![]() |
Mama-Mama Papua Berjualan |
Oleh : Mariana
Lusia Resubun*)
Sastra Papua--“Dahulu pemerintah Belanda telah menetapkan daerah Jawa sebagai daerah produksi pangan, daerah Sumatera produksi perkebunan, daerah Irian/Papua sebagai paru-paru dunia dengan mempertahankan hutannya ataupun dijadikan daerah perkebunan karet. Mengapa demikian? Jawabannya karena pemerintah Belanda tahu potensi dari masing-masing daerah. Tetapi kini hutan dan karet itu telah berubah menjadi padi sawah dan sawit. Merauke akan dikenal sebagai Lumbung Pangan dari Negri di Timur Matahari”
Sastra Papua--“Dahulu pemerintah Belanda telah menetapkan daerah Jawa sebagai daerah produksi pangan, daerah Sumatera produksi perkebunan, daerah Irian/Papua sebagai paru-paru dunia dengan mempertahankan hutannya ataupun dijadikan daerah perkebunan karet. Mengapa demikian? Jawabannya karena pemerintah Belanda tahu potensi dari masing-masing daerah. Tetapi kini hutan dan karet itu telah berubah menjadi padi sawah dan sawit. Merauke akan dikenal sebagai Lumbung Pangan dari Negri di Timur Matahari”
Anti Mainstream berasal dari 2 kata, yaitu kata “anti” dan “mainstream“.Kata “anti” bisadiartikan menggunakan kamus
bahasa Inggris berarti anti atau kontra. Definisi “anti” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti tidak setuju, tidak suka atau tidak senang. Sedangkankata “mainstream” dalam bahasa Inggris
berarti arus utama atau aliran utama. Kita hidup di jaman canggih yang menurut
istilah anak jaman sekarang adalah “kekinian”, dalam kamus pergaulan “kekinian”
kata “mainstream” berarti biasa, wajar, hal yang lumrah, atau yang menjadi
kebiasaan umum. Hal yang bertolak belakang dengan hal yang biasa, wajar, lumrah
atau menjadi kebiasaan umum disebut sebagai “anti mainstream“. Orang yang
memiliki selera yang berbeda dengan orang kebanyakan bisa jadi akan disebut
anti mainstream. Termasuk orang yang merasa memiliki inovasi dan selalu ingin
tampil beda dengan orang lain.
Mungkin
tulisanku ini akan dipandang sebagai tulisan “anti mainstream” karena banyak
protes, dianggap menentang pembangunan, sok tahu, sok pintar, tetapi jujur
memang saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa, saya tidak mengerti politik dan
pemerintahan, saya hanya memandang dari kacamata saya sebagai seseorang yang
lahir, tumbuh besar, numpang mencari makan dan hidup di Tanah Papua. Saya tidak
ingin jadi provokator, bukan rasis, bukan juga SARA, hanya mencoba bercerita
secara jujur tanpa menutup-nutupi apa yang saya lihat, saya dengar dan saya
rasakan berdasarkan pengalaman pribadi hidup di surga kecil yang jatuh ke bumi.
Saya memohon
maaf apabila tulisan saya menyakiti hati pembaca, saya tidak ada maksud untuk
menyakiti, saya menulis berdasarkan keresahan hati yang saya rasakan. Mohon
maaf kalau informasi yang ditampilkan mungkin kurang tepat dan banyak salah.
Sekali lagi, maaf.
Melalui tulisan
ini, saya ingin mengatakan bahwa Papua itu ibarat Surga Kecil yang jatuh ke
bumi. Ya, sebuah Negri di Timur Matahari Terbit. Sebuah negri yang sejak lama
dikalaim sebagai bagian dari NKRI melalui proses politik pencaplokan. Mungkin
saya salah, tetapi kebanyakan orang membicarakannya. Apakah mungkin saya salah
mendengarnya? Mungkin.
