Mendulang Hati di Tanah Papua

Oleh; Ummu Fatimah Ria Lestari
 
Ilustrasi foto; beritasatu.com

Terik siang dan pekatnya malam kini menjadi kawannya. Betapa beratnya, hidup dalam belantara yang dikelilingi pegunungan dan terasing dari hiruk pikuk kota. Sekelompok pendulang emas tampak sedang beristirahat di bawah honai kecil. Mereka tampak lelah dan penat. Betapa tidak, setelah lima jam bekerja di bawah sinar matahari. Mereka istirahat beberapa saat. Untuk melepaskan sedikit lelah dan mengisi lambung dengan menu makanan yang seadanya.

” Jo, aku kangen dengan anak istriku di kampung.” Kata seseorang diantaranya.

” Yah mau gimana lagi, Mas? Pekerjaan kita belum selesai dan uang yang telah kita kumpulkan juga belum banyak. Padahal mereka pasti menunggu kita pulang dengan membawa uang yang banyak untuk mereka ’kan?” Sambung seseorang lagi yang bernama Tarjo.

      Lelaki-lelaki perkasa, menggeluti hidup dengan perjuangan berat, hanya demi anak istri yang ditinggalkan di pulau seberang sana. Kulit mereka hitam legam, kusam tak terawat oleh energi panas matahari, hanya bola mata dan gigi mereka yang masih tampak putih bersih. Mereka mengaduk tanah-tanah pengunungan untuk mencari sekarat demi sekarat emas yang dijanjikan. Ada yang masih muda, setengah baya maupun sudah renta. Namun semangat yang mereka punya sama. Semangat demi orang-orang tercinta yang tengah jauh. Mereka terus bergulat dengan waktu dan saling berpacu. Tak ada yang tahu bahwa salah satu dari mereka adalah calon bapak mertuaku, bahkan calon istriku pun tak tahu. Dia, calon istriku, Marni tidak tahu kalau bapaknya adalah anak buahku. Bapaknya pun tidak tahu bahwa aku adalah calon menantunya, calon suami dari anaknya yang bernama Marni. Yang Marni tahu bahwa bapaknya berangkat ke Papua untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Bapaknya sudah hampir sepuluh tahun meninggalkan kampung, dan belum pernah kembali sekalipun untuk menengok mereka. Marni selalu sedih ketika bercerita tentang bapaknya itu, bahkan seringkali terkesan bahwa dia sangat membenci bapaknya itu. Tapi selama ini aku berusaha membesarkan hatinya kalau suatu saat bapaknya akan pulang untuk mereka. Orang tua itu hanya tahu bahwa Marni masih putri kecilnya yang menunggunya pulang ke kampung.

      Di suatu sore, kutemukan selembar foto yang terjatuh dari jaket bapak tua itu. Dalam foto itu ada gambarnya bersama istrinya dan seorang Marni.

Dalam hati, aku ingin tahu sehingga kuberanikan diri untuk bertanya kapadanya, ”Bapak, boleh saya tahu ini foto siapa?”

” Itu foto saya bersama istri dan anak gadis saya. Namanya Marni, sekarang dia sudah besar karena kami sudah berpisah hampir sepuluh tahun lamanya. Saya tidak tahu lagi bagaimana kabarnya sekarang. Tapi saya selalu kangen sama dia. Dia sangat cantik, cantik seperti ibunya. Dia anak saya satu-satunya.” Jawabnya lirih sambil berlinang air mata.

” Maaf, bukan maksud saya membuat Pak Narto sedih. Saya bisa mengerti perasaan bapak. Kita sama-sama bersabar saja ya, Pak! Saya juga merasakan hal yang sama kepadanya.” Sambungku.

” Maksudnya apa?” Tanyanya tiba-tiba.

” Ahh, tidak ada apa-apa. Saya tiba-tiba hanya teringat saja sama tunangan saya.” Jelasku menutup pembicaraan kami.

      Aku melangkah dengan segala pertanyaan. Di batinku seakan tidak percaya, Pak Narto yang setiap hari mendulang emas di perbukitan ini adalah calon mertuaku. Dalam foto itu kudapati gambar tunanganku bersama bapak tua itu. Semakin gambar itu kuamati, semakin jelas kudapati wajahnya, dan semakin juga kurindukan dirinya. Tiba-tiba perasaan kangen dan sedih itu milik dua orang lelaki kini, milik bapaknya dan aku di atas perbukitan yang kaya emas itu.

