Sabar

 Oleh :  Sava Ana 

Ilustrasi
Namanya Sabar. Dia merasa tidak punya tanah air. 

Ibunya lahir di sebuah kampung dari kedua orang tua yang tak lagi punya asal usul. Kata orang-orang, si kakek lahir dari ayah Jerman dan Ibu Jawa. Dia tak pernah jumpa orang tuanya. Entah bagaimana dia bisa tumbuh besar dan kawin dengan nenek, yang tumbuh besar di kampung itu karena pemerintah Belanda butuh bapaknya untuk jadi petugas administrasi perkebunan dekat kampung itu. Katanya nenek dari Jawa, entah apa nama kampungnya. Sejarah tidak menulis tentang mereka. 

Ibunya lalu kawin dengan orang di kampung itu, yang kemudian jadi bapaknya. Si bapak lumayan terkenal, bukan saja karena ayahnya punya tanah dan kebun luas, tetapi karena dia suka menulis di sebuah majalah kota tentang kisah-kisahnya di perantauan. Tidak tanggung-tanggung, bapaknya berkisah kehidupan orang-orang di negeri-negeri yang orang-orang kampung itu tidak pernah dengar namanya: Gabon, St. Martin, Espana, French Polinesia, dan lain-lain.

Ibu dan bapaknya saling cinta. Setidaknya itu yang diceritakan keluarga Ibu kepada Sabar. Tapi Sabar tidak suka bapaknya. Hampir-hampir membencinya. Dia merasa si Bapak lah penyebab kematian ibunya. Sabar sayang ibunya, walau dia tidak pernah bertemu muka. 

Sabar besar dengan banyak kebencian. Benci kampungnya, benci orang-orang yang membenci keluarga ibunya. Benci cerita-cerita bapaknya tentang hidup orang-orang di negeri asing yang seakan jauh lebih baik dari hidup di kampungnya. 

“Kenapa kau benci bapakmu?” suatu hari Nina bertanya. Sabar menyukai Nina, tetapi Nina tidak tahu. Bagi Sabar, Nina lah yang membuat dia punya alasan untuk bertahan di kampung. 

“Karena kakaknya membenci Mama,” jawab Sabar singkat. Siang itu, seperti biasa, mereka cabut dari sekolah di dekat rumah, dan bersepeda ke pantai tak jauh dari sekolah. 

Hanya untuk duduk di tepi pantai yang sepi bersama Nina saja lah alasan dia mau bersekolah setiap hari.

“Itu kan kakaknya, bukan bapak. Kenapa benci bapak, padahal mamamu cinta dia?” Tanya Nina lagi sambil memotong buah kedondong jadi enam bagian kecil-kecil. Dia sodorkan 3 potong kepada Sabar.

Sabar mengambil satu potong. Tak segera memakannya. 

“Kau cerewet,” jawabnya ketus. Dia lempar potongan kedondong itu ke tanah. Wajahnya murung sekali. Dia tidak suka pertanyaan Nina. Dia tidak mau Nina bicara soal Bapaknya. 

“Kau kasar,” kata Nina pelan sambil memakan satu potong kedondong yang tak diambil Sabar tadi. 

Matanya memandang lepas ke lautan. Nina tidak mengerti Sabar. Mereka sudah berteman begitu lama. Sabar kasar, Nina tahu persis, dan dia tidak suka itu. Tetapi entah kenapa Nina semacam merasa sebenarnya Sabar tidak jahat. 

Nina menyukai dia. Nina suka matanya. Mata itu tidak pernah memandang kasar padanya, walau mulutnya kerap mengeluarkan kata-kata jahat. Nina suka bila Sabar diam dan sibuk dengan pikirannya. Sabar sering melamun, dan Nina senang memperhatikan tanpa Sabar tahu. 

Kadang tatapan mereka bertemu. Tetapi Sabar tidak pernah mau memandangnya lebih lama. Dalam kilas tatap itu, entah kenapa, Nina tahu Sabar menyimpan banyak kesedihan yang tidak mau dia katakan.

“Kau nanti mau kuliah dimana?” kata Sabar sambil memungut kembali potongan kedondong yang jatuh ke permukaan pasir, membersihkan sekilas lalu melahapnya. 

“Saya mau ke Jawa,” ujar Nina singkat. 

Sabar terdiam lama. Dia tahu, Nina akan segera berangkat. Nina anak pembesar kampung. Bapaknya pengusaha, anak asli kampung itu. Sabar tahu persis, dia tidak mungkin bisa melamar Nina. Harganya mahal. 

Sabar tiba-tiba berlari ke laut, sambil membuka kaus kesebelasan Brazil kuning yang dikenakannya. Dia ceburkan dirinya ke laut, berenang sekuat tenaga. Sabar marah. Marah pada banyak hal. Nina hanya mendangnya dari jauh.  

