Mitos Nasionalisme?: Kritik Post-Modernist Terhadap Modernisme

Oleh: Albert WS Kusen

Ist.
Jayapura, Ko’Sapa - Dalam buku Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michael Foucault 1954-1984 (2002), D.G Adian seorang Nietzchelog, dalam kata pengantar mengungkapkan pandangan hidup Michael Foucault. “Bagi Foucault, hidup adalah seni pencitraan diri lewat pelampauan terus menerus. Karenanya kotak-kotak kategorial yang membungkus rapi eksistensi manusia harus disobek tembus, tetapi terlebih dahulu mesti dibuktikan bahwa kotak-kotak yang memasung hidup manusia tersebut tidaklah semutlak yang dibayangkan”.

Berdasarkan pandangan hidup Foucault ini, mengisyaratkan bahwa apa yang dimiliki oleh dunia ini (pengetahuan),  apa pun bentuknya pengetahuan itu, aliran, ideologi, cara pandang (paradigm), tradisional maupun  modern mesti disobek tembus. Tidak terkecuali dengan pandangan-pandangan postmodern, bisa disobek tembus.

Melalui pandangan hidup Foucault di atas, catatan ini mencoba menjelaskan kehadiran perspektif postmodern di jagat pengetahuan (epistema), terutama untuk melihat keberadaan kemapanan perspektif ilmu pengetahuan baik klasik maupun modern, dipandang layak dan/atau pantas untuk disobek tembus. Dalam hal ini berkenaan dengan narasi besar tentang ‘nasionalisme’.

Sehubungan dengan ini, pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan adalah, apakah dapat ditolerir kebenaran postmodern menyobek tembus kemapanan konsep nasionalisme sebagai peranti politik berbangsa dan bernegara; bagian dari wacana  ideologis Pancasila yang menjadi pergumulan bangsa kita (RI) yang sejak proklamasi kemerdekaan mengklaim sebagai negara bangsa (nation-state)?  Ataukah, sebaliknya sisi lain postmodern, ternyata kelemahan intelektualnya bukanlah tong kosong berbunyi nyaring?

Makna Postmodern

Dalam kamus The Modern-Day Dictionary of Received Ideas, kata atau istilah  ‘post-modernisme’, ‘tidak ada arti, gunakan saja sesering mungkin’ Istilah-istilah post-moderen, post-modernism, dan post-modernity  telah diakui telah menjadi  nyelimet atau rumit untuk mengartikannya, terutama dengan awalan ‘post’ dan akhiran ‘ism. Pengertian post-modernisme berbeda dengan post-modernitas, di mana perbedaannya adalah: 1)  Post-modernisme, menunjuk pada kritik-kritik filosofis dan gambaran dunia (world-view), sistem ideologi-ideologi modern; dan 2)  Post-modernitas, menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang, dan sarana publik, linguinya negara-negara bangsa, dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi atau nilai-nilai tradisional.

Dalam mengkaji suatu permasalahan, ketika menggunakan perspektif post-modern, sering kedua istilah tersebut bercampur aduk. Ada kesamaan, tetapi ada perbedaan seperti yang telah dinyatakan di atas. Sementara itu, awalan ‘post’, juga sering menimbulkan banyak perdebatan.

Sebagaimana ragam pandangan dari para dedengkot postmodern, seperti Lyotard dan Gellner, memulai dengan pertanyaan kritis, apakah ‘post’ itu berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala aspek kemodernan? Atau, menurut Boudrillard, dan Derrida sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan (Griffin)? Jangan-jangan post-modernisme itu bentuk ‘radikal’ dari kemodernan itu sendiri? Yaitu kemodernan yang akhir-akhir ini bunuh diri ? Seperti juga Giddens dan Habermmas justru melihat postmodern adalah wajah arif kemodernan yang telah sadar diri; atau sekedar satu tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai?  Di  kalangan filosof dan/atau ilmuwan lainnya (salah satunya adalah Foucault) lebih mengartikan post-modernisme menunjuk pada ‘segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya (lihat Sugiharto 1996:1).

