Etalase koleksi buku Papua di Toko buku di Kota Jayapura kini diramaikan dengan sebuah buku baru. KITORANG, itulah judul yang di pilih penulis, buku tersebut berisi 22 cerita yang berkisah tentang kehidupan sosial, adat dan budaya Papua ini disuguhkan dengan gaya bertutur yang santai dan renyah, khas Papua.
Sejak diterbitkan April 2012, KITORANG menarik perhatian para pencinta buku di Papua, sebab sejak Novel Mawar Hitam Tanpa Akar yang terbit pada 2009, baru saat ini buku fiksi kedua karya penulis Papua diterbitkan lagi. Dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna, KITORANG memberikan alternatif bacaan bagi pencinta karya sastra maupun pencinta buku di Papua.
Ide-ide baru dan berani yang disajikan dalam buku ini, melahirkan pandangan yang beda dari persoalan-persoalan aktual di Papua, sehingga bacaan ini sangat cocok untuk semua kalangan.
Cerita-cerita dalam KITORANG juga sangat inspiratif, misalnya cerita berjudul TETE MAKU yang berkisah tentang keseharian seorang Persipura Mania. “Dalam cerita ini pembaca digugah untuk melihat para Persipura Mania yang tak mampu membeli tiket, dan sebagai penonton yang berada dalam stadion, kita terus saja mengacuhkan mereka,” jelas Irma Tonang, seorang Persipura mania yang telah membaca buku Kitorang.
“Berani menawarkan pemikiran yang berbeda dan segar, contohnya di cerita pertama, Surat Setelah Pemakaman. Kok bisa ya keluar ide membuat tulisan yang berisi surat untuk penjual Mira? Penjual kan jadi takancing,” kata jurnalis Senior Netthy Dharma Somba.
Jika mencermati satu persatu dari 22 cerita ini, setiap cerita mempunyai tema yang berbeda beda, mulai dari soal Miras, pendidikan, adat dan budaya, politik hingga persoalan kemanusiaan yang semuanya memotret sisi-sisi kehidupan khas Papua. Cerita yang disampaikan tidak panjang, sehingga pembaca dapat berhenti kapanpun tanpa harus begadang karena penasaran akan jalan ceritanya. Pengalaman meninggalkan bacaan novel, tak terjadi pada buku ini.
“Setelah membaca cerita berjudul Cantik Itu Universal atau Mama Mantu, saya langsung terpikat. Walau dengan bahasa yang ringan, namun ini tentang prinsip hidup orang Papua yang banyak diantara kita sudah melupakannya,” kata Rosa, seorang karyawan swasta.
Ada juga yang tak menyangka seorang penulis Papua yang menulis buku ini, mengingat banyak novel berlatar belakang Papua, ditulis oleh orang di luar Papua yang hanya sedikit paham persoalan dan konteks Papua, “Pertama kali membaca, saya tidak menyangka ini tulisan anak Papua. Ditulis begitu mengalir dan kata-kata yang cukup santun. Tapi waktu membaca lebih jauh, benar-benar beda dengan novel-novel tentang Papua lainnya, karena perspektifnya benar-benar Papua. Saya yakin ini tulisan anak Papua,” kata Mike, mahasiswa Bahasa Indonesia dari Universitas Cenderawasih.
Rangkaian kata sederhana dan dialog-dialog ringan dalam tulisan sungguh membawa pembaca ke dalam tulisan. Membacanya membuat kita tertawa, merenung bahkan larut dalam kesedihan para tokoh dalam cerita ini. “Penulis KITORANG membawa pembaca ke dunianya, sehingga pembaca terhanyut dan masuk ke dalam cerita, sehingga pembaca merasakan apa yang dialami setiap tokoh. Kitorang juga menyampaikan apa yang terjadi sehari-hari di Papua, walau bahasanya sederhana dan ringan namun pesannya serius yang kadang luput dari pengamatan kita. Setelah membaca, pembaca menjadi termotivasi untuk berbuat sesuatu dalam lingkungannya,” kata Hana Hikoyabi yang juga telah membaca buku ini.