Tentang dia,
pulau itu, yang konon katanya berbentuk bagai seekor burung, hingga sebagian
darinya disebut Kepala Burung Tanah Papua. Orang Papua mengagung-agungkan pulau
ini sebagai Tanah Terjanji. Mungkin juga terlalu berlebihan, tetapi itulah
kenyataannya. Akhirnya kini Tanah Papua, Surga Kecil itu benar-benar menjadi
harapan dan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Mungkin saya salah, tapi
orang-orang di Tanah Jawa pun mengakuinya.
Saya merasa
sangat beruntung dilahirkan di tanah terjanji, tanah yang diberkati, tanah
tempat segala suku bangsa dari luar Papua datang untuk mencari penghidupan yang
lebih layak. Sebuah Negri di Timur Matahari yang tersohor karena keindahan dan
kekayaan alamnya. Saya dilahirkan dan dibesarkan di bagian selatan Papua, suatu
tempat yang dikenal karena lagu “Dari Sabang Sampai Merauke”, atau karena anak
sekarang terutama yang di luar Papua mungkin kurang tahu tentang kota Merauke
karena sibuk mendengarkan lagu bertema cinta. Maka sebagai anak “kekiniaan”
pasti tahu karena “update” informasi dari media sosial tentang peresmian
Monumen Kapsul Waktu oleh Presiden Joko Widodo yang berisi harapan dari setiap
provinsi, pada tanggal 30 Desember 2015 di Merauke.
Saya bangga
hidup di ujung paling timur Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan
langsung dengan negara tetangga Papua Nugini. Kalau mau lihat Indonesia,
berkunjunglah ke Merauke, benar-benar Indonesia mini ada di sini. Aceh ada
Serambi Mekah, di Merauke ada Gerbang Hati Kudus Yesus. Misionaris Hati Kudus
Yesus (tarekat MSC) dari Belanda yang datang pertama kali membawa peradaban
baru di Tanah Anim Ha (Merauke), sehingga bisa dikatakan Merauke sebagai basis
umat Katolik Roma. Hal ini bisa dilihat dengan “land mark” kabupaten Merauke yaitu berdirinya 2 patung Hati Kudus
Yesus yang megah dan salah satunya ada di Bandar Udara Mopah Lama Merauke.
Toleransi yang
tinggi di kota ini membuat saya untuk selalu pulang ke rumahku Merauke. Sebagai
Gerbang Hati Kudus, pemerintah dan masyarakat tidak menutup mata untuk agama
yang lain, Masjid Raya Al-Aqsha juga berdiri kokoh dan indah, begitu pula rumah
ibadah seperti pura dan vihara. Setiap hari raya keagamaan baik natal, lebaran,
dan nyepi maupun hari Imlek yang dirayakan saudara kita dari etnis Tionghoa,
kami saling mengunjungi, bersilahturahmi dan berbagi kasih tanpa memandang
perbedaan agama dan suku. Sangat indah perbedaan itu dalam bingkai keberagaman
dan toleransi, bagaikan bunga beraneka rupa dan warna dalam suatu taman yang
indah. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu”
benar-benar terasa di sini, di setiap peringatan hari kemerdekaan maupun hari
ulang tahun kota, diadakan pameran maupun karnaval yang memperlihatkan
keberagaman dari budaya berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia.
Sebagai orang
Merauke saya tidak merasa asing dan kesulitan kalau harus pergi merantau ke
tanah Jawa atau Sulawesi atau Kalimantan dan Sumatera. Semua suku bangsa ada di
tanah Merauke, tidak heran saya tahu suku Toraja dengan tedongnya, Makassar
atau Bugis dengan tradisi uang panai atau makanan coto makassar dan es pisang
ijonya, orang Palembang dengan pempeknya, orang Manado dengan makanan serba
pedasnya, orang Batak dengan logat khas dan tari Tor-Tornya, orang Jawa dengan
beraneka jenis makanannya, dan ketika kami masuk ke toko, walaupun berkulit
hitam dan berambut keriting pasti akan disapa “mas/mbak” sebagai panggilan
sopan. Atau kami tidak asing dengan sapaan “Eja” atau “Kera” atau “Kewa” dari
Nusa Tenggara Timur.