Menurut Pauline Rosenau (1992) bahwa kecenderungan Postmodern dalam mendekonstruksi gaya dan pola pemikiran modern, secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain:

Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.

Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.

Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pra-modern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).

Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.

Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan  pembaca  alih-alih  membantu  pembaca  dengan  suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis. Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery).

Dalam buku Organization Theory: Classical, Modern, Symbolic-Interpretive, and Postmodern Perspectives (Mary Jo Hatch 2007) dalam Kusen (2007), istilah post-modern, pertama kali dimunculkan pada pertengahan akhir abad 20 oleh seorang ahli arsitek Amerika Serikat bernama Charles Jenks (1977), dalam bukunya : The Language of Post-modern Architecture. Bagi post-modernist, structure  dipandang berseberangan dengan gaya arsitek modern (functionalist) yang merupakan khas bangunan-bangunan yang didesain pada tahun 1930-an – 1960-an. Arsitek post-modern mencari suatu tradisi-tradisi baru dalam membangun bangunan yang secara simbolik kaya dengan ruang-ruang yang bermakna.

Sebagaimana perspektif postmodern implikasi kajiannya memberi tempat kepada dunia tradisional yang selama ini direpresi oleh idelogi developmentalism  kaum modernis. Dalam banyak hal ia lebih membuka “ruang permainan” agar dunia tradisional dan modern bisa sama-sama bermain. Adalah keliru mengartikan secara etimologi postmodern adalah modern yang sudah lewat (lihat Awuy 1993).

Salah satu istilah yang menjadi khas bagi perspektif ini adalah kata  merombak (deconstruction). Merombak dalam arti mengacu kepada sikap kecurigaan intelektual terhadap bungkusan-bungkusan teori yang menyatakan pandangannya sebagai kebenaran prinsipil dan esensial, sebagaimana kecurigaan terhadap nilai-nilai pengetahuan yang  sudah menjadi pola atau sistem berpikir dalam konteks-konteks perspektif klasik maupun  modern. Sebagaimana dikemukakan oleh Mary Jo Hatch (1997) postmodern, ...learn to take nothing for granted. Deconstruct all claims of truth in order to determine whose point of view in bennefitted by a particular way of looking of or arguing about the world, Postmodern claim the deconstruction your perform will free you from your former totallity habits of mind” (Hatch 1997).

Makna Nasionalisme

Some ideas of a nation emphasise not shared characteristics, but rather on the shared choice for membership. In practice, this has always been applied to a group of people, who are also a nation by other definitions. The most famous voluntarist definition is that of Ernest Renan. In a lecture in 1882, Qu'est-ce qu'une nation? he rhetorically asked "What is a Nation?", and answered that it is a 'daily plebiscite'. Renan meant, that the members of the nation, by their daily participation in the life of the nation, show their consent to its existence, and to their own continued membership. Renan spoke in the context of the annexation of Alsace-Lorraine by the German Empire. At the time, the region was ethnically more German than French, and the Alsatian language is a west German language: Renan opposed such 'objective' criteria for a nation. Like Renan, most voluntarist definitions appeal to consent for existing nations, rather than promote explicit decisions to found new ones. Renan saw the nation as a group "having done great things together and wishing to do more" ("avoir fait de grandes choses ensemble, vouloir en faire encore").

Apabila kita simak dengan seksama makna nasionalisme yang dikemukakan oleh Ernest Renan di atas, apa yang dikritisi oleh postmodernist, yakni  ’linguinya negara-negara bangsa’ yang dialami oleh sejumlah negara yang memiliki heterogenitas yang tinggi, dapat dipahami. Misalnya keberadaan bangsa kita Indonesia sejak republik ini berdiri sejarah bangsa kita pada waktu-waktu tertentu muncul gejolak fenomena ethno-nationalism (mengarah ke separatisme) maupun religio-nationalism (mengarah ke teokrasi).

Munculnya kedua gejolak  fenomena nasionalisme ini, secara historis masing-masing memiliki alasan tersendiri sesuai dengan konteks kepentingan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Barangkali hal inilah yang dianggap oleh kalangan postmodernist sebagai sisi gelapnya nasionalisme. Anggapan ini boleh jadi karena, realitas sosiobudaya masyarakat Indonesia yang memiliki heterogenitas yang tinggi, belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan platform politik nasionalisme yang lahir dari pemikiran dan/atau kebudayaan politik barat yang diwacanakan oleh Bung Karno ketika menyampaikan Camkan Pancasila di hadapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 1 Juni 1945.

