TUJUH
Liwa
terbangun dari tidurnya dengan lesu, ia membetulkan letak Sali yang
tercerai berai. Ibarak masih tertidur, ia memandang laki-laki itu dengan
pandangan sukar dilukiskan, antara kebencian dan putus asa. Sejak harga
kebutuhan di pasar terus melambung tinggi, Liwa harus bekerja lebih
berat. Delapan orang anak harus diberi makan setiap hari, dan Ibarak
melepaskan semua beban hidup, ia bahkan menambah beban itu dengan segala
macam tuntutan, khususnya tembakau setiap hari. Diam-diam Liwa merasa
sudah tak mampu dengan semua beban ini, tubuhnya terlalu cepat menjadi
tua, tapi tak ada waktu istirahat, ia harus bekerja dan bekerja. Tanpa
sadar Liwa mulai membenci kehidupan yang dijalani, ia tak berminat
terhadap apa-apa lagi. Ia tak dapat bersembunyi pada Lapina, wanita itu
belum lama telah dibakar jenazahnya. Akhirnya Liwa benar-benar seorang
diri. Anaknya yang tertua memang sudah dapat membantunya bekerja di
kebun, tapi tetap saja ada kebencian yang menggumpal manakala ia harus
selalu berhadapan dengan Ibarak. Laki-laki itu telah menjadi mimpi
buruk. Kalaulah ia dapat pergi menjauh dari sosok yang menakutkan itu?
Liwa
beranjak dari tempatnya merebahkan diri dengan sebuah helaan napas
panjang, ia harus melakukan rutinitas yang telah dikerjakan selama
bertahun-tahun setiap pagi, yaitu menyalakan api. Tak lama kemudian
ruangan di dalam honai itu telah dipenuhi asap dan menjadi hangat. Liwa
membuka pintu honai dengan suara berderit, udara segar dan sinar
matahari menerobos masuk. Wanita itu meninggalkan honai dan menuju ke
dapur dengan langkah gontai. Wajahnya yang kehitam-hitaman dan mengantuk
nampak semakin tua. Liwa tak tahu persis berapa umurnya kini, ia tak
pernah peduli dengan umur. Ia tak peduli dengan apa pun kini, karena
benaknya selalu diliputi dengan persoalan yang tak dapat dimengerti.
Umur bukanlah suatu hal penting, bahkan tak perlu untuk dipikirkan. Ia
tak bermasalah dengan umur, tetapi dengan beban hidup sehari-hari yang
harus dipikul tanpa kecuali.
Liwa mengoleskan lemak babi ke
seluruh tubuh untuk melindungi diri dari udara dingin kemudian
membesarkan nyala api yang nyaris padam. Asap pun terus mengepul,
menembus celah-celah ilalang, bergulung ke angkasa dan memecah
kehilangan bentuk. Liwa merebus sepanci penuh ubi manis kemudian segera
bergegas ke kandang babi dengan sekeranjang penuh makanan. Binatang itu
menguik dan berdesakan keluar dari kandang ketika Liwa membuka pintu.
Liwa harus memperlakukan babi-babi itu dengan baik, binatang itu adalah
harta pusaka kerabatnya. Kelak, bila anak laki-lakinya menikah, maka
babi itu akan menjadi mas kawin yang akan diberikan kepada pihak istri.
Dalam sekejab makanan itu tandas sudah, babi-babi itu segera berkeliaran
di seputar kampung untuk mendapatkan makanan tambahan.
“Makanan sudah siapkah?” tiba-tiba Ibarak telah berdiri di dekat kandang.
“Sebentar lagi”, Liwa menjawab sambil membersihkan kandang babi.
“Aku sudah lapar, seharusnya engkau bangun lebih pagi”.
“Aku sudah bangun pagi.”
“Tapi makanan belum siap”.
“Tunggu
sebentar”, Liwa bergegas kembali ke dapur, ia tahu bahwa Ibarak akan
segeraa marah besar bila makanan tidak segera disiapkan. Suaminya itu
memang seorang yang tukang makan. Liwa mengeluh ketika mendapati ubi
yang direbus belum juga masak, ia segera membesarkan nyala api dan
berharap dengan sangat, bahwa ubi itu akan segera matang. Ibarak tampak
geram, ia mulai mengomel dan seperti biasa Liwa menjadi ketakutan. Mulut
Ibarak mulai terkunci ketika Liwa mengulurkan tembakau.
Di luar
matahari semakin tinggi, embun yang mengkristal pada ujung dedaunan
telah jatuh ke tanah dan musnah. Penghuni silimo itu telah semuanya
terbangun, mereka telah berkumpul di dapur untuk berdiang diri sambil
menunggu ubi masak. Seluruhnya berjumlah 20 orang. Ibarak tampak tengah
asyik merokok, ia memainkan asap di udara, sehingga asap itu tampak
meliuk-liuk seperti ular naga siluman. Ia tampak girang ketika ubi manis
telah masak dan segera mengambil bagiannya dengan rakus. Anggota silimo
yang lain menghadapi bagiannya masing-masing dan segera meninggalkan
dapur setelah perut kenyang. Liwa mendengar suara anaknya bermain dan ia
segera merasa senang.
Di ruangan yang sempit dan rendah itu kini
hanya tinggal Ibarak dan Liwa. “Kau harus berani melakukannya”, Ibarak
membuka percakapan.
“Melakukan apa?”
“Kau cukup berlemak, kau menarik bagi laki-laki lain”.
“Kalau menarik kenapa?”
“Aku sering melihat-lihat Lopes sedang mengamat-amatimu, agaknya ia tertarik”.
“Apa sebenarnya maumu?”
“Aku ingin babi. Babi-babi itu akan membuatku menjadi orang kaya di kampong di kampong ini”.
“Kau sudah gila Barak”.
“Kau
tidak boleh berkata begitu. Aku telah membayarmu dengan dua puluh ekor
babi. Kau harus menuruti semua permintaanku. Bujuklah Lopez, supaya aku
dapat menangkap basah kalian dan dapat kiranya menuntut denda babi”.
“Ibarak, tidakkah engkau menyadari bahwa perbuatan itu melampaui batas?”
“Kau tidak bisa melawan perintahku”.
“Aku
tidak bisa dan tidak akan pernah melakukan, aku lebih senang kalau
engkau membunuhku dari pada melakukan perbuatan terkutuk itu”.
“Apa
katamu?!” Ibarak merasa darahnya seketika mendidih. Ia telah bersiap
mengayunkan tangan, tapi Liwa dengan benci menatapnya.”Kau selalu
menjadikan alasan bayar babi untuk memperdayakanku. Perlu kau ketahui,
bahwa tanpa membunuhku, sudah lama aku mati. Aku tak takut apa-apa
lagi”, dalam keputus asaan Liwa menyatakan sikapnya, dan sebelum Ibarak
mendaratkan tangannya, wanita itu berlalu pergi.
Seperti halnya
seekor cikcak yang selalu menyelamatkan diri dari ancaman bahaya dengan
mematahkan ekor, maka Liwa harus menyelamatkan hidupnya dari tekanan
yang berlebihan. Sebelum tubuhnya dipenuhi bilur-bilur dan ia mesti
melolong tanpa adanya pertolongan, Liwa pipih menghindar. Wanita itu
mempercepat langkahnya ke arah kebun, ia kembali pada keheningan alam
untuk meredakan bermacam gejolak, hidupnya seakan tak berarti lagi. Liwa
berbaring di atas rumput di bawah sebatang pohon yang rindang,
pandangan matanya menerawang jauh, tak mungkin ia memenuhi keinginan
Ibarak yang begitu gila. Tidak!
Sepeninggal Liwa, Ibarak berjalan
keluar pagar menuju sebuah jalan setapak yang becek berlumpur, tangannya
menggenggam busur dan anak panah. Laki-laki itu hendak pergi berburu.
Ia terus menyusuri jalan setapak sampai tiba-tiba langkahnya terhenti,
mulutnya menyeringai ketika ia melihat bayangan seorang wanita berjalan
beberapa meter di depannya. Wanita itu lebih berlemak dari pada Liwa,
ketika ia berjalan menikung, maka sepasang bukit kembarnya tampak
sedemikian menantang. Sali yang dikenakan tampak tercerai berai
membayangkan bentuk tersembunyi di sebaliknya. Ibarak menahan napas, ia
mengenal wanita itu. Wanita yang sering ikut pula dalam lelap tidurnya,
dalam sekejab Ibarak segera terlupa, bahwa Liwa memang benar seorang
istri baginya.
Laki-laki itu mengurungkan niat mencari binatang
buruan, langkahnya berubah arah mengikuti wanita yang sedang menuju ke
kebun. Ia kini berada di antara kesunyian dan suara mencecet binatang
hutan yang sesekali terdengar. Ibarak duduk di semak-semak sambil
memandangi wanita yang tengah bekerja membersihkan ladanag. Butir-butir
keringat itu tamapak seperti embun yang menetes.