KITORANG bukan saja menjadi buku yang berbeda diantara kebanyakan buku tentang Papua, tetapi juga melahirkan genre baru dalam dunia tulis menulis di Indonesia. Jika Orang Jawa berani menulis Cerpen dengan Bahasa atau dialek Jawa, Orang Makassar berani menulis karya sastra gaya Makassar, kini Orang Papua berani menulis dengan gaya Papua. Kenapa harus ikut-ikutan elu, gue atau lebay seperti yang sering kita dengar di radio lokal yang ada di Kota Jayapura. Papua punya bahasa gaul sendiri, kenapa kita tidak bangga mempergunakannya! (KOSAPA)
Sejak diterbitkan April 2012, KITORANG menarik perhatian para pencinta buku di Papua, sebab sejak Novel Mawar Hitam Tanpa Akar yang terbit pada 2009, baru saat ini buku fiksi kedua karya penulis Papua diterbitkan lagi. Dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna, KITORANG memberikan alternatif bacaan bagi pencinta karya sastra maupun pencinta buku di Papua.
Ide-ide baru dan berani yang disajikan dalam buku ini, melahirkan pandangan yang beda dari persoalan-persoalan aktual di Papua, sehingga bacaan ini sangat cocok untuk semua kalangan.
Cerita-cerita dalam KITORANG juga sangat inspiratif, misalnya cerita berjudul TETE MAKU yang berkisah tentang keseharian seorang Persipura Mania. “Dalam cerita ini pembaca digugah untuk melihat para Persipura Mania yang tak mampu membeli tiket, dan sebagai penonton yang berada dalam stadion, kita terus saja mengacuhkan mereka,” jelas Irma Tonang, seorang Persipura mania yang telah membaca buku Kitorang.
“Berani menawarkan pemikiran yang berbeda dan segar, contohnya di cerita pertama, Surat Setelah Pemakaman. Kok bisa ya keluar ide membuat tulisan yang berisi surat untuk penjual Mira? Penjual kan jadi takancing,” kata jurnalis Senior Netthy Dharma Somba.
Jika mencermati satu persatu dari 22 cerita ini, setiap cerita mempunyai tema yang berbeda beda, mulai dari soal Miras, pendidikan, adat dan budaya, politik hingga persoalan kemanusiaan yang semuanya memotret sisi-sisi kehidupan khas Papua. Cerita yang disampaikan tidak panjang, sehingga pembaca dapat berhenti kapanpun tanpa harus begadang karena penasaran akan jalan ceritanya. Pengalaman meninggalkan bacaan novel, tak terjadi pada buku ini.
“Setelah membaca cerita berjudul Cantik Itu Universal atau Mama Mantu, saya langsung terpikat. Walau dengan bahasa yang ringan, namun ini tentang prinsip hidup orang Papua yang banyak diantara kita sudah melupakannya,” kata Rosa, seorang karyawan swasta.
Ada juga yang tak menyangka seorang penulis Papua yang menulis buku ini, mengingat banyak novel berlatar belakang Papua, ditulis oleh orang di luar Papua yang hanya sedikit paham persoalan dan konteks Papua, “Pertama kali membaca, saya tidak menyangka ini tulisan anak Papua. Ditulis begitu mengalir dan kata-kata yang cukup santun. Tapi waktu membaca lebih jauh, benar-benar beda dengan novel-novel tentang Papua lainnya, karena perspektifnya benar-benar Papua. Saya yakin ini tulisan anak Papua,” kata Mike, mahasiswa Bahasa Indonesia dari Universitas Cenderawasih.
Rangkaian kata sederhana dan dialog-dialog ringan dalam tulisan sungguh membawa pembaca ke dalam tulisan. Membacanya membuat kita tertawa, merenung bahkan larut dalam kesedihan para tokoh dalam cerita ini. “Penulis KITORANG membawa pembaca ke dunianya, sehingga pembaca terhanyut dan masuk ke dalam cerita, sehingga pembaca merasakan apa yang dialami setiap tokoh. Kitorang juga menyampaikan apa yang terjadi sehari-hari di Papua, walau bahasanya sederhana dan ringan namun pesannya serius yang kadang luput dari pengamatan kita. Setelah membaca, pembaca menjadi termotivasi untuk berbuat sesuatu dalam lingkungannya,” kata Hana Hikoyabi yang juga telah membaca buku ini.
KITORANG bukan saja menjadi buku yang berbeda diantara kebanyakan buku tentang Papua, tetapi juga melahirkan genre baru dalam dunia tulis menulis di Indonesia. Jika Orang Jawa berani menulis Cerpen dengan Bahasa atau dialek Jawa, Orang Makassar berani menulis karya sastra gaya Makassar, kini Orang Papua berani menulis dengan gaya Papua. Kenapa harus ikut-ikutan elu, gue atau lebay seperti yang sering kita dengar di radio lokal yang ada di Kota Jayapura. Papua punya bahasa gaul sendiri, kenapa kita tidak bangga mempergunakannya! (KOSAPA)