Oleh; Cypri JP Dale
Tulisan ini merupakan bab Metodologis untuk Buku Papua
Bercerita (2015). Dibagikan di sini untuk mendorong diskusi tentang
metodologi penelitian naratif. Selamat membaca!
1. Lahirnya “Papua Bercerita”
Buku Papua Bercerita (Papua Nyawene) yang kini hadir di hadapan
Pembaca ini lahir dari sebuah proses yang panjang dan unik. Sejak
beberapa tahun lalu kami mencari metode penelitian yang tepat untuk
mengungkap dengan cara yang otentik pengalaman dan pandangan masyarakat
Papua di tingkat komunitas terkait dengan sejarah masa lalu, pergumulan
masa kini, dan aspirasi masa depan dari perspektif dan kepentingan
mereka sendiri. Kebutuhan akan pengungkapan pengalaman dan pandangan
(perspektif) otentik komunitas masyarakat umum non-elit Papua seperti
itu menjadi semakin mendesak sekarang ini, terutama ketika semua pihak
mengharapkan solusi segera, konkret dan berdampak jangka panjang dari
berbagai persoalan yang ada. Berkaitan dengan itu, berbagai elemen
masyarakat Papua sudah sedang berjuang dalam berbagai bentuk gerakan
emansipasi untuk menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri
(self-determinasi), dan menghendaki dialog damai dengan semua pihak
dalam rangka mencapai tujuan itu.
Dalam kerangka itu semua penting sekali mendengarkan pendapat dan
memahami perspektif dan aspirasi masyarakat Papua sendiri. Mengingat,
pada saat ini, pemahaman umum tentang Papua masih bertumpu pada
perspektif para ahli, perspektif elit, dan bahkan perspektif pemerintah,
dengan keterbatasannya masing-masing.
Metode yang kami temukan dan yang akhirnya kami pakai dalam buku ini
adalah dengan mendengarkan dan menghimpun, serta kemudian mengungkapkan
cerita-cerita, pandangan, dan pendapat masyarakat sendiri. Lewat
cerita-cerita itu orang dapat mendengar, merasakan, memahami pengalaman,
pergumulan dan aspirasi masyarakat Papua.
Mendengarkan dan mengangkat pengalaman, pergumulan, perjuangan, dan
aspirasi masyarakat non elit merupakan posisi epistemik sekaligus etis
yang kami kembangkan dalam penelitian kritis di Papua di bawah seri
Knowledges and Social Justice Series. Buku pertama dari Seri itu adalah
Paradoks Papua (Sunspirit, Foker LSM, dan YTHP, 2012) yang dengan spirit
mengangkat pergumulan orang asli Papua yang paling marginal mengungkap
bahwa pembangunan di Papua tidak saja gagal membawa kesejahteraan yang
dijanjikan, tetapi justru menjadi proses dan mekanisme peminggiran,
kekerasan, dan perampasan sumber daya. Buku itu, dengan fokus studi di
Kabupaten Keerom mengungkap pengalaman dan pergumulan ‘people at the
bottom’, yaitu orang asli Papua yang termarginalkan. Fokus perhatian
Paradoks Papua adalah persoalan pembangunan dalam wujud transmigrasi,
perkebunan sawit, pengelolaan kayu hutan, pemekaran, proyek otonomi
khusus, dan pembangunan infrastruktur, kebijakan demografi, serta
pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Berbeda dengan
pengalaman elit, serta bertolak belakang dengan klaim negara dan para
pemodal, masyarakat asli Papua tidak turut serta dalam proses dan dalam
menikmati hasil-hasil pembangunan itu. Bahkan di tengah Otonomi Khusus
yang menghabiskan dana besar pun, ada mekanisme pencaplokan proses dan
manfaat pembangunan oleh elit (elite-capture) dan oleh kelompok migran
(migrant capture), akibat struktur demografi, struktur kelas sosial, dan
pola penguasaan politik dan ekonomi di Papua.