“Lipina”, Ibarak menampakkan diri.
“O, engkaukah itu Ibarak? Bikin apa kamu orang?”
“Sejak dari tadi aku mengikuti, tidak mengertikah kamu?’
“Mengapa engkau mengikuti orang yang sedang bekerja Ibarak?”
“Aku senang melihatmu, tubuhmu sungguh berlemak. Mengapa engkau bisa segemuk itu?”
“Ah,
tidak engkau terlalau memuji”, sesaat Lipina menghentikan pekerjaannya.
Diam-diam ia merasa senang dengan pujian itu, tanpa sadar senyumnya
mengembang. Ibarak melihat senyum itu, ia tahu bujukannya mengena.
Laki-laki itu menjadi semakin berani,ia mendekati Lipina, sehingga ia
bisa mendengar suara mendengus dari hidung wanita itu. “Istirahatlah
barang sebentar Lipina”.
“Aku harus bekerja Ibarak”.
“Duduklah
dekat-dekat sini”, Ibarak menarik tangan Lipina, wanita itu pun duduk
rapat di dekatnya. Tapi kali ini Ibarak tak berhasil membujuknya, Lipina
tampak enggan. Ibarak tak berputus asa, berhari-hari ia terus mengikuti
Lipina di kebun dan mendekatinya dengan bermacam bujuk rayu. Akhirnya
Lipina menyerah.
Ketika kesunyian mengungkung sesisi kebun seakan
desir angin yang mengobarkan bara api, dan Ibarak telah memojokkan
wanita gemuk itu pada sebuah sudut tanpa ia mampu mengelak, maka
laki-laki itu pun tak membuang waktu. Ia tahu wanita itu tak menolaknya.
Kemudian segalanya berjalan dengan cepat. Ibarak menarik tangan Lipina
di antara perdu. Keheningan telah menjadi satu-satunya suasana yang
meliputi kebun itu. Daun perdu tampak bergoyang-goyang. Sesekali
terdengar suara desau angin. Selebihnya, sepi.
Di atas matahari
telah sampai pada titik kulminasi, sinarnya yang menyengat terhalang
mendung, debu-debu beterbangan dihempas angin. Napas Ibarak telah
berubah telah berubah menjadi dengus seekor lembu. Mereka berhasil
bersembunyi dan mengelak dari tuntutan adat, sehingga Ibarak terbebas
dari denda babi. Tak lama kemudian tampak Ibarak tergesa pergi
meninggalkan Lipina seorang diri. Ia tak mau ada seorang pun sebagai
saksi.
Di kebun yang letaknya jauh dari tempat itu, Liwa tak
pernah tahu apa sebenarnya yang telah terjadi pada Ibarak. Seperti
biasanya ia harus bekerja keras membersihkan rumput liar dan mencungkil
ubi yang telah masak. Kali ini harus lebih bersabar, karena Ibarak
terus menerus menekannya untuk berbuat kegilaan. Ia sudah menyatakan
sikap, “tidak!” terhadap keinginan itu dan sikapnya tak akan pernah
berubah.
Liwa segera membuat api ketika merasa perutnya lapar, ia
membenamkan ubi ke dalam abu yang mulai panas kemudian mulai bekerja.
Peluh perempuan itu bercucuran membasahi kulitnya yang legam. Pakaian
pemberian Gayatri yang dikenakan telah compang camping dan robek pada
beberapa bagian. Liwa memasukkan ubi dan sayur ke dalam noken kemudian
beristirahat sejenak, mengisi perutnya yang lapar.
Liwa bekerja di
kebun lebih lama dari biasanya, ia sengaja tak mengajak anak-anaknya
untuk membantu bekerja di kebun, wanita itu ingin sendiri, ia merasakan
kesedihan tanpa siapa-siapa. Ia merasa kebencian kian menggumpal bila
teringat kembali kepada keinginan Ibarak. Tak akan ia biarkan seorang
pun menyentuhnya, hanya karena sebuah jebakan untuk menuntut denda babi.
Ia memang dungu,tapi tak sebodoh itu. Sekali ini ia pasti menentang
Ibarak, meski laki-laki itu mungkin akan mengakhiri hidupnya. Ia tak
akan membiarkan siapa pun menghinanya sedemikian rupa, meskipun dirinya
bukan apa-apa.
Matahari telah menggelincir di langit sebelah barat
membiaskan aurora, sesaat lagi sinar itu akan segera tenggelam,
menyisakan bayang-bayang, Liwa menyudahi pekerjaan, ia meletakkan tali
noken di kepala, seluruh bobot yang berada di dalam noken itu jatuh di
belakang punggungnya. Wanita itu melangkah menyusuri jalan setapak, ia
berhenti di tepi sungai untuk membilas ubi dan sayur hingga bersih. Air
sungai terasa sejuk dan dingin. Liwa merendam serta kaki dan
membersihkan wajahnya kemudian berkemas pulang. Cahaya matahari hanya
tinggal semburat lemah dan sekejab kemudian berganti dengan kilau sinar
rembulan ketika Liwa sampai kembali di depan silimo. Anak-anak Liwa
tengah sibuk memanggil babi-babi kembali ke kandang, suaranya terdengar
nyaring: ”De! De! De! De! De!” Dalam hati Liwa bersyukur, anaknya telah
ikut serta meringankan beban hidupnya. Ia tidak perlu lagi
berteriak-teriak dan hanya cukup memberinya makan.
Di dapur asap
tungku telah mengepul, seluruh anggota silimo berkumpul. Liwa mengambil
kuali untuk merebus ubi manis beserta daun dan buah merah. Ibarak tampak
duduk tenang, karena tembakau kesukaan terjepit pada jemari tangan, ia
telah mengoleskan lemak babi ke seluruh tubuh untuk menghangatkan diri.
Tujuh orang anaknya tampak pula tenang menunggu ubi masak. Anak tertua
Loren telah beranjak dewasa. Tak lama lagi ia akan menikah dan pihak
keluarga harus membayarkan babi sebagai mas kawin. Sementara adiknya
yang masih kecil tampak demikian kurus, hanya perutnya yang membuncit,
sementara hidungnya tak pernah bersih dari ingus.
Daun ubi dan
buah merah itu matang terlebih dahulu, Liwa segera mengangkatnya. Ibarak
membiarkan buah merah itu beberapa saat lamanya supaya dingin kemudian
menggilasnya di atas pipisan batu, sehingga mencairlah saus yang
berwarna darah dan dituangkan di atas daun ubi. Sementara itu ubi yang
direbus di dalam kuali telah masak, Liwa membagikan ubi itu kepada
seluruh orang yang berada di dalam dapur dan mereka pun makan dengan
lahap.
Di atas bulan telah menjelang purnama, sinarnya berkilau
menerangi seluruh permukaan lembah. Kerdip bintang tampak terang seperti
batu berlian yang berhamburan. Di dalam silimo tak ada lagi yang
bersuara, kaum wanita telahkembali ke ebe ai dan kaum laki-laki telah
masuk ke pilamo untuk berkemas tidur. Liwa masih berusaha menyalakan
perapian untuk menghalau udara yang semakin dingin, di luar dedaunan
mulai basah digenangi embun. Liwa akan dapat tidur nyenyak mala mini,
Ibarak tidur di dalam pilamo bersama anak laki-lakinya. Nyala perapian
meredup perlahan dan akhirnya hanya tinggal bara yang tersisa. Liwa
merasa matanya semakin berat seperti digayuti lempeng besi. Tak lama
kemudian napasnya yang teratur mulai terdengar sebagai pertanda, bahwa
wanita itu telah tertidur.
***
Ibarak
sudah tak dapat lagi menahan kesabaran, ketika Liwa terus membangkang
tak mau menggoda Lopes, tak sekali pun wanita itu dapat menolak
kehendaknya. “Kau harus menuruti kehendakku, jika tidak aku pasti akan
memukulmu”, Ibarak mulai mengancam.
“Kehendak yang mana?”
“Lopes, kau harus menjebaknya demi babi-babi itu”,
“Sudah kukatakan, bahwa aku lebih baik mati dari pada menuruti kehendakmu. Engaku telah gila!”
“Baiklah,
kalau engkau lebih suka mati”, Ibarak mengayunkan tangan. Gerakan itu
terlalu cepat, sehingga Liwa tak dapat menghindar. Sebuah teriakan
bergema ketika tangan Ibarak mendarat di pipi Liwa.
“Apakah engkau lebih suka mati?”
“Betul”,
Liwa merasa sakit, tapi belum kehilangan kesadaran. Ia menyambar kayu
bakar, menghujamkan keras-keras ke dada Ibarak. Laki-laki itu pun
tersungkur, tak bergerak lagi.