      Beberapa bulan aku meninggalkannya. Aku dikontrak oleh perusahaan besar yang mengelola hasil-hasil tambang di Papua. Aku ditugaskan sebagai supervisor dari pendulang-pendulang emas itu. Kemudian emas-emas mentah itu dikirim ke Pulau Jawa untuk diolah melalui jalur laut. Aku tidak menyangka akan menemukan bapaknya di sini, apalagi dia menjadi seorang bawahanku di proyek tambang ini. Tapi aku menjadi ragu, apakah Marni akan tetap menerima dengan baik laki-laki tua itu ketika dia kembali ke keluarganya nanti? Tidak ada yang bisa kulakukan untuk  menjawab pertanyaan itu. Aku hanya bisa menunggu kapan waktunya kontrak kerjaku ini selesai, agar aku bisa pulang mengabari tentang bapaknya dan tentu saja menikahinya. Sebenarnya aku sangat ingin dia tahu tentang semuanya, tapi dari lokasi tambang itu sarana komunikasi dan transportasi sangat sulit untuk menjangkau keberadaannya di sana. Sehingga aku harus bisa menunggu. Harus bisa.

      Pagi yang cerah, sebentar lagi tetes embun mengering semua dari dedaunan. Menguap meninggalkan tanah, bersatu kembali dengan udara. Begitu juga sang kabut. Pagi ini putihnya sudah mulai bersatu dengan alam. Aku berjalan menuruni bukit yang kemarin. Timbunan dan gundukan tanah kuabaikan, terasa pula kalau sepatuku ini mulai berat terangkat karena tapalnya dipenuhi oleh tanah merah. Pandanganku beradu dengan bapak tua itu. Dia terbatuk-batuk sambil meremas dadanya. Kulihat dia merasa kesakitan, wajahnya pucat dan bibirnya membiru. Kuterkejut ketika tubuhnya rubuh di atas rerumputan hijau yang terhampar di hadapannya. Aku berlari mendekatinya. Kuangkat tubuh renta itu menuju sebuah pohon matoa dan keteduhkan dia di bawahnya. Belum sempat kuberteriak memanggil pertolongan, tapi lelaki tua itu sudah siuman dari pingsannya.

” Terima kasih, Nak.” Katanya dengan suara yang parau.

” Kalau memang bapak sakit, sebaiknya bapak istirahat saja dulu hari ini. Atau mungkin bapak perlu dibawa ke dokter untuk berobat. Bisa saya antar kok.” Lanjutku dengan penuh kekhawatiran kepadanya.

” Tidak usah, terima kasih. Bapak masih kuat kok, besok juga bapak sudah baikan lagi. Ini karena bapak kurang istirahat semalam.” Jelasnya lagi.

” Kok begitu? Emangnya Bapak ngapain sampai tidak istirahat semalaman?” Tanyaku.

” Bapak mikirin keluarga yang ada di Jawa. Belakangan ini bapak merasa sangat merindukan mereka. Entah mereka juga merasakan hal yang sama, bapak tidak tahu.” Jawabnya dengan nada sedih.

” Sudahlah, mereka juga tengah merindukan dan menunggu bapak pulang. Tapi untuk kembali dan bertemu mereka di Jawa. Bapak ’kan harus sehat dan kuat dulu?” Hiburku.

Sang surya semakin meninggi. Sekujur tubuhku mulai merasakan penat. Bahkan pakaian yang kukenakan pun sudah tidak mampu menghalangi tajamnya sinar mentari. Sinarnya menusuk benar, panas dan perih terasa mengenai kulit di wajahku. Bisa kubayangkan bagaimana kalau aku yang menjadi pendulang-pendulang itu. Bisa kurasakan bagaimana harus bertarung hidup dengan pekerjaan itu. Dalam hatiku pasti sudah ditumpuki keluh kesah dan rindu akan keluarga. Aku memang tidak sanggup untuk hidup seperti mereka. Aku juga tidak kuat menjadi seperti seorang ayah dari Marni ku. Aku bukan lelaki yang bisa tegar menghadapi kerasnya rimba raya ataupun menaklukkan alam Papua. Aku lelaki lemah yang mencoba hadapi kuatnya hidup di kampung orang. Tapi keajaiban itu membawaku ada di sini. Bergulir bersama waktu dan sekawanan pendulang dengan tangan-tangan kekarnya.