Dengan semangat dan sudut pandang yang sama—yaitu dengan perspektif
masyarakat non-elit yang termarginalkan— tetapi dengan metode berbeda,
buku ini lahir. Paradoks Papua memakai metode kajian pembangunan,
sedangkan buku ini lebih merupakan kajian etnografi sosial, dengan
menggali cerita masyarakat sebagai metodenya. Dengan fokus pada berbagai
kelompok masyarakat di daerah pegunungan, yaitu di seputaran Lembah
Baliem – Kabupaten Jayawijaya dan di Kabupaten Yahokimo, kami menghimpun
narasi-narasi komunitas tentang pergumulan mereka di masa kini,
kenangan mereka akan masa lalu dan aspirasi atau harapan mereka akan
masa depan. Narasi, Memori, Pergumulan, dan Cita-cita serta Aspirasi itulah yang
menjadi isi buku ini.
Sebagaimana cerita kehidupan (life stories) pada
umumnya, cerita masa kini selalu mengandung pengalaman dan kenangan masa
lalu (past in the present) tetapi juga terkait dengan harapan,
kekhawatiran dan cita-cita masa depan (future in the present). Pada
cerita-cerita itu juga terungkap apa yang orang ingin lakukan untuk
menata hidup penutur cerita itu sendiri di masa kini (penentuan nasib
sendiri). Dengan demikian buku ini menyajikan dengan caranya sendiri
sebuah gambaran tentang sebagian masyarakat Papua dewasa ini (kajian
tentang situasi sekarang ini), dengan dimensi masa lalu (sejarah), serta
masa depan (aspirasi), dengan perspektif dan sudut pandang komunitas
masyarakat Papua sendiri.
Semula kami berniat untuk menjadikan cerita hanya sebagai (sekadar)
metode untuk mengumpulkan data; data yang kemudian kami pakai sebagai
bahan untuk menganalisis dan memetakan persoalan Papua dewasa ini dari
perspektif masyarakat. Namun setelah menyadari bobot dan
kekuatan-kekuatan narasi yang terkumpul, kami memutuskan dengan bulat
hati bahwa baiklah cerita-cerita ini tampil sendiri di hadapan Anda.
Kami mengurung niat menjadi analis dan komentator, dan membiarkan
pembaca ‘bertemu dan melakukan kontak langsung’ dengan masyarakat
penutur cerita, merasakan sendiri otentisitas adn kekuatan-kekuatan
cerita, menyelami langsung pergumulan masyarakat, memahami
meomori-memori mereka, dan merasakan aspirasi cita-cita, serta tekad
mereka menata masa depan.
2. Cerita Kehidupan, Kebenaran, Kuasa/Pengetahuan: Metode Penelitian Naratif Kritis
Metode cerita atau metode naratif sebenarnya merupakan metode yang
sudah lama dikenal dan dipraktekkan dalam penelitian ilmu sosial,
terutama dalam penelitian kualitatif, kajian etnografi, dan kajian
feminis. Kajian-kajian ini mengakui pentingya (1) mengumpulkan dan
menampilkan pengalaman dan perspektif masyarakat (yang diteliti), (2)
memberi mereka ruang untuk ‘bersuara dalam bahasa mereka sendiri’, (3)
membuka diri peneliti-penulis sendiri, dan (4) mengajak pembaca untuk
‘mengalami’ daya pembebasan yang dasyat tari tuturan-tuturan masyarakat
itu. Cerita-cerita kehidupan itu diungkap dengan berbagai cara, seperti
wawancara (interview) semi-terstruktur dan terbuka (open-ended), diskusi
atau obrolan kolektif (collactive talk), perjumpaan individual atau
kelompok (focus group), atau lewat tuturan kesaksian (testimoni) yang
merupakan pendalaman dari interview pribadi atau obrolan kolektif.
Para peneliti kritis, terutama kaum feminis dan post-strukturalis
lainnya, mengembangkan dan memakai metode naratif ini lebih lanjut,
antara lain dengan menegaskan bahwa ‘pengalaman’ dari para penutur
cerita adalah ‘sumber kebenaran’ yang tidak saja bersifat personal dan
subyektif, tetapi memiliki status sebagai pengetahuan (knowledge) atau
pengetahuan-pengetahuan (knowledges). Kendati berbeda dengan ‘klaim
kebenaran’ dan ‘klaim pengetahuan’ dominan atau hegemonik (seperti
Euro-centris, andro-centris, positivistik—singkatnya pengetahuan dan
klaim kebenaran versi penguasa/kelompok dominan), pengetahuan yang
terungkap dari pengalaman kaum tertindas itu memiliki status yang sah
dan berhak untuk menyandang status sebagai kebenaran dan pengetahuan.