***
Liwa
mengambil noken yang penuh dengan hasil kebun sebagai barang jualan,
ia ingin segera menghindar dari suasana yang menggelisahkan di dalam
silimo, ia hendak pergi ke Pasar Nayak. Di luar udara dingin dan
berkabut, Liwa menyilangkan kedua tangan untuk menutupi lubang telinga
supaya badannya tidak menggigil. Matahari semakin tinggi ketika Liwa
sampai di Pasar Nayak, ia segera menggelar barang jualan kemudian
berdiam diri menunggu pembeli dating sambil merajut noken. Liwa sungguh
bergirang hati ketika tiba-tiba seorang asing berniat membeli barang
jualannya. Orang itu berniat menawar harga jeruk, tetapi Liwa adalah
pedagang local yang tidak pernah mengerti dengan istilah tawar menawar,
ia memasang harga mati dan tak pernah memberikan barang jualan di bawah
harga yang telah ditetapkan. Pembeli itu akhirnya mengalah, ia mengambil
20 butir jeruk dan menyerahkan uang sepuluh ribuan. Pembeli yang lain
datang tak lama kemudian, tak seorang pun dari mereka yang dapat membeli
jeruk, pisang, dan alpokad dengan menawar.
Liwa tak tahu dengan
pasti sampai berapa lama ia berdiam di tempat ini hingga barang
jualannya hanya tinggal sisa tiga butir jeruk yang kecil-kecil. Ia pun
berkemas menyudahi pekerjaan, mestinya Liwa segera kembali ke silimo,
tapi kemarahan dengan Ibarak belum juga mereda, ia melangkahkan kaki
menuju ke pintu air, suatu tempat yang biasa dikunjungi turis untuk
wisata. Di tepi arus Sungai Baliem itu Liwa duduk melamun menatap
pusaran arus yang terus bergerak tanpa pernah menganal reda.
Seorang
turis tampak tertarik menatap Liwa yang tengah bertelanjang dada hanya
melilitkan Sali di seputar pinggangnya. “Foto saya, bayar tiga ribu”,
Liwa berbicara dalam bahasa Indonesia dan bahasa isyarat. Turis itu
rupanya setuju, Liwa segera bergaya membiarkan turis itu membidikkan
kamera kemudian dengan girang ia menerima tiga lembar uang ribuan.
Setelah itu Liwa kembali berdiam diri.
Di seputar tempat itu
tampak pula beberapa wanita Dani yang tengah melancong, ketika melihat
kedatangan turis dan pembayaran bagi harga satu foto dalam keadaan
bertelanjang dada, maka wanita itu segera melepaskan pakaian bagian atas
dan hanya tinggal mengenakan Sali. Tawar menawar terjadi dan turis itu
kembali membidikkan kamera kemudian memberikan uang pembayaran.
Transakasi selesai, turis berlalu, si wanita dani kembali mengenakan
pakaiannya. Perlahan-lahan suasana menjadi di tempat itu segera menjadi
sunyi. Liwa masih ingin berlama-lama di tempat ini, tapi ia teringat
pada anak-anaknya. Dengan malas wanita itu bergerak meninggalkan pintu
air, berjalan menuju arah tempat asal. Liwa menyempatkan diri singgah
pada sebuah kios, menghabiskan seluruh lembaran uang dalam genggaman
untuk bermacam kebutuhan sehari-hari kemudian langkah kakinya bergerak
lurus ke depan. Ia harus kembali ke silimo apa pun yang terjadi.
Hari
telah menjelang gelap ketika Liwa meloncati pintu silimo, badannya
berdebu dan basah oleh keringat. Ibarak telah terjaga, laki-laki itu
tengah duduk menyandarkan kepala ke dinding dengan lunglai, ia tak
banyak berkata-kata, matanya terus menatap Liwa dengan dendam, tapi Liwa
tak peduli. Ia melemparkan satu bungkus tembakau merek pohon sagu
kemudian pergi meninggalkan laki-laki itu. Ia tak ingin bicara, sebab
perselisihan dapat terjadi sewaktu-waktu dan ia sudah merasa lebih dari
sekedar lelah dengan semua ini.
***
Ibarak
menyandang busur dan anak panah di punggungnya kemudian berjalan dengan
langkah tegap menuju ke hutan, ia hendak pergi berburu. Sudah terlalu
lama ia tak pernah makan daging, sehari-hari hanya makan ubi dan sayur.
Hal ini sangat membosankan. Sambil melangkah pikiran Ibarak terus
bekerja, ia terlalu jenuh dan jengkel dengan segala pembangkangan yang
dilakukan Liwa, ia harus mencari jalan keluar bagi kejenuhan dan
kejengkelan itu. Ibarak teringat pada hari-hari pertama ketika mereka
disyahkan sebagai suami istri secara adat, hari-hari itu amatlah
menyenangkan. Bagaimana kalau ia dapat mengulanginya? Bukankah laki-laki
di kampung ini kebanyakan memiliki lebih darisatu istri dan tinggall
bersama-sama di dalam silimo? Menyadari akan hal ini kejengkelan Ibarak
terhadap pembangkangan Liwa sedikit terobati. Ia akan menikahi seorang
gadis —seorang gadis yang berlemak—membayarnya dengan babi kemudian
mempekerjakan sebagai istri. Dengan cara seperti ini Liwa pasti akan
menyadari, bahwa pembangkangannya tidak berarti apa-apa.
Ibarak
menghentikan lamunan ketika tiba-tiba ia melihat seekor ayam hutan
bertengger di atas dahan. Dengan hati-hati ia mencabut sebatang anak
panah, merentang busur, dan membidikkan sasaran. Sesaat kemudian anak
panah itu melesat, lurus. Ayam hutan itu pun terkulai di atas tanah
dengan sebatang anak panah menancap di dadanya. Ibarak bersorak
gembira. Sekali lagi ia membuktikan kemahirannya sebagai seorang
pemburu. Ibarak terus masuk ke dalam hutan dan menghamburkan anak panah,
sehingga ia bisa membawa pulang tiga ekor ayam hutan dan lima ekor
burung. Puas dengan hasil kerjanya laki-laki itu pun berjalan pulang
dengan langkah tegap, tiba-tiba ia merasa amat lapar dan segera ingin
menyantap hasil buruannya. Tapi langkah Ibarak mendadak terhenti, ia
mendengar suara orang bercakap-cakap, suara orang yang sangat
dikenalnya.
“Liwa, hendak kemana kamu?” itu suara Lopes.
“Aku
hendak pergi mencari kayu bakar”, itu suara Liwa. Ibarak segera
bersembunyi di balik sebatang pohon, ia ingin menyaksikan apa yang
kemudian terjadi.
“Kau pergi seorang diri?”
“Ya, dan hendak kemanakah kamu?”
“Aku henddak memanah burung”.
Dari
tempat persembunyian Ibarak dapat melihat, bahwa kedua orang itu tampak
berjalan bersisihan. Matanya menatap tajam tak berkedip. Ia sangat
berharap, bahwa akhirnya akan dapat menuntut denda babi dari perbuatan
yang akan terjadi kemudian.
“Dimanakah kayu bakar itu hendak kau dapat?”
“Di
depan sana”, Liwa memandang ke depan dan tiba-tiba ia mengaduh, karena
kakinya terantuk batu. Liwa terjerembab, Sali yang dikenakan tercerai
berai.
“Hati-hati Liwa”, Lopes membantu Liwa berdiri, tapi wanita
itu tampaknya enggan berjalan kembali, ia menepi, duduk pada sebatang
akar pohon sambil memegangi kakinya. “Kau teruslah berjalan Lopes, aku
hendak duduk di sini”.
“Kakimu sakit, mari kubantu mencari kayu”.
“Tidak Lopes, kau pergilah”.
Lopes
tidak segera pergi, ia duduk di dekat Liwa sambil terus mengamat-amati
wanita itu. Suasana hening telah membuat Lopes menjadi berani, ia mulai
membujuki Liwa, tapi wanita itu seolah tuli telinganya, dan tak
mendengar suara apa-apa. Ketika Lopes menggoda memegangi tangan Liwa
maka wanita itu menjadi marah. Dengan kasar Liwa menepis tangan Lopes,
kemudian ia berjalan terpincang-pincang, menuju arah yang berlawanan.
Tak ada sedikit pun keinginan di hati Liwa untuk menuruti kehendak
laki-laki itu, ia cukup tahu bahaya yang terjadi. Wanita itu memilih
jalan selamat, kembali ke silimo.
Di tempatnya duduk Lopes
menjadi masgul, ia tak berhasil membujuk seorang wanita yang telah lama
menarik hatinya. Tampak sekali kekecewaan membayang di wajahnya.
Sementara di bali pohon Ibarak melihat adegan itu dengan geram. Liwa
memang benar tak dapat diperalat. Berarti ia harus melakukan sesuatu
bagi kehidupannya, menikahi seorang wanita muda, supaya kejengkelan
terhadap Liwa dapat kiranya memperoleh jawaban. Ibarak segera
mempercepat langkah segera kembali ke silimo. Hari ini bakal ada makan
besar, semua orang wajib memujinya.