Dengan kata lain, pada satu sisi sejak pergerakkan kemerdekaan nilai-nilai nasionalisme sudah berkelindan dengan sikap dan perilaku politik para pendiri bangsa; segelintir elit-elit nasional maupun lokal. Tetapi pada  sebagaian besar warga atau rakyat kita yang tersebar di pelosok-pelosok negeri nusantara belum demikian. Artinya sikap-sikap politiknya masih didominasi oleh nilai-nilai primordial (keagamaan dan kesukuan). Inilah transisi nasionalisme di Indonesia yang dianggap oleh kalangan postmodernist belum sepenuhnya terkonstruksi secara sosiopolitik dlm konteks-konteks sosial kewarganegaraan (negara-bangsa).

Nasionalisme dan dinamikanya di Era Bung Karno (Orla) dan Era Pak Harto (Orba)

Sebagai proklamator RI Bung Karno (BK) sangat menyadari kondisi objektif masyarakat di Indonesia, di mana sejak muda sudah bergumul dengan persoalan politik bangsa baik dilihat dari segi-segi ideologi sekuler maupun ideologi keagamaan. Itulah sebabnya, pasca proklamasi sang proklamator tidak henti-hentinya menyerukan ’revolusi belum berakhir’ disertai dengan pesan politik ’bangun karakter bangsa’.  Apa yang dilakukan oleh BK selama hampir dua dekade dia berkuasa (orla), boleh dikatakan relatif berhasil, yang ditandai dengan bangkitnya semangat kebangsaan di kalangan generasi muda pada waktu itu. Dan yang paling spektakuler, adalah ketika  BK menggalang sukarelawan bersama dengan TNI dalam aksi ’ganyang malaisia (nekolim). Sebagai catatan, para era BK tidak ada satu pun rumah ibadah (khususnya, gereja) yang dibakar, dan kehidupan ’rukun dan damai’ antar sesama etnik dan agama bisa dirasakan pada era BK tersebut.

Begitu juga pada era kekuasaan Pak Harto (PH), sejak awal pemerintahannya memainkan peran melanjutkan pembangunan politik kebangsaan, terutama dalam usaha merevitalisasi ideologi nasional yaitu Pancasila. Oleh karena itu, dihadapan sidang senat Universitas Gajah Mada, PH mempresentasikan konsep Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4). Tujuannya tak lain adalah untuk menyatutan sikap dan perilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada era kekuasaannya, dengan didukung oleh payung hukum dan politik kembalinya ke UUD 45, dinyatakan bahwa Demokrasi Pancasila adalah  pandangan hidup bangsa yang tidak mengenal kompromi dengan adanya gerakan politik yang disebut sebagai ekstrim kiri (komunis) dan ekstrim kanan (agama/Islam).

Seperti juga pada era BK, tidak ada satupun rumah ibadah yang dibakar, dan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara bejalan dalam suasana ’rukun dan damai’. Namun pada massa berakhirnya kekuasaan PH (1995-1998), mulai muncul konflik komunal berdasarkan SARA). Dan pada era kekuasaan BJ Habibie, Gus Dur kemudian di-peawe oleh Megawati, terjadilah  gejolak konflik agama di Ambon, Poso dan Maluku Utara. Dan konflik etnik di bumi borneo antara orang Dayak dan orang Madura.

Meskipun pada era BK dan PH kondisi sosial politik masyarakat Indonesia relatif hidup rukun dan damai, tetapi tidak dapat disangkal bahwa upaya membangun Indonesia sebagai negara bangsa tidaklah semulus yang diharapkan. Mengapa? Karena  pada satu sisi menghadapi ancaman eksternal (implikasi perang dinggin antara blok sosialis dan kapitalis), di mana kekuatan-kekuatan eksternal tersebut tidak menghendaki kalau negara dan bangsa kita ’bersatu’ (terkonstruksinya kekuatan nasionalisme). Pada sisi yang lain, menghadapi ancaman internal, yang tak lain adalah  pengaruh kekuatan asing (pan-sosialisme/komunisme, dan pan-islamisme).