Setengah jam berlalu. Hanya suara angin dan burung-burung camar kecil beterbangan di sekitar pantai. Nina tahu Sabar sedih. 

“Saya benci kau dan kampungmu. Benci semua orang-orang di kampung sini,” Sabar kembali dari laut dengan berbagai umpatan kalimat penuh kebencian pada Nina. 

Nina diam saja. Dia sodorkan kembali potongan ke tiga kedondong itu kepada Sabar.

Sabar mengambilnya, dia kunyah kedondong itu pelan-pelan. “Tapi kenapa kau baik sama saya? Kenapa kau pergi ke Jawa? Saya harus pergi kemana?” ujarnya pelan.

Nina menyodorkan kaos kuning kesebelasan brazil itu pada Sabar. Dia mengenakannya dan duduk di samping Nina. 

“Ikut saya. Kita sama-sama kuliah ke Jawa,” ujar Nina. 

“Buat apa? Selesai kuliah kau akan kembali ke sini, kau punya segalanya disini, saya tidak,” ujar Sabar setelah terdiam sesaat. 

“Saya akan pergi ke tempat yang tidak akan bawa saya kembali ke sini,” lanjutnya sambil menatap Nina lekat-lekat. 

Nina belum pernah melihat mata Sabar semarah itu. Dia tidak tahu kenapa Sabar membenci segala hal di kampung ini.

“Kenapa kau benci semua hal di kampung ini? Kau benci saya juga kah?” tanya Nina, sambil menekan kemarahannya karena tak juga mengerti apa yang dipikirkan Sabar. 

Sabar masih memandang Nina, yang matanya mulai terlihat resah. 

“Nin, ada dua jenis manusia di dunia ini. Orang-orang yang selalu punya alasan untuk kembali dan orang-orang yang selalu harus pergi. Kau manusia pertama, saya manusia kedua. Saya hormat kau. Ibu dan ayahmu pemilik kampung ini. Ibu dan ayah bapakku pemilik kampung ini. Ibu dan ayah Mamaku hanya menumpang. Kami orang-orang yang tidak punya tanah air. Kau tahu bagaimana rasanya menumpang hidup? Kau tau bagaimana rasanya ingin mengulur tangan untuk sama-sama membangun kampung padahal kau bukan pemiliknya, sementara di saat yang sama lebih banyak orang-orang seperti kami yang tak mau tau merampas satu persatu harta milik kalian tanpa merasa ada dosa? Kau tahu bagaimana rasanya dibenci dan membenci di saat yang bersamaan? Kau tahu bagaimana rasanya tumbuh besar dengan perasaan seperti itu?”

Sabar meluncurkan kalimat-kalimat yang tidak Nina mengerti. 

Kenapa begitu rumit benang-benang pikiran di kepala laki-laki itu? Nina tidak paham.

“Saya tidak mau menginjak tanah Jawa. Saya ingin pergi lebih jauh lagi. Tempat dimana orang-orang seperti saya ada dan bisa bertukar cerita. Tempat dimana orang-orang berkumpul dan membangun karena hal-hal yang mereka cintai. Kau tidak akan mengerti Nin. Karena kau memiliki kampung ini,” ujar Sabar pelan. Matanya beralih lepas ke cakrawala pantai.  

Nina terdiam lama. Dia mencoba mencerna apa yang dimaksud oleh lelaki itu. Dia masih sulit mengerti.

“Hei. Kau boleh membenci kampung ini. Membenci bapakmu dan orang-orang di kampung ini. Atau bahkan membenci saya. Tapi kau harus tahu, hidup dengan kebencian itu tidak akan bawa kedua jenis manusia yang kau sebut itu kemana-mana. Mereka tidak akan tahu jalan kembali, pun tidak akan tahu mau pergi kemana,” Nina berkata pelan. 

Dia sedikit takut kata-katanya akan menyinggung Sabar. Dia bahkan tidak tahu apa jawabannya itu sesuai dengan maksud Sabar.

Nina hanya tidak suka Sabar membenci. Kebencian sudah membuat matanya yang indah itu tidak bersinar, mata yang tidak mau mendangnya dengan jujur.

“Saya benci dia karena dia tidak bela Mama saat Mama dicaci maki keluarga besarnya. Mama didoakan mati oleh mereka, dan Mama memang mati. Cinta apa itu Nin, yang tidak membela orang-orang yang kau cintai?” Sabar tiba-tiba berkata pelan dan sendu.

Nina tersentak. Dia tidak menyangka Sabar akan cerita soal Bapaknya. Nina tidak tahu harus bilang apa. Mereka terdiam lama. Angin terasa bertiup lebih dingin. Matahari merayap ke cakrawala.

Nina ulurkan tangannya meraih tangan Sabar. Digenggamnya jemari Sabar yang besar-besar dengan jemarinya yang kecil. 

Erat. 

Jemari itu terasa dingin sekali.





















Posting Komentar

0 Komentar