      Masa kontrak kerja itu sebentar lagi selesai. Aku dan bapak tua itu belum jua saling kenal dengan baik. Padahal aku hendak menjadi anak menantunya kelak. Ingin kuungkapkan bahwa aku ingin melamar putri tunggalnya, Marni, dan memintanya untuk menjadi wali dalam pernikahan kami nanti. Tapi selalu kuragu untuk aku. Sorot mata dan garis-garis di wajahnya selalu menyurutkan langkahku. Aku merasa bodoh dan tidak berdaya. Aku tidak tau, itu kabar baik atau buruk untuknya dan untuk Marni di sana. Aku bingung, entah bagaimana meyakinkan bapak tua itu kalau aku adalah lelaki yang terbaik untuk anak perempuannya.
”Pak, besok saya akan kembali ke Jawa. Kontrak saya sudah selesai dan saya sudah tidak mau melanjutkan pekerjaan itu lagi. Bagaimana dengan bapak, apakah bapak akan tetap di sini dengan pekerjaan keras itu.” Kataku di malam itu dalam pondoknya untuk memberitahuakan kepulanganku.

” Pulang juga untuk apa lagi, Nak? Keluarga bapak pasti sudah melupakan laki-laki tua dan berguna ini. Bapak sudah terbuang di sini, mungkin lebih baik bapak di sini saja seumur hidup.” Jawabnya terbata-bata.

” Pulang untuk Marni, Pak.” Jawabku tiba-tiba pasti dan lugas.

” Maksudnya apa? Apa Marni masih membutuhkan bapak? Setelah bertahun-tahun bapak meninggalkannya bersama ibunya tanpa kabar berita. Bapak mungkin sudah tidak dapat bertemu mereka lagi, walaupun bapak sangat merindukan mereka berdua.” Selanya.

” Tentu masih, bagaimana pun bapak adalah ayahnya. Mereka juga merindukan bapak, bahkan Marni sangat berharap bapak bisa datang untuk menikahkannya dengan seorang lelaki yang dicintainya.” Lanjutku.
” Darimana kamu tahu, Nak Mandor?” Tanyanya heran.

” Tahu dari Marni sendiri. Karena kami akan menikah sepulangnya saya dari sini. Olehnya, saya mohon doa restu dari bapak sebagai ayahnya. Bapak mau ’kan menikahkan kami?” Aku menjelaskannya sambil memohon.

” Benarkah? Tentu saja Bapak mau.” Jawabnya sambil memelukku erat.

      Malam itu, bongkahan es keraguan itu mencair sudah. Telah kutemukan kejelasan itu. Aku sudah benar-benar yakin dengan semua langkahku ke depan. Seperti halnya ketika kuputuskan untuk berangkat kemari. Walaupun jauh dari Marni, tapi aku dekat dengan harapan dan permohonannya. Besok pagi aku dan ayahnya akan meninggalkan daerah pedalaman ini. Bapak tua itu tak lagi mendulang semua mimpi-mimpi dan pelepas kerinduannya akan keluarganya. Dia telah menemukan sesuatu yang lebih indah dan berarti dari butiran-butiran emas. Dia akan pulang dengan emas murni dari relung hatinya sendiri. Dia tidak akan kembali untuk mendulang semua pertanyaan-pertanyaan itu lagi, karena akan kuberikan semua jawabannya di esok hari. Di perbukitan kaya emas itu, aku dan dia telah mendulang hati serta jiwa kami masing-masing. Untuk sebuah cinta yang murni dan berkilau melebihi serpihan emas-emas di Tanah Papua.

      Beberapa hari setelah pembicaraan malam itu, kami pulang bersama-sama menuju ke kampung bapak itu. Bapak itu menikahkan aku dengan putrinya, Marni. Bapak dan ibunya Marni tampak begitu bahagia melihat kami bersanding di pelaminan. Ternyata, menikahkan putri tunggalnya itu menjadi momen terakhir untuk sang bapak. Momen itu menjadi momen yang paling bahagia bagi bapak. Sehari setelah acara walimatul’ ursy pernikahan kami, bapak menghembuskan napasnya yang terakhir karena serangan jantung. Dia pergi dengan tenang sambil tersenyum, karena dia merasa telah menunaikan tanggung jawabnya sebagai ayah.

Posting Komentar

0 Komentar