Sekilas tentang Etnomusikologi

Etnomusikologi merupakan sebuah disiplin yang tergolong baru, dan bahkan sejauh ini belum disepakati sebuah definisi yang mapan terkait istilah etnomusikologi itu sendiri. Umumnya diyakini bahwa kemunculan istilah ‘etnomusikologi’ berasal dari Jaap Kunst (1891-1960), yang kemudian menggantikan istilah ‘musikologi komparatif—nama awal etnomusikologi. Kunst menggunakan sekaligus memperkenalkan istilah ini untuk pertama kali dalam booklet kecilnya,Musicologica:A Study of the Nature of Ethnomusicology, its Problems, Methods, and Representative Personalities (1950). Belakangan, Kunst mengindikasikan bahwa studi ini juga memasukkan aspek-aspek sosiologis yang terdapat dalam musik (1959:1).

Jaap Kunst (Foto: Repro Kunst, 1994)

Awalnya, etnomusikologi dianggap sebagai bidang studi yang mengkonsentrasikan perhatian terhadap tiga jenis musik. Jenis musik yang pertama adalah musik dari masyarakat-masyarakat non-literasi, yakni masyarakat yang tidak memiliki sistem membaca dan menulis (Nettl, 1964:5). Kendati pundemikian, sejumlah sarjana lain menolak anggapan ini, sebab mereka memandang bahwa ada atau tidak adanya tulisan tidak menyebabkan perbedaan besar di antara tipe-tipe kebudayaan. Masyarakat-masyarakat yang termasuk dalam kategori non-literasi meliputi Indian Amerika,Negro Afrika, Oseania, Aborigin Australia, serta suku-suku yang tersebar di berbagai penjuru Asia. Kebudayaan-kebudayaan ini seringkali disebut juga dengan “primitif.” Akan tetapi, istilah ini menimbulkan perdebatan, karena secara tidak langsung menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat ini lekat dengan tahap paling awal dalam sejarah manusia atau tingkatan kebudayaan yang sangat sederhana (dimana ini tidak selalu benar, sebab sejumlah kebudayaan non-literasi memiliki organisasi sosial yang sangat kompleks, ritual-ritual, seni yang sangat rumit, dan lain sebagainya). Selain itu, anggota-anggota dari berbagai masyarakat non-literasi semakin banyak yang menguasai sebuah bahasa dunia (internasional), seperti bahasa Inggris, dan mereka tidak menyukai ketika disebut sebagai “primitif” dalam berbagai literatur tentang mereka (Nettl,1964:6). Oleh karena itu, istilah “primitif” secara perlahan-lahan mulai menghilang dari literatur-literatur antropologi dan etnomusikologi. Istilah “pra-literasi” juga pernah digunakan, akan tetapi ini juga memunculkan permasalahan. Mengapa demikian? Secara tidak langsung istilah ini menyatakan sesuatu yang sifatnya evolusioner, yang pasti menuju ke tingkat literasi. Istilah “tribal”(kesukuan) juga ditemui, tetapi lagi-lagi bermasalah karena secara tidak langsung menyatakan suatu jenis struktur sosial dan politik tertentu, dimana ini merupakan bentuk yang dimiliki oleh sebagian besar kebudayaan non-literasi (Nettl, 1964:6). Kiranya sulit untuk mendefinisikan kebudayaan-kebudayaan “tribal.” Oleh karena itu istilah “non-literasi,” meskipun tidak semenarik ungkapan seperti“tribal” dan “primitif,” sepertinya merupakan istilah yang paling deskriptif untuk menyebut kelompok atau masyarakat-masyarakat yang diasosiasikan sangat dekat dengan sasaran studi etnomusikologi.

Kategori musik yang kedua dalam lingkup etnomusikologi adalah musik dari kebudayaan-kebudayaan tinggi Asia dan Afrika Utara—Cina, Jepang,Jawa, Bali, Asia Tenggara, India, Iran, dan negara-negara yang menggunakan bahasa Arab. Ini adalah kebudayaan-kebudayaan yang memiliki musik “mapan” (cultivatedmusic),yang dalam banyak hal dapat disamakan dengan musik dalam peradaban Barat. Budaya-musik dalam kebudayaan-kebudayaan ini dicirikan dengan kompleksitas gaya yang tinggi, dengan bertumbuhnya musisi-musisi kelas profesional, serta notasi dan teori musik (Nettl, 1964:6). Kebudayaan-kebudayaan ini telah memiliki tulisan-tulisan tentang musik sejak berabad-abad lampau sehingga memungkinkan digunakannya pendekatan historis untuk studi-studinya. Sesungguhnya tidak ada satupun dari bangsa-bangsa ini yang menggunakan notasi musik sekompleks dan seeksplisit di Barat, dimana kehidupan musikal (bahkan di wilayah-wilayah urban sekalipun) umumnya tetap hidup dalam tradisi lisan, dimana orang-orang mempelajari musik dengan cara mendengarkannya dan belajar tanpa menggunakan notasi tertulis. Olehkarena itu sulit kiranya untuk membuat batasan yang jelas antara musik kebudayaan-kebudayaan non-literasi dengan musik dari kebudayaan-kebudayaan tinggi oriental. Kunst menyebut yang terakhirini sebagai “tradisional” (Kunst, 1959:1).