Menghadapi ancaman-ancaman tersebut (eksterna-internal), membawa implikasi politik yang nenpengaruhi kepemimpinan BK dan PH menerapkan gaya pelaku kuasa otoritarian. Tidak sedikit lawan-lawan politik kedua mantan pemimpin kita tersebut mengalami mimpi buruk. Misalnya, dibubarkannya dua partai yang dianggap musuh bebuyutan BK, yakni Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Masyumi. Demikian juga pada era PH, secara spektakuler membumi hanguskan semua anasir-anasir ekstrim kiri (sosialis/komunis) maupun ekstrim kanan (sisa-sisa masyumi yang mencoba mendirikan negara agama). Tidak terkecuali juga terhadap gerakan seperatis yang terjadi di Aceh (GAM), di Papua (OPM), dan di Maluku Selatan (RMS), sebagai ancaman etno-nasionalisme yang sampai sekarang ini masih bergejolak. 

Mitos Nasionalisme: Sisi Gelap NKRI – Reformasi

Pasca lengsernya Soeharto (orde baru), demokratisasi yang berlangsung di republik yang berpita bhineka tunggal ika, ternyata membawa implikasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang super bebas. Aksi massa, dan pernyataan-pernyataan kritis yang dianggap tabu pada era otoriter ordebaru membahaba di mana-mana. Mulai dari aksi-aksi buru, mahasiswa, bahkan para abdi negara tidak ketinggalan menunjukkan aksinya (guru dan kepala desa).

Suka tidak suka, hal tersebut  sudah menjadi bagian dari konfigurasi demokrasi, meskipun ekses yang ditimbulkan tidak jarang mengarah ke anarkhi (menabrak rambu-rambu hukum). Sebagaima yang diperlihatkan oleh kelompok-kelompok radikal tertentu, atas nama  kepentingan etnik (ethno-nationalism) dan/atau agama (religio-nationalism), melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap sesama anak bangsa yang  secara primordial dianggap memiliki latar belakang berbeda. Kenyataan ini, setuju atau tidak ada kaitannya dengan pengaruh jaringan internasional atas nama solidaritas.
Seperti gerakan-gerakan radikal Islam di Indonesia, sejak perang  antara  Israel dan negara-negara Arab di timur tengah; dan perjuangan kaum taliban di Afganistan telah membawa konsekuensi politik kekerasan di tanah air atas nama agama. Arus globalisasi ideologi sektarian (primordialisme) ternyata berhasil mempengaruhi kehidupan  berbangsa dan bernegara di tanah air. Disinyalir, pengaruh ideologi sektarian ini telah menyusup ke pilar-pilar kekuasaan negara eksekutif, legislatif dan judikatif. 

Hal ini bisa dilihat, berkenaan dengan munculnya kebijakan publik (undang-undang dan peraturan daerah) yang bernuansa sektarian (syariat agama). Seperti undang-undang anti pornografi dan pornoaksi (APP), undang-undang penistaan agama dan sejumlah peraturan daerah (perda) bernuansa sektarian yang kini sudah diberlakukan di beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Padahal, perda-perda tersebut secara juridis (formal-legalistik) bertentangan dengan undang-undang di atasnya (UU tentang pemerintahan otonomi daerah No. 32/2004). Bahkan bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. 