Dan malam hari suasana di
dalam dapur lebih ramai dari biasanya, Liwa menghidangkan menu istimewa,
ayam dan burung bakar. Anak-anak tampak gembira, mereka memakan daging
itu dengan rakus. Ibarak tak kalah gembira, ia mendapatkan bagian yang
lebih dari yang lain. Mamanya yang sudah tua berulang kali memuji,
wanita itu sungguh merasa bangga dengan anak laki-lakinya.
Kecuali
Ibarak dan Liwa semuanya segera kembali ke honai setelah perut terasa
sesak dan kantuk segera menyerang. Malam semakin larut, tiba saatnya
untuk berkemas tidur. “Aku hendak menikah lagi Liwa”, Ibarak membuka
pembicaraan.
“Dengan siapa?”
“Dengan anak gadis Lorina”.
“Kapan engkau hendak menikah?”
“Secepatnya”.
Liwa
terdiam, ia tak tahu dengan pasti bagaimana perasaan hatinya. Sudah
menjadi suatu hal yang lumrah, bahwa di kampung ini seorang suami dapat
memiliki lebih dari satu istri, dengan satu syarat, ia mampu membayarnya
dengan babi. Istri kedua, ketiga, dan selanjutnya akan meringankan
beban istri pertama, karena ia akan melakukan perkerjaan sehari-hari
yang sama. Beban hidup Liwa pasti akan berkurang, tetapi jauh di relung
hati ada suara yang tak dapat dibungkam, ia akan terjebak ke dalam
sebuah kehidupan yang ganjil dan tak mudah dimengerti. Tiba-tiba Liwa
merasa lelah dengan semua ini. Apa akhirnya yang dimiliki dalam
perkawinannya dengan Ibarak? Ia pernah memohon kepada di masa muda untuk
menikahinya, dan kini ia harus menebus semua permohonan itu. Liwa tak
lagi berkata-kata, ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakan.
Liwa
tak menyadari, bahwa ia kini hanya tinggal seorang diri di depan tungku
pada suatu malam yang dingin. Ada sesuatu yang membeku dan mengeras di
relung hatinya. Liwa tak sepenuhnya mengerti apa sebenarnya yang terjadi
pada dirinya, tapi ia tersadar, ia bukanlah apa-apa. Ia seolah debu
yang diterbangkan angin musim dan melayang entah kemana?
"Kemana?"
sementara Ibarak tengah sibuk dengan angan-angannya, ia akan segera menjelang kehidupan baru dengan seorang gadis yang disyahkan secara adat sebagai istri. Hari-hari yang membosankan dengan Liwa akan segera terobati. Di pelupuk matanya terbayang kembali wajah Jija, anak gadis Lorina. Gadis itu amatlah memikat dan amat muda. Tentu saja perkawinan itu harus dimulai terlebih dahulu dengan tawar menawar tentang berapa besar jumlah babi yang harus dibayar hingga berhari-hari lamanya sampai akhirnya diperoleh kesepakatan. Ibarak harus membayar Jija dengan dua puluh ekor babi.
sementara Ibarak tengah sibuk dengan angan-angannya, ia akan segera menjelang kehidupan baru dengan seorang gadis yang disyahkan secara adat sebagai istri. Hari-hari yang membosankan dengan Liwa akan segera terobati. Di pelupuk matanya terbayang kembali wajah Jija, anak gadis Lorina. Gadis itu amatlah memikat dan amat muda. Tentu saja perkawinan itu harus dimulai terlebih dahulu dengan tawar menawar tentang berapa besar jumlah babi yang harus dibayar hingga berhari-hari lamanya sampai akhirnya diperoleh kesepakatan. Ibarak harus membayar Jija dengan dua puluh ekor babi.
Perkawinan itu berlangsung dengan sederhana, babi-babi
Ibarak semakin berkurang, karena ia juga harus memotong untuk keperluan
pesta. Di atas rasa gembira dapat memperistri Jija, diam-diam Ibarak
mulai bersedih, ia kehilangan lebih dari separuh kekayaannya. Ibarak
memang menginginkan Jija, tetapi ia juga tak mau kehilangan babi. Untuk
sementara Ibarak memang dapat menghibur diri, karena dapat menikahi
seorang gadis. Ibarak tak peduli pada sikap diam Jija. Perempuan muda
itu tak banyak bicara, tidak pula memberikan perlawanan. Ia menjalani
kodrat yang terlalu rumit dan sulit untuk difahami, dan memutuskan untuk
diam. Demikianlah memang kehidupan di lembah ini.
Sejak
perkawinan itu Ibarak semakin jarang menginap di honai Liwa, hampir
setiap malam ia berada di honai Jija dan baru menyelinap keluar pada
keesokan harinya. Liwa melihat semua ini, tapi ia membuat dirinya tak
peduli. Iapun merasa muak dengan segala sikap dan penampakan muka
Ibarak. Ada sebuah keinginan untuk mengulang awal mula kehidupan dan
memperbaiki segala sesuatu yang salah, tapi semua ini adalah keinginan
yang mustahil. Pekerjaannya memang menjadi lebih ringan, karena ia tak
menyelesaikan seorang diri. Setelah malam-malam pengantin berlalu, Jija
pun harus melakukan pekerjaan rutin seperti Liwa. Mestinya Liwa harus
berterima kasih untuk perbuatan Jija, tetapi ia lebih sering memandang
perempuan itu dengan rasa benci. Liwa tidak tahu dari mana kebencian itu
berasal dan kemana pula akhir muara dari kebencian itu?
Kehidupan
di dalam silimo itu berlangsung seperti biasa tanpa adanya tindak
kekerasan, sampai akhirnya tiba malam yang mengerikan itu. Seperti
biasanya menjelang malam tiba Ibarak segera menyelinap ke dalam honai
Jija. Ia tak tahu dengan anak-anak dan kerabat laki-lakinya yang tidur
di dalam pilamo. Rasa mengantuk dan udara beku segera membawa seluruh
isi pilamo ke dalam tidur yang lelap. Semua tenggelam dalam mimpi dan
tak menyadari bahaya yang sedang terjadi.
Ketika malam sampai pada
saat yang paling hening, kabut tebal berarak turun bagai selimut absurd
yang melingkupi seisi lembah tanpa suara, tiba-tiba bunga api berpijar,
semakin lama semakin membesar dan akhirnya menjadi lidah api yang
berkobar pada sebuah pilamo. Sesaat kemudian mulai tercium daging hangus
dan terdengar jerit kematian. Seisi silimo terbangun, dengan tergesa
dan ketakutan mereka mencoba memadankan kobaran api, tetapi sia-sia. Si
jago merah telah mengamuk, menuntut korban dengan cara yang menakutkan.
Ibarak
terduduk dengan lesu menyaksikan pilamo itu hangus, rata dengan tanah,
sementara anak-anak dan kerabat laki-lakinya tak ada satu pun yang
selamat. Tubuh mereka telah menebarkan bau sangit, hitam, dan melepuh.
Ia akan mengalami hari berkabung yang amat panjang, karena kebakaran
ini, mereka pasti lupa memadamkan api. Lidah api dengan cepat terjulur,
menjilati dinding kayu dan ilalang, sehingga habislah riwayat mereka.
Laki-laki itu pun menangis melolong-lolong.
Liwa memandang kobaran
api dengan kalap, dalam mimpi yang paling buruk sekalipun ia tak pernah
melihat kejadian ini. Ia telah melahirkan kemudian membesarkan
anak-anaknya. Kini mereka mengakhiri hidup dengan sia-sia, hangus dalam
jilatan lidah api, karena kelalaian. Liwa ingin menyeruak ke dalam
kobaran api, tapi tangan-tangan kuat menahannya. Wanita itu terus
berteriak dan memberontak, tapi tangan-tangan itu terlalu kuat,
sedangkan tangannya adalah keputus asaan. Liwa sungguh merasa bahwa
hidupnya telah berakhir, ia seakan terbawa serta dalam suatu proses
kematian yang menyakitkan. Keinginan untuk bertahan hidup hanya tinggal
serbuk abu tak berbentuk. Panas api seakan menyeret Liwa ke dalam sebuah
terowongan dengan cahaya menyilaukan, mata wanita itu pun terpejam.
Terpejam. Sebuah godam menghentak dada Liwa berulang kali. Daya tahan
wanita itu sampai pada sebuah batas, ia pun terkulai. Di luar kesadaran
Liwa, api masih terus berkobar, ketika air mulai disiramkan dan lidah
api kian mengecil, maka tak ada harapan ada jiwa yang dapat
diselamatkan. Bau sangit daging hangus tercium dengan keras, selebihnya
adalah suara meraung, karena panic, putus asa, dan rasa takut.
Ketika
tersadar orang-orang sudah ramai berdatangan. Suasana duka segera
menyelimuti seisi kampung, sebuah kehilangan yang terlalu berat dan
memilukan. Liwa terbaring dengan linglung, ia mencoba mengingat-ingat
mimpi buruk yang amat menakutkan. Ketika kesadaran didapatkan kembali,
maka menagislah wanita itu. Liwa bergulung-gulung di atas lumpur bagi
duka cita ini. Ia kehilangan semua anak laki-laki yang tertidur di dalam
pilamo dan kerabat yang lain, yang tersisa adalah anak-anak perempuan
yang tertidur bersamanya di ebe ai. ‘Musibah apa lagi yang harus
kuhadapi?” demikian wanita itu bertanya-tanya dalam hati, hingga kering
sudah air mata.
