telah berada di ruang rawat
dengan selimut hangat menutup tubuhnya. Orang pertama yang dilihatnya tampak
sebagai seraut wajah dengan tatapan mata yang redup. “Mama melahirkan dua anak perempuan
yang manis-manis”, Gayatri tersenyum, ia telah melakukan operasi caesar dengan
sukses. Dua orang bayi perempuan yang mungil itu kini berbaring di incubator, tertidur di bawah cahaya lampu.
“Anak kembar?”
Liwa mengerutkan keningnya, badannya terasa amat lemah, dan rasa sakit pada
bekas jahitan di bagian perut membuatnya tak berdaya.
“Ya, bayi yang
amat lucu. Semuanya sehat”, senyum di bibir Gayatri perlahan-lahan menghilang,
ia melihat kesenduan di wajah Liwa dan segera bertanya. “Kenapa?”
Liwa masih
terdiam beberapa saat, tak segera menjawab, dahinya masih berkerut Gayatri
mengulang pertanyaan. “Kenapa mama?”
“Dalam adat
kami, bayi kembar yang lahir sebagai adik dianggap sebagai anak setan. Mereka
harus berpisah tak bisa dibesarkan bersama-sama. Bila tak dipisah,maka salah
satu di antara keduanya akan mati.”, Liwa memejamkan mata. “Anak itu harus
dihanyutkan di sungai, apabila ada yang mengambilnya, ia akan selamat. Bila
tidak, ia akan kembali kepada alam”.
Gayatri
terhenyak, dalam pandangannya segera tampak seorang bayi tak bersalah tergulung
arus sungai dan menghilang sebagai suatu tragedy. Tidak! Hal itu tak boleh
terjadi. Ia telah berjuang bagi kelahiran bayi itu, ia harus pula bertanggung
jawab terhadap keselamatan dan kelangsungan hidupnya. Dokter itu terdiam dalam
waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berkata. “Hanyutkan bayi itu dalam
sungai, biar saya yang akan mengambilnya”.
Keesokan harinya
Gayatri berjaga-jaga di tepi sungai dengan pakaian basah. Ia seakan tengah memainkan peran dalam
sebuah film legenda dengan scenario yang telah direncanakan. Tak lama kemudian
tampak mengapung sebuah keranjang berisi bayi perempuan. Gayatri bersiap
menyelamatkan “anak setan” itu. Ia harus melakukan sesuatu bagi kehidupannya.
Setelah bayi itu jatuh ke tangan ia segera naik ke tepi sungai. Gayatri tak
perlu menunggu lebih lama untuk membawa bayi itu pulang ke rumah.
Hera menyambut
kedatangan Gayatri dengan mata terbelalak. “Gay, apa ini?”
“Anakku”, jawab
Gayatri singkat.
“Maksudmu?”
“Aku
mengambilnya dari ibu partus yang kutolong. Ia anak kembar, adat Suku Dani
menganggap anak kembar yang lahir kedua sebagai anak setan. Anak itu harus
dipisahkan atau bencana akan terjadi”.
“Jadi?” Hera membelalakkan mata, ia
belum bisa memahami jalan pikiran sahabatnya“Aku menempuh perjalanan melelahkan Kobakma – Pass Valley dengan
berjalan kaki dan mungkin menentang bahaya demi anak ini. Tak mungkin aku
membiarkan ia dihanyutkan ke sungai begitu saja”.
“Tapi, bagaimana mungkin engkau bisa menjadi seorang ibu?”
“Setiap perempuan pasti bisa menjadi seorang ibu”, Gayatri membaringkan bayi kecil itu di atas tempat tidur.
Bibi datang tak lama kemudian dengan tergopoh-gopoh, ekspresi wajah wanita itu sama persis dengan Hera, keheran-heranan, ketika mendapati Gayatri pulang dengan membawa seorang bayi tak dikenal. “Dokter?” Bibi mengerutkan keningnya.
Gayatri langsung menyerahkan bayi kecil itu kepada Bibi, “Bibi harus menjaganya”.
Dan perempuan setengah baya itu menerima bayi kecil dengan senyum, sepanjang hidup Bibi tak pernah melahirkan, suaminya pergi, hidup dengan wanita lain yang dipilih kemudian, dan ia pun pergi seorang diri. Ia telah menjaga rumah ini bertahun-tahun dengan penghuni berganti-ganti. Dan penghuni sekarang telah memberinya seorang bayi. Ketika bayi itu telah berada dalam gendongannya, Bibi seakan memperoleh keajaiban. Akhirnya ia memperoleh sesuatuyang selama ini tak pernah didapatkan. Wajah Bibi menjadi berseri-seri.
Hera masih terbengong-bengong dengan keputusan Gayatri, dokter itu belum lagi seumur jagung tugas di tempat ini, tapi telah mengambil keputusan yang berani, mengambil seorang anak Suku Dani. Tapi akhirnya Hera tak terbengong lebih lama, ia mengambil sikap yang sama dengan Bibi, mengagumi bayi kecil itu. Sementara Gayatri segera berpamit keluar. “Tolong jaga bayi ini, aku hendak membeli pakaiannya”, tanpa menunggu jawaban Gayatri segera berlalu pergi. Ia menghabiskan satu bulan gaji untuk membeli perlengkapan bayi. Sementara pemilik toko menjadi terheran-heran.