Ternyata dari segi solidaritas kebangsaan, seperti undang-undang APP di atas, hampir semua daerah menolaknya (Yogya, Bali, Kalteng, Sulut, Papua, NTT, Nias dan sebagian warga Ambon dan Medan). Demikian juga dari pihak perorangan, seperti Srisultan/Ratu Kiemas Kesultanan Yogya, Alm Gus Dur, Ibu Sinta GD, Yenny Wahid  dan sejumlah tokoh nasionalis dan kaum nahdiyin (NU) turun ke jalan (aksi demo)  menolak disahkannya undang-undang APP tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip bhineka tunggal-ika. Namun sampai pada saat disahkan di tingkat Mahkamah Konstitusi yang dikomandani oleh Muhfud, MD, rezim esbeye bergeming menanggapinya (tutup mata).  Dan yang paling memprihatinkan,  terkesan terjadinya ’pembiaran’ atas terjadinya  perlakuan diskriminatif dan kekerasan terhadap kaum minoritas di sepanjang tahun 2010. Misalnya, pelarangan membangun gereja di kota Bogor dan kota Bekasi yang disertai dengan tindakan kekerasan (penikaman pendeta HKBP). Padahal, kasus pembangunan gereja di kota Bogor, pihak gereja sudah menang di pengadilan (termasuk pembiaran atas hak untuk beribadah sekte-sekte agama tertentu). Negara (rejim SBY) tampak berkalkulasi untuk segera menyelesaikan masalah ini, dengan alasan tidak mau intervensi-urusan pemerintah otonomi. Hal ini secara psiko-politik (perasaan dibiarkan) dianggap tidak adil oleh kaum minoritas yang secara historis telah ikut berjasa memproklamirkan republik ini dan mengharumkan nama bangsa dan negara (salah satunya adalah Lambertus Nicolas Palar) dalam ajang diplomasi Palar, dkk mampu meyakinkan dunia atas kemerdekaan Indonesia. 

Seperti yang telah disinggung di atas, munculnya gejolak intoleran - terkesan adanya perlakuan yang bernuansa  diskriminatif, tampak pada departemen agama yang ada di daerah tertentu, sekalipun mayoritas kristen (kasus Sulawesi Utara), sama sekali tidak diberi kesempatan kepada putra daerah untuk menjadi kepala kanwilnya. Padahal, sejarah peran kaum minoritas di republik ini (NKRI) dalam mengharumkan nama bangsa di pentas internasional, begitu berarti dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa. Seperti  yang pernah dipersembahkan oleh Rudy Hartono (sang legendaris bulutangkis dunia), Elias Pical (orang Indonesia pertama peraih gelar juara dunia tinju profesional versi IBF), Boy Bolang promotor tinju dunia pertama di Indonesia, Susi Susanti peraih medali emas pertama cabang bulutangkis putri di tingkat olimpiade, putri papua (lupa namanya), sang peraih medali perak  putri  angkat berat di tingkat olimpiade, medali-medali kehormatan yang dipersembahkan oleh putra-putri Kawanua (Hengky Lasut, dkk) di pentas dunia kejuaraan ’bridge’, dan sebagainya (termasuk peraih medali emas olimpiade fisika).  Tidak ketinggalan prestasi di pentas musik dunia yang dipersembahkan oleh Ruth Sahanaya dan Agnes Monica. Dan sang legendaris petinju profesional dunia Chris John (belum terkalahkan di kelasnya).

Sehubungan dengan itu, dapat dipertanyakan, apakah makna mitos nasionalisme di atas merupakan pembenaran atas  pandangan pemikiran postmodernisme yang  mengkritisi makna  nasionalisme produk kaum modernist  barat tersebut? Pandangan pemikiran yang berusaha menyobek  tembus  tembok integrasi nasional agar terfragmentasi  (munculnya spirit  etno-nasionalisme dan spirit relio-nasionalisme) di negeri yang berpita bhineka tunggal-ika.  Jawabannya, seperti apa yang dikemukakan oleh Pauline di atas,  bahwa postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritisi segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat.  Begitu juga pemikiran  postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pra-modern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).

Modernisme – Nasionalisme dan Kelanjutannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Sebagai implikasi atas  makna modernism di atas, suka tidak suka keberadaan tembok  modernisme – nasionalisme masih tegar dan kokoh membentengi  kehidupan berbangsa dan bernegara, artinya sampai saat ini Indonesia masih menyandang platform politik sebagai negara bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kendatipun demikian,  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari masih berproses (nasionalisasi makna) di tengah pengaruh arus globalisasi yang sarat dengan multi kepentingan (ekonomi, politik, sosial dan budaya). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pauline Rosenau di atas,  mengacu kepada pandangan hidup Foucault di atas,  makna postmodernisme  bisa dibongkar alias disobek-tembus, terutama prioritas-prioritas modern yang dihasilkan oleh kaum modernist,  seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.  Apakah postmodern ada nyali untuk menyatakan bahwa prioritas-prioritas modern ini  sudah saatnya dinyatakan kemodernan yang akhir-akhir ini bunuh diri?