Pentinglah di sini menyertakan paparan tentang metodologi penelitian
sosial kritis—terutama yang dikembangkan oleh pemikir post-kolonial dan
de-kolonial— terkait dengan praktek wacana (discursive practices), dan
bagaimana praktek wacana itu terkait dengan kebenaran, kuasa, dan
pengetahuan. Sebagaimana yang dirintis oleh Michel Foucault, dalam
praktek wacana (bahasa, narasi, diskursus), pengetahuan dan kuasa itu
tidak saja terkait erat satu sama lain, melainkan juga saling menopang,
saling mentransmisi dan bahkan saling memproduksi. Realitas sosial
dipenuhi oleh praktek wacana, dan setiap wacana mengandung baik
diskursus tentang kebenaran atau pengetahuan maupun relasi kuasa dalam
sebuah hubungan timbal balik. Karena itu, penelitian kritis harus selalu
peka terhadap kuasa macam apa dan kuasa siapa yang
melahirkan/membawa/melegitimasi klaim kebenaran atau konstruksi
pengetahuan tertentu, dan selanjutnya kuasa siapa atau kuasa macam apa
yang dilahirkan/dibawa/dilegitimasi oleh sistem pengetahuan tertentu.
Untuk itu diperlukan usaha untuk melacak dan mencermati, meminjam bahasa
Foucault ‘aparatus-aparatus sosial konkret’; yakni ‘rangkaian
elemen-elemen diskursif dan material –misalnya, diskursus-diskursus,
institusi-institusi, bentuk-bentuk arsitektural, keputusan-keputuasan
yang mengatur, hukum-hukum, ukuran- ukuran administatif,
pernyataan-pernyataan ilmiah’ dan ‘sistem relasi-relasi… yang terbangun
antara semua elemen itu’.
Singkatnya, klaim pengetahuan atau pernyataan
kebenaran tertentu selalu berkait erat dengan praktek kuasa, penguasaan,
dominasi, control oleh satu kelompok atas kelompok lain. Dan karena itu
selalu ada bahaya bahwa kebenaran, pengetahuan, dan kekuasaan itu
dimonopoli oleh satu kelompok, dan kelompok lain menjadi korban yang
terbungkam. Mereka inilah yang menjadi kaum tak bersuara (the voiceless)
dan karena itu dibuat tak berdaya (the powerless).
Para peneliti dan aktivis post-kolonial dan de-kolonial menaruh
perhatian khsusus pada lapisan masyarakat yang disebut kaum sub-altern
(kelompok marginal, kaum terntindas, ‘people at the bottom’): bagaimana
dan mengapa mereka tertindas dan dibuat tak bersuara-tak berdaya, serta
jalan emanispasi macam apa yang dimungkinkan lewat penelitian dan
produksi pengetahuan kritis. Untuk merujuk salah satu contoh konkret,
layak disebut di sini essay termasyur dari Gayatri Spivac –Can the
Subaltern Speak? (Dapatkah Kaum Subaltern Berbicara?).
Spivak meringkas
dan mengeplorasi lebih jauh persoalan bahwa produksi pengetahuan
arus-utama seringkali membungkam kaum sub-altern sedemikian rupa
sehingga seakan-akan mereka tidak dapat berbicara dan tidak berdaya.
Spivac juga memperluas cakupan kelompok subaltern, bukan hanya kelas
bawah atau proletar dalam kategorisasi ekonomi-politik kelompok kritis
Barat (terutama yang bersumber dari analisis Karl Marx dan para
penerusnya), tetapi juga mencakup kelompok lain seperti orang-orang atau
bangsa terjajah (the colonized), perempuan, orang miskin, kelompok
minoritas, dll; singkatnya orang-orang yang dalam relasi kuasa hegemonic
terkurung dalam kategori yang dilainkan dan diperlakukan lebih rencah
karena kebangsaan, gender, ras, etnisitas, kelas, keyakinan, dll. Dengan
memakai contoh konkret perempuan Sati di tengah konteks kolonisasi
Inggris dan budaya patriarki di India, Spivac melukiskan bahwa perempuan
tertindas bukannya tidak bersuara. Dia bersuara lewat tindakan-tindakan
simboliknya; namun system colonial dan patriarki tidak sanggup
menangkap suara itu, dan dengan itu membungkamnya sebagai kaum tak
bersuara dan tak berdaya. Pembungkaman itulah yang menciptakan kuasa
bagi yang berkuasa dan ketakberdayaan bagi kaum subaltern.