Liwa terduduk bagai patung tanpa berkata-kata
ketika pemakaman dimulai dan berakhir dengan kesunyian yang menghentak
bagai tekanan maha berat. Setelah itu ia berdiam diri di honai
berhari-hari lamanya dengan mulut terkunci. Jija untuk sementara
mengambil alih seluruh tugas yang biasa dikerjakan Liwa. Ibarak lebih
mampu menguasai diri, ia kembali pergi ke hutan sambil membawa busur dan
anak panah kemudian pulang dengan hasil buruan. Ia mulai kesal melihat
Liwa yang terus menerus berdiam diri dan tidak segera menghapus lumpur
yang melumuri tubuhnya.
“Sudahlah Liwa, tak usah terus menerus engkau sesali kematian itu. Hapuslah lumpur diwajahmu”.
“Kau tak tahu bagaimana perasaan ibu yang kehilangan anak-anaknya”.
“Aku pun kehilangan anak-anak Liwa, bahkan kerabat laki-laki yang lain”.
“Mengapa mereka tak mematikan api terlebih dahulu?”
“Mereka
lalai, itulah sikap manusia, udara terlalu dingin, kita tak punya
selimut, hanya bisa mengandalkan api untuk melawan dingin. Maka
kebakaran itu terjadi. Air matamu tak akan membuat yang sudah mati
menjadi hidup kembali. Sudah saatnya kembali bekerja, kau tidak bisa
terus menerus membebankan seluruh pekerjaan kepada Jija”.
Liwa
masih berdiam diri, tak menanggapi kata-kata Ibarak, meskipun ia
menyadari kebenarannya. Wanita itu tetap membisu, memandang Ibarak
dengan tatapan membeku. Ibarak pun mengerti, sia-siaa membujuk Liwa. Ia
pun pergi, membiarkan Liwa tenggelam dalam suasana berkabung. Wanita itu
memang keras kepala, Ibarak sadar betul akan tabiat Liwa.
Satu
minggu kemudian Liwa sudah tampak pergi ke kebun, mulai bekerja seperti
sediakala. Meski pun wanita itu tampak sedemikian lunglai dengan rambut
yang sudah mulai memutih sebelum waktunya, geraknya lamban, tatapn
matanya dingin dan suram. Ibarak cukup senang melihat Liwa sudah mulai
melepaskan suasana berkabung, meski sebenarnya ia merasa terlalu dini
sekedar untuk merasa senang. Di dalam hati Liwa menganga luka amat dalam
yang tak akan dapat disembuhkan. Wanita itu merasa demikian getir,
hidupnya kehilangan arti, karena peristiwa kebakaran itu.
Ibarak
lebih mampu menguasai diri, ia melewati hari-hari dengan wajar, sampai
akhirnya ia menyadari, bahwa babi-babinya semakin banyak berkurang, ia
tidak sekaya dulu lagi. Sementara anak perempuannya masih bocah, belum
saatnya menerima lamaran dengan pembayaran babi-babi. Laki-laki itu
mulai memutar pikiran, dan gagasan gila kembali muncul.
“Liwa
engkau harus makan yang banyak, masa berkabung sudah lewat”, suatu hari
Ibarak mengunjungi Liwa di dalam ebe ai dan mulai membuka pembicaraan.
“Aku tak enak badan Ibarak”.
“Kau tak boleh begitu, makanlah yang banyak supaya tubuhmu kembali berlemak”.
Liwa tak menanggapi kata-kata Ibarak, ia menjauhkan ubi yang ditawarkan kepadanya. “Nanti juga aku makan sendiri”.
“Liwa,
kau tahu bukan? Babi-babiku banyak berkurang?” Ibarak mengalihkan
pembicaraan. Liwa mengerutkan keningnya, ia tak tahu kemana arah
pembicaraan suaminya.
“Kalau kurang kenapa Ibarak?”
“Aku ingin mendapatkannya kembali”.
“Nanti, babi-babi itu akan beranak pinak”.
“Aku tak sabar Liwa”.
“Terus apa maumu?”
Suasana
di dalam honai tiba-tiba menjadi hening, Liwa bisa mendengar hembusan
napas Ibarak yang berat dan ia merasakan kerisauan. “Kau pasti masih
teringat akan Lopes?”
Suasana di dalam honai itu tiba-tiba menjadi
hening, Liwa bisa mendengar hembusan napas Ibarak yang berat dan ia
merasakan kerisauan, ”Kau pasti masih teringat akan Lopes?”
Seketika
Liwa membelalakkan mata, ia mengerti –mengerti—bahwa hidupnya kini
benar-benar sudah tak ada arti. Tak ada lagi yang tersisa untuk
mempertahankan, segalanya telah berkeping-keping tanpa bentuk. Hati
wanita itu pun mengeras, ia harus memukul Ibarak dengan kata-kata telak,
akibat apa pun yang dipikul selalu lebih baik. Liwa tidaklah terlalu
tolol sekedar untuk memahami kemana arah pembicaraan Ibarak. “Tentu aku
masih teringat, seorang laki-laki yang tertarik akan diriku. Aku tahu
kemana arah pembicaraanmu Ibarak, tapi sebelum engkau lanjutkan, harus
engkau ketahui, bahwa aku tak takut dengan ancamanmu, kalaulah aku mesti
melawan kehendakmu. Aku menyesal pernah memohonmu untuk melamarku
dengan babi-babi kala kita masih muda. Ternyata pemberian babi itu harus
kutebus dengan dengan penderitaan seumur hidup. Babi-babi selalu
menjadi alasan bagimu untuk memperdayakanku. Kalau anak-anakku masih
seluruhnya hidup, aku akan bertahan bagi penderitaan itu, karena mereka
adalah kekuatan mutlak bagiku. Tapi mereka sudah menjadi abu, aku tak
punya alasan untuk merasa takut dengan ancaman, bahwa kau akan
membunuhku, sebab aku sudah mati berulang kali sebelum jenazahku
diperabukan. Lebih baik biarkan aku sendiri, sekali ini masa berkabung
bagiku tak akan pernah berakhir. Tak akan, jadi jangan coba-coba
memperdayakanku. Lebih baik kau membunuhku dari pada tetap hidup, tapi
kau terus memperdayakanku.”
“Liwa mengertilah ….” Ibarak bermaksud
meneruskan kata-kata, tetapi lidahnya seketika menjadi kelu. Ia merasa
keheningan yang tak lazim di dalam honai tempatnya tinggal. Darahnya
tersirap ketika pandangannya bertatapan dengan Liwa, tiba-tiba ia merasa
asing dan ketakutan dengan wanita yang menjadi istrinya. Garis wajah
itu mengeras dengan sorot mata yang padam, ketakutan agaknya telah
melampaui ambang batas, sehingga wanita itu tak dapat lagi merasa apa
yang disebut dengan takut. Atau sebenarnya Ibarak tengah berhadapan
dengan seorang wanita yang berputus asa dan bertahan dengan sisa
kekuatan yang masih dimiliki, keinginan untuk melawan tipu daya.
“Lebih baik tinggalkan aku sendiri, percuma engkau membujukku”.
“Liwa ….”
Liwa
segera membuang pandang, memanggil-manggil anak laki-laki yang telah
menjadi abu sambil memejamkan mata. Ia juga menyebut nama roh nenek
moyang dan menyatakan penyesalan atas semua yang terjadi pada dirinya.
Suara itu demikian menyayat dan memilukan. Ibarak tahu, bahwa dalam
keadaan seperti ini ia dilarang untuk meneruskan pembicaraan, ada
saatnya orang ingin berbicara dengan dirinya sendiri atau dengan nenek
moyang. Sementara ratapan Liwa yang melolong berkepanjangan telah
menyodok kalbu Ibarak dan membawanya pada sebuah pengertian. Benar, ia
telah berbuat semena-mena terhadap wanita ini, karena babi-babi yang
telah dibayarkan. Ia menuntut pula suatu tipu daya, bahkan ketika Liwa
belum mampu menguasai duka hati, karena kematian anak-anaknya. Tanpa
terasa bulu kuduk Ibarak berdiri. Ia ingin menggapai Liwa dengan suatu
alasan yang tak dapat dimengerti, tapi tangannya mendadak kaku dan
gemetar. Wanita itu tiba-tiba berubah menjadi sosok yang menakutkan.
Untuk sekali dalam hidup Ibarak kehilangan kuasa atas diri Liwa.