Refleksi

Sebagai refleksi atas  sisi baik modernisme - nasionalisme, dalam konteks Indonesia, mutlak tidak boleh direduksi oleh karena adanya semangat sentimen keagamaan (religio-nasionalisme) dan sentimen kedaerahan (etno-nasionalisme). Karena suka atau tidak, selain sebagai latar sejarah  berdirinya republik ini sebagai negara bangsa,  juga  makna multikulturalisme yang mulai lentur dalam interaksi sosial antar sesama anak bangsa, merupakan kekuatan nasionalisme di Indonesia  yang menyadari atas keberadaan  pluralisme (adanya perbedaan), empati (saling memahami), toleransi (saling menghormati), dan humanisme (jiwa kemanusiaan). Dalam semboyan masyarakat Sulawesi utara yang dipopulerkan oleh Letjen TNI/AD Purn. E.E. Mangindaan (mantan Gubernur Sulut, sekarang ini sebagai Menpan/Reformasi Birokrasi), ”Torang Samua Basudara” (We are Brothers).
Sementara itu, dalam konteks pembangunan,  melalui relasi kuasa modernism - nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan dibongkarnya mitos nasionalisme di Indonesia, kegunaannya tak lain adalah untuk membangkitkan semangat memajukan bangsa dalam bidang-bidang ekonomi, teknologi dan kebudayaan. Siapa pun anak bangsa yang berprestasi  dalam bidang-bidang tersebut, perlu diberi apresiasi dan reward, tanpa melihat latar belakang suku, ras dan golongan/agama (SARA).  
Begitu juga semangat nasionalisme dijadikan sebagai  virus mental dalam menegakkan supremasi hukum, khususnya dalam memberantas kejahatan korupsi di lingkungan institusi politik (eksekutif, legislative dan judikatif) tanpa pandang bulu. Karena bagaimanapun juga kejahatan korupsi ini adalah salah satu ancaman yang semakin banyak penganutnya (rats-nationalism), merupakan biang  kemunduran ekonomi nasional  (kesejahteraan rakyat).  Dapat dikatakan bahwa rats-nationalism merupakan pemicu terjadinya ketidakadilan sosial di tanah air (kaya semakin kaya; miskin semakin miskin), dan implikasi politiknya telah mendorong munculnya ethno-nationalism dan religio-nasionalism. Selain itu, semangat nasionalisme juga merupakan virus mental kemandirian (self-mental virus), terutama  untuk melepaskan diri dari ketergantungan hegemoni global (neo-liberalisme) yang semakin menggurita menguasai sumberdaya alam dan aset-aset bangsa lainnya.

Bagaimana semangat nasionalisme ini penting untuk dipertimbangkan kelebihannya di dalam isi pikiran pihak postmodernist, bahwa fakta sejarah peradaban senantiasa membenarkan bangsa-bangsa yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi & sekuler, terbukti adalah bangsa-bangsa yang digolongkan sebagai negara maju (Amrik, Euro-Barat, Korea Selatan, Jepang, Cina, dan Taiwan).  Pada masa lalu, juga sudah dibuktikan oleh ketangguhan Genghis Khan sebagai tokoh yang hanya bermodalkan filosofi 'sapu lidi' mampu mempersatukan bangsa Mongol (nasionalisme), dan kemudian dengan gemilang berhasil menaklukkan dunia (Asia, Afrika, Eropah).

Posting Komentar

2 Komentar

Anonim mengatakan…
I do not even know how I ended up here, but I thought this post
was good. I don't know who you are but certainly you're
going to a famous blogger if you aren't already ;) Cheers!
Anonim mengatakan…
you are truly a just right webmaster. The web site loading speed is amazing.
It kind of feels that you are doing any distinctive trick.
Also, The contents are masterpiece. you've done a magnificent job
on this matter!