Kategori musik yang ketiga adalah musik rakyat, yakni musik yang terdapat dalam tradisi lisan di berbagai wilayah yang didominasi oleh kebudayaan-kebudayaan tinggi. Dengan demikian tidak hanya peradaban Barat yang memiliki musik rakyat, tetapi juga bangsa-bangsa Asia seperti Jepang, Cina, dan lain-lain. Musik rakyat umumnya dibedakan dari musik masyarakat-masyarakat non-literasi karena memiliki wujud yang dekat dengan musik yang baku (cultivated music). Musik rakyat dibedakan dari musik yang baku (cultivated music)atau musik urban atau musik dari “budaya tinggi” karena dua hal, yakni ketergantungannya terhadap tradisi lisan, bukannya notasi tertulis, dan eksistensinya yang secara umum berda di luar institusi-institusi seperti gereja, sekolah, atau pemerintahan (Nettl, 1964:7).

Dalam perkembangannya, berbagai fenomena seperti nasionalisme, kosmopolitanisme, dan globalisasi telah cukup berpengaruh dalam perkembangan studi etnomusikologi beberapa dekade belakangan ini. Studi etnomusikologi yang mutakhir pada dasarnya mencakup juga arus interaksi musik di antara kelompok-kelompok etnis, bangsa-bangsa, kelas-kelas, dan wilayah-wilayah dunia, serta di antara strata musik (rakyat, klasik, populer). Kini para etnomusikolog yang mencoba untuk mengembangkan wilayah studinya hingga mencakup masyarakat urban. Keadaan inilah yang memunculkan apa yang disebut sebagai “etnomusikologi urban.” Berbagai kajian urban dalam etnomusikologi (berlawanan dengan yang tradisional, yakni dengan objek komunitas atau suku) biasanya mengkonsentrasikan pada hubungan-hubungan antara berbagai musik, musik-musik dari berbagai etnis yang bertetangga, musik-musik dari kelompok-kelompok perantau (diaspora) maupun di kampung halamannya. Mudahnya akses informasi, sarana transportasi, dan kecanggihan-kecanggihan lainnya menyebabkan masyarakat di suatu tempat dapat dengan mudah terpengaruh dengan budaya asing yang kemudian melembaga dalam kehidupan mereka. Demikian seterusnya, sehingga seluruh masyarakat di dunia memiliki kebiasaan yang sama, aturan-aturan yang sama, pola tingkah laku yang sama, dan lain sebagainya.

Fenomena masyarakat masa kini yang multikultural jelas menuntut kepekaan lebih dari para etnomusikolog. Kepekaan multikultural mengesampingkan etnosentrisme, dan menuntun para etnomusikolog untuk mengolah apa yang dilihat sebagai “kebiasaan dan tingkah laku yang aneh” dengan merasionalkan apa yang mereka lihat itu secara lebih terbuka (Fay, 1996:92). Etnomusikolog berkewajiban untuk terus mengembangkan metode-metode guna menghadapi masyarakat yang multikultural dewasa ini. Singkatnya, etnomusikologi dan etnomusikolog dituntut untuk selalu mengembangkan paradigma agar dapat selalu paralel dan sinkron dengan kondisi masyarakat dan kebudayaan yang terus berubah. ■

Bibliografi

Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford dan Malden: Blackwell Publisher Ltd.

Kunst, Jaap. 1950. Musicologica: A Study of the Nature of Ethnomusicology, its Problems, Methods, and Representative Personalities. Amsterdam: Koninklijke Vereeniging Indisch Instituut.

_________.1959. Ethnomusicology: A Study of the Nature, its Problems, Methods, and Representative Personalities. The Hague: Martinus Nijhoff.

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. Glencoe, Illinois: The Free Press.

Sumber; http://fmmindonesia.webs.com

Posting Komentar

0 Komentar