Ternyata ia bukan apa-apa, karena makhluk lemah seperti Liwa masih cukup
mampu melawan kehendaknya. Perlahan-lahan Ibarak undur diri, ia
meninggalkan honai dengan gerakan hati-hati dan berlalu dengan kepala
menunduk. Ada perasaan aneh dan mengancam yang tak bisa dikendalikan dan
tak dapat pula diterjemahkan.
Di pihak lain Liwa masih terus
meratap dan melolong, ia memuntahkan seluruh kebencian dan kekecewaan
hati. Ratapan semacam itu biasa terdengar pada masa berkabung di kampung
ini, tapi ratapan kali ini menyebabkan setiap orang yang mendengar
tercenung dan bergetar. Sebuah pertanda buruk, karena Liwa masih terus
melolong setelah musibah itu lama sudah berlalu.
Sementara Liwa
seakan telah terkubur ke dalam gelap yang sempurna. Ia berharap bahwa
kedatangan Ibarak adalah untuk menghiburnya semata-mata, tapi dugaannya
keliru. Ibarak masih tega memperdayakannya setelah nestapa yang teramat
dalam. liwa mengerti sudah, bahwa ia tak akan pernah memiliki apa pun
sebagai sisa untuk mempertahankan hidup. Kematian mengerikan pada malam
kebakaran itu telah menggoyahkan sebagian kesadaran Liwa. Dulu, ia harus
bekerja keras di kebun bagi anak-anaknya. Kini, mereka telah tiada.
Ibarak telah bersibuk diri dengan Jija. Dalam sekejab ia telah menjadi
perempuan tua dengan suami yang gagah perkasa. Liwa merasa dirinya telah
menjadi abu. Seandainya Ibarak tak pernah menyebut-nyebut nama Lopes.
Mungkin Liwa akan berkeputusan lain. Tapi Ibarak telah meluluhkan daya
tersisa.
Ketika lolongan Liwa terhenti, malam telah jatuh. Liwa
sudah tak sadar pada perubahan antara gelap dan terang. Jiwanya terasa
hampa, ia merasa sepertid daun kering yang terlepas dari ranting dan
segera melayang dalam pusaran angin beliung. Liwa mengerti, ia harus
mengakhiri penderitaan ini dengan sebuah cara, dan itu adalah
satu-satunya.
Pagi hari sebelum isi silimo terjaga Liwa telah
terbangun, ia menatap anak perempuannya berlam-lama dengan rasa iba.
Liwa teringat, bahwa ia menjadi dewasa tanpa campur tangan seorang ibu,
karena Aburah meninggal saat ia masih bocah. Jadi, tak ada yang perlu
dicemaskan akan nasib anaknya. Bukankah masih ada Jija? Liwa pun
bergegas meninggalkan silimo, ia seakan tak peduli pada udara pagi yang
teramat dingin menggigit pori-pori, sebagian dari perasan Liwa seakan
telah menghilang.
***
Gayatri
terpana ketika melihat Liwa tiba-tiba telah menampakkan diri di depan
pintu. Tidak seperti biasa, ia datang dengan wajah diliputi mendung.
Senyum dan keramahannya menghilang. Ketika saling bertatapan, Gayatri
merasakan sesuatu hal yang aneh, hatinya teriris. Pandangan mata Liwa
demikian pudar dan putus asa. Liwa tak segera bersuara, ia mengembangkan
tangan, merendahkan badan, dan memeluk Kelila yang telah tumbuh sebagai
seorang bocah. Lama wanita itu memeluk bocah kecil yang belum mampu
menyadari siapa sebenarnya ibunya. Kemudian ia menatap bocah itu
dalam-dalam, dan tak lama kemudian air matanya mulai berlinang. Air mata
itu belum kering ketika Liwa menyerahkan kembali Kelila ke tangan
gayatri. “Saya sudah serahkan Kelila kepada dokter dan saya akan
merelakan selamanya. Mestinya saya harus mengunjungi setiap waktu, tapi
esok tidak lagi. Saya harus pergi”, suara Liwa terdengar lirih sekali.
“Mama mau pergi kemana?” Gayatri bertanya, tiba-tiba ia dicekam rasa takut.
“Saya
datang untuk berterima kasih kepada dokter untuk semua kebaikan ini.
Jangan dokter bertanya dan jangan pula mencari”, sekali lagi Liwa
memeluk Kelila, menatapnya dengan segala rasa kasih, isaknya tertahan
ketika ia membalikkan badan dan pergi berlalu tanpa pernah menoleh lagi.
Gayatri berdiri terpaku, tiba-tiba ia menjadi amat tolol untuk memahami arti
kedatangan itu. Liwa bukanlah sosok asing bagi dirinya, ia bahkan telah
membesarkan anaknya dan menerima kunjungannya dalam tahun-tahun terakhir
ini. Kini, tiba-tiba wanita itu telah berubah menjadi sosok asing yang
mencemaskan. “Liwa!” Gayatri terlonjak dari lamunannya, ia segera
berlari ke jalan mencari-cari Liwa, tapi bayangan wanita itu kini tak
ada.
Tiga hari berikutnya ketika tengah bersiap-siap ke kantor
Gayatri kembali kedatangan seorang tamu. Ia seorang laki-laki tinggi
tegap dengan kulit legam, dan koteka mencuat ke angkasa sebagai
satu-satunya pakaian yang dikenakan. “Saya Ibarak, suami Liwa. Adakah
Liwa pernah datang atau bersembunyi di sini?” tamu itu bertanya.
Gayatri
mengerutkan keningnya, ia telah begitu mengenal Liwa, tapi baru pada
hari ini ia bertemu dengan suaminya. “Bersembunyi? Apa yang terjadi?”
“Liwa
tidak pulang, saya sudah mencari ke sana ke mari, ke kebun dan ke
pasar. Ia tak ada. Saya tak tahu lagi kemana harus pergi, ia tak pernah
menghilang seperti ini. Tolong beri tahu saya, dimana Liwa berada?”
“Kemarin
dulu memang Liwa pernah datang kemari, hanya sebentar, kemudian
berpamit pergi. Saya tidak tahu ia ada dimana?” Gayatri menatap Ibarak
berlama-lama. Ibarak membuang pandang. Ketika ia menyadari, bahwa orang
yang dicarinya benar tak ada, ia pun berpamit pulang.
Ketika
bayangan laki-laki itu berkelebat pergi dan menghilang dari batas
pandang Gayatri segera dicekam kepanikan. Ia teringat pada kata-kata
terakhir Liwa, “Mestinya saya harus mengunjungi setiap waktu, tapi saya harus pergi ….”
“Jangan dokter bertanya dan jangan pula mencari”.
Apa
yang mau dilakukan wanita itu? Pikiran Gayatri seketika berputar-putar,
dalam pandangan matanya terbayang wajah Liwa yang diliputi mendung
hitam. Penggalan demi penggalan cerita wanita itu sampai pada suatu
kesimpulan, bahwa ia merasa putus asa dengan segala kekerasan hidup yang
harus dihadapi. Gayatri termangu-mangu, pikirannya terus bekerja, ia
teringat pada situasi pertama ketika Bupati mengundang datang ke
rumahnya bersama Hera. Kata-kata Bupati seakan terngiang kembali,“ di
Fugima, ada sebuah sungai yang amat dalam, wanita yang sudah tidak
mampu menanggung beban hidup akan datang ke tempat itu, meninggalkan
Sali pada bebatuan, memberati tubuhnya dengan batu kemudian menceburkan
diri ke dalam sungai”, sebuah bunuh diri yang penuh rahasia dan menyakitkan.
Kepanikan
gayatri segera sampai pada puncaknya, ia merasa jantungnya berdegup
lebih cepat dan napasnya memburu. Kaki dokter itu gemertar ketika
melangkah, ia tahu kemana harus mencari jejak Liwa. Gayatri tak
berkata-kata lagi, ia mengkonsentrasikan diri pada sebuah tujuan,
Fugima. Gayatri mengendarai ambulance, menyusuri ruas jalan, pandangan
matanya seakan mengabur. Ada satu keinginan dalam diri gadis itu untuk
menyangkal suara hati, tapi segalanya telah terjadi.
***
Gayatri terpaku dalam udara Lembah Baliem yang membeku. Matanya menutup
lurus ke depan dengan pandangan hampa. Ia tengah menyaksikan tragedy
kehidupan, akhir dari sebuah peristiwa ketika seorang wanita terjebak ke
dalam mata rantai persoalan, kalah dan berputus asa. Gayatri tak tahu
dengan pasti, berapa lama ia berdiri di tepi jurang dengan air sungai
yang sangat dalam. Di atas bebatuan tersangkut Sali —pakaian adat
terakhir yang dikenakan Liwa—melambai-lambai dihembus angin. Gayatri
merasa jarum jam tak lagi bergerak, waktu pun berhenti. Sali itu
mengatakan semuanya, ia tak memerlukan lagi jawaban, dan tak perlu lagi
bertanya-tanya. Segalanya telah selesai. Tapi, adakah kenangan terhadap
wanita yang dikasihinya itu berakhir?