Tantangan metolodologi penelitian kritis adalah dalam aras post-kolonial
dan de-kolonial ini adalah bagaimana supaya tidak terjebak dalam
produksi pengetahuan yang membungkam kelompok sub-altern itu, sekaligus
membuka kemungkinan-kemungkinan produksi pengetahuan dan kuasa yang
emansipatif.
Metode narasi dalam semangat emansipasi dekolonial itulah yang kami
kembangkan dalam menyusun buku ini. Dalam proses penelitian dan
penyusunan buku ini, kami mendengarkan, mengungkap, dan menyuarakan
cerita-cerita pergumulan masyarakat non-elit di Tanah Papua, masyarakat
yang cenderung masyarakat tertindas, people at the bottom dalam sebuah
sistem social, politik, ekonomi, dan budaya dominan. Selain mengungkap
kebenaran dan pengetahuan mereka, metode naratif sekaligus menjadi alat
perjuangan untuk melawan hegemoni kebenaran yang menindas, dan
menggantikannya dengan pengetahuan dan kebenaran yang memerdekakan.
Narasi-narasi masyarakat biasa –sama seperti narasi dan klaim
kebenaran dominan— memang tidak mengungkap kebenaran faktual
(fakta-fakta sejarah) yang seakan-akan final dan defentif, dan karena
itu kebenaran dalam penelitian naratif bukanlah kebenaran seperti yang
diklaim oleh sejarawan garis keras atau tradisi ilmu sosial
empirik-positivistik sebagai fakta empirik. Malahan, seperti argumen
meyakinkan dari kaum post-positivistik, realitas sosial bukanlah sesuatu
yang ‘ada di sana’ untuk ditemukan oleh para peneliti, seperti
menemukan dan mengumpulkan batu, pasir, atau kayu.
Sebaliknya,
penelitian kritis menyadari bahwa realitas sosial itu sesuatu yang
dinamis, dipengaruhi oleh sejarah, dan terbentuk lewat berbagai
aktivitas aktor-aktor terkait, dan terumuskan dalam praktek wacana
lengkap dengan kerumitan kuasa/pengetahuannyua. Dan penelitian merupakan
bagian dari usaha mengkonstruksi pengetahuan mengenai masyarakat itu,
untuk memahaminya lebih mendalam.
Karena itu, penelitian sosial yang mendasarkan diri dalam tradisi
kritis seperti ini berusaha untuk peka terhadap ‘bahasa’, ‘wacana’,
‘klaim kebenaran’, kategori-kategori, representasi-representasi, dll
tidak saja dengan melacak kemunculan, instisusi-instisusi pendukung,
maksud-maksud terselubung dari semua itu (metode genealogi), tetapi juga
dengan memeriksa berbagai klaim kebenaran dominan itu dengan cara
membandingkannya dengan pengalaman dan pergumulan kaum tertindas dan
marginal yang menjadi korban dari praktek-praktek wacana macam itu.
Di sinilah letak pentingnya peran metode narasi. Bagi penelitian
kritis, pengalaman, terutama pengalaman kaum tertindas, adalah ‘sumber
dari refleksi kritis’ yang membantu kita membongkar dan melawan klaim
kebenaran yang melanggengkan ketidakadilan dan diskriminasi dan
memperjuangkan kebenaran yang memerdekakan oleh masyarakat itu sendiri
tentang diri mereka sendiri.
Cypri Jehan Paju Dale adalah seorang peneliti pada Insitute
Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss. Ia juga merupakan penulis
buku “Paradoks Papua” (2011) dan “Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan
Sistemik” (2013).
Bersambung; Metodologi Penelitian Naratif Kritis (Di Papua) Bagian II