***
Sore
itu telepon di rumah berdering, Hera segera mengangkatnya, ia tengah mengepak
barang untuk mengunjungi orang tua di Jakarta. Sejenak dokter itu menghentikan
kesibukan. “Halo, selamat sore. O, dari kediaman Bapak Bupati. Baik-baik, kami
akan datang nanti malam. Terima kasih undangannya”, Hera meletakkan gagang
telepon kemudian memburu Gayatri yang tengah sibuk bersama Bibi memandikan
bayi.“Gay, pak Bupati undang kita datang nanti malam”.
“Baik”.
Dan malam itu mereka telah duduk di ruang tamu Bupati yang diatur dengan rapi. Ruangan itu adalah bagian dari sebuah gedung megah berlantai dua dengan atap seng melengkung setengah bundar berwarna hijau, dinding putih cemerlang, kusen-kusen yang kukuh, jendela kaca dengan tirai-tirai lembut, halaman yang luas dengan rumput hijau dan bunga aneka warna. Kedua tamu itu menjejakkan kaki pada permukaan lantai yang bersih tanpa debu. Perapian sengaja dinyalakan, demikian pula dengan mesin penghangat. Di setiap sudut rumah terpajang benda-benda seni, termasuk di antaranya ukiran Asmat dan kerajinan tangan Suku Dani, guci, fosil, dan benda antik lainnya. Gayatri tak merasa sedang dalam suasana lembah, situasi di dalam ruangan ini seperti ada di sebuah kota yang sudah maju.
“Selamat malam mama-mama”, satu sosok tinggi tegap dengan wajah berwibawa, rambut digunting pendek, dan kulit putih bersih muncul dari balik pintu. Jabatan tangannya erat dan hangat. “Silakan duduk, maaf baru sekarang saya dapat mengundang anda. Bagaimana, senang bertugas di Wamena?” Kata-kata itu demikian ramah dan bersahabat.
“Tempat ini amat indah, sementara penduduknya sangat ramah”, jawab Hera.
“Benar, Wamena tempat yang subur, kita tidak sulit bertahan hidup, karena hasil bumi lebih dari cukup untuk memenuhi konsumsi sehari-hari. Di daerah pantai keadaan lebih sulit, terlebih di daerah berawa, karena penduduknya tidak bisa bertani. Tapi keseluruhan hidup masyarakat di tempat ini masih tertinggal, karena lokasi lembah hanya bisa dijangkau dengan pesawat. Kami memerlukan banyak voluntir untuk menggugah ketertinggalan, dan lebih dari itu keterisolasian daerah ini harus dibuka”, Bupati tampak bersemangat dalam setiap kata-katanya. Seorang nona muncul tak lama kemudian membawa cangkir berisi teh panas dan kue cokelat pada piring keramik berbentuk tiram.
“Mari, silakan tehnya. O ya, saya dengar mama-mama berjalan kaki dari Kobakma ke Pass Valley dan menginap di tengah hutan. Tidak apa-apa nanti perjalanan ini dapat ditulis menjadi cerita di majalah wanita. Dan saya dengar mama juga mengadopsi seorang bayi Suku Dani?”
“Saya mengambilnya bapa. Bayi itu lahir kembar, yang lahir kedua dianggap sebagai anak setan dan harus dipisahkan. Kami kembali dari Kobakma dengan berjalan kaki adalah untuk membantu ibunya melahirkan bayi ini”, jawab Gayatri.
“Betul anggapan demikian. Dulu pernah terlahir pula bayi kembar, bayi kedua memang harus dipisahkan dan ia dibesarkan oleh missionaris, setelah dewasa akhirya bayi itu menjadi seorang dokter. Satu kali anak kembar itu bertemu, bayi yang menjadi dokter tak dapat berbahasa Dani, sedangkan kakaknya tak dapat berbahasa Indonesia. Keduanya tak dapat bercakap-cakap dan hanya merasa senang saja”, Bupati pun tertawa, menampakkan deretan giginya yang rapi kemudian ia terus bercerita.
“Demikian keadaan masyarakat kami, masih amat terbelakang. Dan akibat dari ketertinggalan itu harus ditanggung kaum wanita. Di Fugima, ada sebuah sungai yang teramat dalam, wanita yang sudah tidak sanggup menanggung beban hidup akan datang ke tempat itu, meninggalkan Sali pada bebatuan, memberati tubuhnya dengan batu kemudian menerjunkan diri ke dalam sungai dan tak akan pernah muncul kembali. Apabila pihak keluarga mencari kemudian mendapatkan Sali yang ditinggalkan, hal itu menjadi pertanda, bahwa seorang wanita yang malang telah berpamit pergi untuk selama-lamanya”.
Bupati masih bercerita dengan hangat tentang banyak hal, tetapi ada satu hal yang benar-benar melekat di benak Gayatri, kasus wanita yang bunuh diri dengan meninggalkan Sali pada bebatuan, di pinggir kali, di tepi jurang. Benarkah?
Malam telah digenangi embun ketika mereka berpamit. Jalanan di Wamena dingin dan sepi.lampu-lampu berpendar dalam cahaya terang, menembus kegelapan. Tak lama kemudian seisi lembahpun tertidur diselimuti kabut dan udara beku.
0 Komentar