Dokter muda itu berlutut,
meraih Sali, mendekap ke dada, bahunya terguncang. Ia seakan tengah
menembus lorong waktu, kembali ke masa lampau, pada suatu masa yang
sangat jauh, jauh sekali. Masa ketika Liwa mulai bersinggungan dengan
penderitaan hidup yang tak mengenal batas. Kecuali ia berkeputusan
mengakhirinya dengan kematian. Wanita itu memilih kematian dengan cara
yang menyakitkan untuk melepaskan seluruh penderitaan. Gayatri menyesal,
mengapa ia kurang peka terhadap keluh kesah dan sikap terakhir
kedatangan Liwa, kalau saja ia dapat memberi pandangan dan mencegah
keputusan Liwa untuk mati. Berapa lama ia mengenal Liwa? Ternyata ia tak
mampu benar-benar memahami sisi kehidupan wanita itu, ia terlambat.
Gayatri
masih terisak-isak ketika ia merasa sebuah tangan kekar menyentuh
bahunya, membantunya berdiri, kemudian ada sepasang mata yang menatapnya
dengan penuh cinta. “Aku bermaksud mengunjungimu, tapi kulihat engkau
meninggalkan rumah dengan wajah cemas, maka aku mengikutimu. Apa yang
terjadi?” Herlambang masih memandang Gayatri, ia tahu apa arti air mata,
dan ia tahu bahwa air mata itu pasti belum akan berhenti. Ada persoalan
yang akan mengalirkannya kembali. Herlambang merasa dirinya menjadi
amat rapuh, tapi ia adalah seorang prajurit. Seorang yang ditempa dengan
pribadi kuat dan tak perlu menjadi goyah, terlebih oleh hal-hal yang
bersifat sentimental. Ia telah terbiasa dengan situasi perang, menatap
dengan kepala dingin, musuh yang meregang nyawa sebelum kematian tiba,
karena, malaikat maut datang menjemput. Ia selalu menjawab “Siap!” untuk
setiap perintah, meski hal itu berarti nyawanya berada di ujung tanduk.
Tapi, menghancurkan hati seorang Gayatri dan membiarkannya
terisak-isak? Herlambang kini menyadari, bahwa pendidikan militer tak
cukup untuk menghadapi seorang wanita. Ia tetap sebagai pribadi yang
rapuh, dan tak ada cerita lain kecuali mengatakannya.
“Apa yang
terjadi?” Herlambang teringat pada saat pertama ketika ia mengenal gadis
ini dalam perjalanan ke Wamena kemudian pada kunjungan-kunjungan
berikutnya. Ia tak salah memilih, meski kesepakataan untuk hidup bersama
tak pernah ada. Hati dan bahasa tubuh mereka sudah lebih dari sekedar
bicara. Selebihnya adalah kesibukan tugas dan waktu yang harus diatur
bagi setiap pertemuan.
Gayatri tak menjawab, ia menyerahkan Sali
kepada Herlambang kemudian kembali terisak-isak. Ia merasa ada tiang
bersandar dalam keadaan kalut ketika Herlambang tiba-tiba menyentuh
pundaknya. Herlambang datang pada saat yang tepat.
“Apa maksudnya?” Herlambang menatap Sali dengan segala tanda tanya.
“Liwa mati di dasar sungai”, jawab Gayatri lirih, suaranya terpatah-patah.
“Mati di dasar sungai?”
“Ia
bunuh diri, tidakkah engkau pernah dengar kasus semacam ini di tempat
ini. Liwa merasa putus asa dengan hidupnya dan ia memilih untuk mati”.
“Bagaimana kau tahu?”
“Ia
berpamit pada hari lalu, Sali ini merupakan pesan bagi keluarga yang
ditinggalkan. Ia telah mati, ia telah mati”, air mata itu kembali
berlinang. Herlambang membiarkan Gayatri menumpahkan kesedihan sampai
tangis itu mereda. Kini mereka duduk di atas batu, memandang lepas
bukit-bukit hijau dan menjadi samar diliputi kabut.
Gayatri telah
dapat menguasai diri, ia pernah berjuang bagi kehidupan Liwa, tapi ia
hanya mampu memperpanjang kehidupan itu dalam beberapa tahun, kemudian
wanita itu menjemput kematiannya sendiri. Seandainya Herlambang tak
segera menyusul, ia pasti akan menangis seorang diri. Gayatri menatap
Herlambang dan ia pun terkesima, ia baru menyadari betapa pucat wajah
itu. Sepasang mata Herlambang memandang ke depan dengan galau, seakan
permukaan laut dikacau badai berkepanjangan.
“Her ….”, Gayatri
menjadi cemas, ia menangkap isyarat menakutkan dalam pandangan itu dan
kecemasannya memang terbukti. Gayatri mendengar helaan napas berat,
bahasa tubuh yang gelisah, dan akhirnya serangkaian kata.
“Gay,
sebelumnya maafkan aku. Seandainya keluarga ada bersamamu, pasti aku
sudah datang melamarmu. Tapi kita sama tahu, betapa sulit situasi yang
kita hadapi, terlebih pada saat sekarang ini. Kerusuhan terjadi
dimana-mana, terlebih di tempat kita bertugas. Pesanku, kalau merasa
tidak aman, untuk sementara waktu tinggalkan tempat ini. Aku tak
membuatmu takut, tapi kebencian antar etnis, karena kesenjangan social
dapat mengubah lembah ini menjadi genangan darah. Kalau saja tanganku
masih dapat menjagamu ….”
“Apa yang terjadi dengan kedua
tanganmu?” Gayatri menjadi bingung, ia harus menunggu beberapa saat
dalam suasana hampa sebelum Herlambang akhirnya berbicara.
“Harus
kutegaskan, bahwa aku adalah seoran prajurit, seorang yang disumpah
untuk membela Negara, terlebih dalam situasi perang. Kau pasti tahu
suasana Negara ini setelah reformasi. Provinsi-provinsi menuntut
merdeka, yang terparah adalah Aceh. Setelah Timor-Timur terlepas tak aka
nada provinsi yang dibiarkan memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tak akan. Aku harus ada di garis depan, tentu saja
dengan sebuah resiko untuk hidup atau untuk mati. Aku tak pernah dapat
menolak surat perintah, memang pada prinsipnya seorang prajurit
dipersiapkan untuk hal-hal semacam itu”, Herlambang sudah mengatur
intonasi suara sedemikian rupa, sehingga Gayatri terkondisi dengan arah
pembicaraan, tapi gadis itu masih dalam suasana limbung dengan Sali
dalam pangkuan. “Seharusnya bukan di tempat ini dan bukan dalam situasi
seperti ini aku berpamit. Tapi aku tak punya lagi waktu, aku tak punya
pilihan, dan tak mungkin pula aku membawamu serta, kecuali aku pergi
bukan untuk berperang”.
“Kau akan berpamit kemana?” Gayatri merasa
deburan ombak mengamuk di dada, ia menatap Herlambang tak percaya dan
tiba-tiba ia merasa udara lembah bertiup lebih dingin dari biasa
membekukan pori-pori.
“Aku ditugaskan ke Aceh, tidak ada kata
tidak. Aku harus mengejarmu ke tempat ini, bila tidak maka tak ada lagi
waktu untuk berpamit. Kalau esok aku tak menemuimu, maka Hercules sudah
membawaku. Jangan merasa takut, ingat, satu-satunya cara mengatasi takut
adalah melampaui ketakutan itu sendiri”, wajah Herlambang sekeras batu
granit, ia telah berhasil mengucapkan kata-kata yang sulit, tentu saja
tanpa isak tangis dan setetes pun air mata, meski reaksi Gayatri telah
mengacaukan semua ketenangannya.
Herlambang menatap wajah pucat
itu dalam jarak yang sedemikian dekat. Sepasang mata Gayatri terbelalak,
cahaya hidupnya padam seketika. Ia merasa tubuh gadis itu menggigil,
pipinya kembali digenangi air mata, dan buku-buku jarinya membeku.
Herlambang tak tahu benar pikiran yang berkecamuk di dalam pikiran
Gayatri, ia tak mengerti betapa Gayatri terjerembab pada rasa sakit yang
sama. Gadis itu pernah kehilangan seseorang, tepat pada sebuah rencana
perkawinan. Kini, ia harus kembali kehilangan ketika tengah merencanakan
hal yang sama.
Gayatri terdiam seperti patung hidup, ia merasa
sendiri di tengah kesunyian alam, ada sesuatu yang mengeras dalam
dirinya. Sesuatu yang tak dapat lagi membuatnya merasa sedih, karena
kesedihan itu sudah melampaui ambang batas dan ia tak dapat merasakan
apa-apa lagi, juga kesakitan yang pernah menekan. Tak sepatah kata pun
terucap dari mulut dokter itu, ia melupakan situasi di sekitarnya.
Gayatri bahkan tak dapat mengingat lagi, bagaimana ia bisa kembali ke
rumahnya.
