Oleh: pAscall Rembe
Ilustrasi Topeng |
Seorang tokoh
Humanis Indonesia Bapak K.H. Abdurrahman Wahid pernah mengatakan dengan suarah
lantang nan rendah ‘Demokrasi aja kok repot’.
Ungkapan sangat sederana dengan tujuan mempersilakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi sesuai dengan
makna demokrasi artinya bahwa ruang demokrasi di buka se-lebar lebarnya demi
suatu tujuan yang hakiki.
Dengan demikian,
Untuk Apakah Negara Indonesia dijuluki Negara Demokrasi? Untuk siapakah Negara ini didirikan? Ataukah demokrasi hanya
bagi kalangan para elite? Dan Bagaimanakah Negara ini harus berjalan sesuai
dengan haklat demokrasi? Mengapa kami menyebut Negara ini sebagai demokrasi
berdimensi Topeng?
Bertolak dari carut marut demokrasi yang tidak ada ruangnya
bagi rakyat akar rumput. Andai kata pendiri Negara ini masih hidup, mereka pasti
mempertanyakan kembali wibawahIndonesia sebagai Negara demokrasi dan hukum.
Dalam sebuah jurnal
Filsafat menerangkan bahwa demokrasi indonesia adalah demokrasi
mbulet. Orang berbicara panjang untuk menutupi kebodohan. Orang berbicara lama untuk menutupi ketidak
percayaan diri.
Orang berbicara berputar karena ia malas refleksi. Yang lebih
sulit bukanlah berbicara banyak, tetapi berbicara sedikit, namun maksud
tersampaikan. Orang harus belajar untuk berbicara lebih sedikit, lebih tepat,
lebih bermakna, dan lebih mencerahkan.
Dasar dari
demokrasi adalah kata dan bahasa. Jika kata dan bahasa mbulet, maka demokrasi
pun mbulet. Jika kata dan bahasa jauh dari makna, maka yang dihasilkan hanyalah
argumentasi kosong yang amat mirip dengan sekedar suara.
Tak heran nilai-nilai
demokrasi kita hanya berkembang menjadi suara palu sidang, dan tak pernah
menjadi nyata dan didengar oleh masyarakat umum.
Tidak heran memang. Nilai
budaya demokrasi apa yang harus diterapkan demi suatu hubungan Masyarakat.
Demokrasi
tentuh adalah bebas dalam segalah Aspek kehidupan, demokrasi tidak lagi lazim
dinamakan bebas, demikian para penganut demokrasi menamaih sebagai sektuh yang
bebas.
Para pencetus Paham Demokrasi salah satunya Adalah Presiden Amerika ke
16 Abraham Lincoln yang nyaris menanamkan sebuah gagasan demokrasi demi
pembebasan kaum Kulit hitam di Afrika dan pula di Amerika, dimana zaman itu Ras
kulit hitam dipertarukan demi sebuah pelayanan hidup bagi kaum kulit putih.
Dari sejarah
yang sedikit berdimensi rasis, kami kembali pada Indonesia yang menjunjung
tinggih nilai demokrasi, Negara yang mempunyai integritas hukum yang jelas,
prisip demokrasinya sedikit melenceng dari alur zaman demokrasi, kami tentu
mengetahui zaman apa yang kami tempuh, zaman yang diinkarnasikan oleh penctus
demokrasi, sesuai apa yang terjadi dalam realita demokrasi.
Banyak pembatasan ruang demokrasi diberbagai daerah
yang menjadi penyakit dalam tubuh rakyat. Melihat kembali kasus Mahasiswa Papua
di Yogjakarta yang ingin menyuarahkan hak-hak mereka sebagai manusia sejatih.
Kenyataan itu tidak berjalan mulus sesuai dengan ruang dan hakekat demokrasi,
malahan mereka dibatasi dihadapkan dengan hukum yang berdiri tegak, setara hukum demokrasi
di nilai mandul tidak membendung aspirasi rakyat intelek.
Dengan demikian inikah disebut ada
ruang demokrasi? Ataukah ruang demokrasi hanya diberlakukan pada saat Pilkada,
mendengar pasca bentrok warga
dimana-mana hanya demi mempertahankan hak-hak ulahyat bersamaan itu apakah para
elit mendengarkan akan seruan itu?
Cenderung Para penegak demokrasi di negeri ini Berpura-pura, karena setelah menjadi pejabat atau mencalonkan
diri sebagai kandidat nomor satu di republik ini, kemudian mengemis untuk
mendapatkan suarah terbanyak, kemudian setelah menjadi orang nomor satu mulai
mengancam rakyat membatasi aspirasi
dengan dalil kebodohan, kepentingan mulai mengancam benaknya untuk harus
mengambil tindakan nyata, mempercepat perekonomian sisah dari pada itu, masuk
didalam kantong perutnya, supaya ada nutrisi.
Kini
dunia menjadi dewasa, tidak lagi yang
memandang demokrasi sebagai ruang gerak, terutama bagi Orang Papua demokrasi itu
hanya ilusi, mengapa demikian, karena
ruang demokrasi di tanah Papua tidak menjamin.
Bahkan ada pihak yang menutupi kehendak masyarakat untuk
menyampaikan hakekat dan hak sebagai manusia yang mempunyai martabat mereka dicap sebagai separatis.
Mereka yang
disebut tuan tikus berdasi, tuan penegak, kini menutupi ruang demokrasi dengan alasan yang
pudar menyelewengkan Aturan Masyarakat Adat.
Fakta demokrasi menerbitkan hakekat hidup yang
bebas. Namun manusia Papua, yang dahulu memiliki integritas, martabat yang
Luhur, kini mengambang hanyut dalam sebuah degradasi harapan.
Demokrasi
mengajarkan kebebasan, menjujung tinggih nilai budaya demokrasi akan tetapi
semuanya menjadi suram akibat kepentingan golongan yang mengatasnamakan
pribumi orang asli Papua.
Demokrasi yang dahulunya sebagai motor gerak kaum
ploretal (Masyarakat Akar Rumput) namun kini demokrasi menjadi wajah
berdimensi Militer akibat perdagangan kekuasaan. Salah satu masalah yang dihadapi
masyarakat di Papua bertahun-tahun, tetapi belum merupakan sasaran perhatian
dan kepedulian apalagi penanganan serius secara nyata, adalah masalah
ketidakadilan social dan ruang demokrasi bagi rakyat Papua sangat sempit.
Matinya ruang demokrasi adalah akibat kepetingan para elite dan kaki tangan
penjaga elit politik. Hemat saya, Demokrsi perlu di
lahirkan kembali dengan pemasaran masal hinggah menembus nadi penguasah. Sehinggah
mereka bisa mengerti identitas demokrasi yang jelas dan memaknai budaya
demokrasi yang sesungguhnya.
Penulis:
Mahsiswa Papua dan Aktivis
Jaringan Jalanan Papua network
0 Komentar