***
Keesokan harinya ketika seisi lembah terjaga
oleh gemuruh suara Hercules yang memekakkan gendang telinga, Gayatri
terduduk dengan wajah beku di depan jendela. Perang telah merampas sosok
yang dicintai dan memberikan kekuatan. Aneh, Gayatri tak merasa matanya
menjadi basah, karena suara gemuruh itu. Ada begitu banyak persoalan
melilit dan menggumpal menjadi satu. Tugas Pegawai Tidak Tetap sudah
hamper selesai, ia sangat terkesan dengan kehidupan di lembah ini, tapi
bagaimana ia dapat meneruskan sementara kerusuhan demi kerusuhan dengan
bermacam isyu terus terjadi, dan situasi sehari-hari seakan tak
bersahabat lagi. Sementara Herlambang, tempatnya bersandar hanya tinggal
kenangan. Gayatri harus mengambil keputusan.
“Mama”, tiba-tiba
suara halus terdengar memecah sunyi. Gayatri terjaga dari lamunan, ia
merasa sepasang tangan mungil memeluknya. Gayatri memandang Sali yang ia
lipat di atas bantal, dokter itu pun mengeraskan hati. ‘Sekarang bukan
lagi saatnya menangis’.
Gayatri menggendong Kelila, ia sungguh
mengasihi bocah ini. Ia tak berhasil menyelematkan Liwa, ibunya. Tapi
nasib anak wanita ini ada di tangannya, dan ia telah bersiap melakukan
segalanya. Sementara suasana di rumah ini menjadi lebih diam. Hera telah
pergi lebih dahulu setelah masa kerja Pegawai Tidak tetap berakhir, ia
tak yakin dengan situasi aman di l embah ini. Bibi tiba-tiba menjadi
tua, sakit-sakitan dan jarang bicara. Gayatri hanya memiliki Kelila.
Bocah kecil yang tak tahu apa-apa tentang reformasi.
Untuk
mengobati kerinduan akan Herlambang, Gayatri menunggu. Pada minggu
pertama setelah keberangkatan, Herlambang masih menelepon, hanya
beberapa saat. Nyata sekalai bahwa ia amat tergesa-gesa. Tapihal itu
masih lebih baik, karena ia masih dapat memberikan kabar. Gayatri masih
tetap menunggu, seminggu, dua minggu, kemudian minggu berubah menjadi
bulan. Gadis itu menjadi lebih sering terdiam dengan pikiran gamang.
Suatu hari ketika pulang dari klinik dokter itu menerima sepucuk surat,
hatinya seketika bersorak.
Sampul surat amatlah kusut, tapi yang
lebih kusut adalah surat yang terlipat di dalamnya beserta huruf demi
huruf yang tertulis. Herlambang telah menyempatkan diri menulis dalam
situasi ‘perang’ yang amat genting, meski demikian kalimatnya masih
dapat dibaca.
Gay,
Kalau kau membaca surat ini,
maka aku tak yakin, apakah aku masih berhak merencanakan kehidupan dan
berhak akan hari esok bersamamu setelah tugas berakhir, atau aku harus
meneruskan kehidupan di tempat lain, pada sebuah alam yang tak dapat
dikunjungi. Satu hal yang tak dapat berubah dari dua kemungkinan itu
adalah, bahwa aku selalu membawa namamu dalam hatiku, kemana pun pergi.
Situasi di sini lebih mengerikan dari yang pernah kubayangkan. Suatu
keajaiban, bahwa aku masih dapat menulis surat dan keajaiban pula bila
engkau dapat membacanya.
Ingat pesanku, apabila engkau
merasa taka man pada posisi sekarang, berkemaslah. Seorang akan lebih
menghargai kehidupan setelah kematian mendekat. Aku tak berhak menyesali
jalan hidup yang kutempuh, karena pernah berkeputusan memilihnya.
Keputusan yang menyebabkan aku dapat pula mengenalmu. Aku tak pandai
menyusun kata-kata, tapi engkau menjadi kekuatan, terlebih pada situasi
seperti ini.
Secepatnya balaslah suratku.
Herlambang
Gayatri
membaca surat itu berulang kali sampai ia menghapal setiap kata yang
tertulis di dalamnya. Kemudian ia menyimpan surat itu pada sampul buku
agenda. Gayatri bermaksud menulis surat balasan. Tapi hati kecil
melarangnya, ia menangkap suatu isyarat, bahwa harapan akan Herlambang
semakin tipis dan sepertinya tak ada. Meski demikian Gayatri masih
melakukan suatu hal yang mustahil, yaitu menunggu.
Sore itu,
ketika matahari menghilang di balik mendung tebal, gerimis turun dalam
rinai kecil, dan sesisi lembah serasa menggigil, penantian Gayatri
sampai pada hari yang terakhir. Serombongan tamu datang dalam seragam
dinas dan sikap yang resmi. Gayatri mempersilakan duduk, ia seakan telah
menduga apa yang terjadi dan bersikap sebagai nona rumah yang baik.
Mulutnya seakan terkunci ketika ia menerima seperangkat pakaian dinas
Herlambang, lengkap dengan topi. Gayatri sadar ia tak perlu lagi
menunggu, lidahnya terasa getir.
Tak setetes pun air mata
mengalir, tidak juga tangis dan sedu sedan, sehingga tamu yang
berkepentingan menyampaikan kabar tak mengalami hal-hal yang merepotkan.
Kunjungan itu berlalu cepat, singkat, dan sederhana. Gayatri melepas
rombongan tamu itu pergi, sikapnya masih elegan.
Kemudian suasana
rumah menjadi diam, Kelila tertidur lelap bersama Bibi. Gayatri mendekap
erat seragam itu ke dalam kamar, ia sudah cukup berjuang menutupi
kerapuhan di depan orang-orang tak dikenal. Kini,ia sendiri di sudut
kamar yang dingin dan tanapa suara, ia tak perlu lagi berjuang menutupi
kerapuhan, tak ada lagi yang dapat menyaksikan kehancurannya, kecuali
dirinya sendiri. Ia pernah kehilangan seseorang, karena kecurangan.
Sekarang ia harus kembali kehilangan, perang telah merampas Herlambang,
memisahkan dalam jarak, waktu, dan keabadian. Herlambang gugur dengan
butir-butir peluru menembus kulitnya. Darah segar mengucur, sukmanya
melayang, terbang menuju langit penghabisan. Akhirnya Gayatri tersungkur
di tempat tidur, menangis dan meratap.
Tak seorang pun tahu.
***
P E N U T U P
Gayatri
mengencangkan sabuk pengaman, peswat Merpati jenis Fokker 27 telah siap
lepas landas. Di sampingnya Kelila duduk dengan manis. Kali ini adalah
penerbangannya yang pertama. Setelah mempertimbangkan berhari-hari,
akhirnya Gayatri memutuskan untuk kembali ke Yogya. Situasi kian
memanas, dokter itu teringat pada pesan terakhir Herlambang dan
menyadari kebenarannya. Sementara masa kerja Pegawai Tidak Tetap telah
berakhir, telah cukup syarat untuk membangun karir di kemudian hari.
Tentu,
ia tak meninggalkan Wamena seorang diri, karena Kelila telah menjadi
tanggung jawabnya. Ia akan membawa bocah ini menuju peradaban, pada
sebuah kehidupan yang dapat memberinya segala hak dan membebaskan
dirinya dari segala macam bentuk penindasan. Ia harus melakukan sesuatu
untuk merubah jalan hidup Kelila, sehingga bocah itu tak akan diperdaya
dan akan menjadi seorang manusia yang merdeka.
Beberapa detik
kemudian mesin pesawat mulai bekerja dengan dengung yang semakin
meninggi, akhirnya burung besi itu mulai bergerak laju menyusuri
landasan pacu. Ketika pesawat mulai mengudara dengan moncong menjulang
ke angkasa, Gayatri seakan telah pula meninggalkan seluruh kenangannya.
Dari jendela pesawat gadis itu dapat melihat seisi kota, kehidupan yang
pernah memberinya kesan dan terlalu sulit dihapus dari ingatan. Kemudian
pesawat terus bergerak menuju batas langit yang maya, kabut putih
bergerak bagai selendang sifon yang bergerak kacau, karena hembusan dan
arah angin. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulut Gayatri, terlalu
banyak yang terjadi dan harus direnungkan kembali. Setelah serangkaian
tugas, kerusuhan, ketakutan, dan kematian, masihkah adakah hal-hal yang
dapat menyakiti hatinya? Ia masih terlalu muda ketika mendatangi lembah
ini. Sekarang ia adalah seorang wanita dewasa dengan Kelila di
sampingnya.
Gayatri menggenggam telapak tangan Kelila seolah
seorang ibu yang tengah memberikan kekuatan pada anaknya. Di luar,
matahari bersinar dalam cahaya emas yang menyilaukan, langit tetap biru
tanpa batas. Dan pesawat terus meraung.
Selesai
Agats, 6 Juni 2005
*Sebuah catatan dari perjalanan ke Wamena.
0 Komentar