Orang Maluku
terutama dari Pulau Kei paling banyak mendiami kabupaten Merauke dan menganggap
Merauke sebagai rumah dan kampung halaman sendiri walaupun tidak melupakan
tanah leluhur di Kei. Seperti saya yang merupakan generasi ke 4 dari guru
perintis yang datang bersama para Misionaris dari Belanda ke tanah Merauke
sebagai “garam dan terang” untuk mengajarkan baca tulis, saya merasa bahwa
tanah Merauke merupakan “rumah saya”, tempat para moyang, para opa dan oma
serta ayah saya dimakamkan, saya hanya ingin pulang ke rumah itu.
Maroka ehe merupakan asal nama kota Merauke yang
berarti: ” ini sungai/ kali Maro”. Kata ini muncul setelah terjadi dialog
antara orang Belanda yang pertama kali mendarat di Sungai Maro tahun 1902
dengan penduduk lokal, mereka bertanya apa nama daerah ini dan dijawab “Maroka
ehe“, sehingga sampai sekarang kita mengenal sebuah kota di ujung timur
Indonesia kota Merauke. Kedatangan kaum pendatang dimulai sejak terbukanya
peradaban baru di Merauke dengan kehadiran para misionaris MSC dari negeri
Belanda yang juga membawa serta para guru dari Maluku untuk mengajarkan agama
dan baca tulis kepada penduduk asli. Seperti bangsa barat pada umumnya yang
berekspansi ke timur ada 3 tujuan utama berlayar ke timur seperti semboyan 3 G
yang dianut (Gold, Glory dan Gospel), yaitu untuk mendapatkan
emas/harta, kejayaan dan sekaligus penyebaran agama kepada masyarakat asli.
Kedatangan
bangsa Belanda juga kemudian diikuti oleh para pedagang dari Cina yang akhirnya
menetap dan ada yang kawin campur dengan penduduk lokal sehingga dikenal istilah
“Cina Marind”. Untuk memberi makan para pegawai pemerintahan Hindia Belanda dan
guru-guru dari Maluku, didatangkan petani dari Jawa untuk menanam padi, mereka
inilah yang dikenal dengan istilah “Jawa Merauke”, ada hal menarik ketika
bercerita dengan orang “Jawa Merauke” mereka bisa berbahasa Jawa walaupun
bahasa Jawa kasar, namun kalau disuruh untuk pulang ke Jawa mereka sudah tidak
tahu darimana asal kakek nenek moyang mereka di tanah Jawa.
Ketika bangsa
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, mungkin karena presiden
Soekarno dan pemerintahan pada saat itu mengilhami “Sumpah Palapa” dari Gajah
Mada untuk menyatukan Nusantara dalam kekuasaan Majapahit, maka daerah Kolonial
Belanda yaitu Papua yang pada saat itu bernama Nova Guinea dengan pusatnya di
Kota Holandia yang kemudian diganti dengan Irian Barat resmi bergabung dengan
NKRI pada tanggal 1 Mei 1963.
Ketika saya
membaca tagline tulisan yang berjudul “Jokowi Katakan Satu Kabupaten di Papua
Bisa Memberi Makan Seluruh Indonesia Jika Hal Ini Dilakuan” , yang dapat
diakses pada (http://palingseru.com/…/jokowi-katakan-satu-kabupaten-di-pa…).
Sebuah tulisan yang ramai dibagikan teman di facebook, saya pun menjadi
golongan “anti mainstream” disini. Terus terang saya merasa miris dan berharap
ini hanya kecemasan yang terlalu berlebihan. Kenapa saya merasa miris? Saya
hanya tidak ingin terjadi seperti pepatah “tikus mati di lumbung padi“, saya
juga tidak ingin pemilik hak ulayat, suku Marind semakin tersingkir dan
termarginalkan di tanahnya sendiri. Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa
dalam 1 hektar(ha) sawah bisa menghasilkan 8 ton padi pada saat panen raya di
Wapeko Merauke. Saya tidak tahu apakah itu benar-benar hasil real di lapangan atau hanya percobaan
pada petak percobaan (demonstrasi plot) dengan kondisi yang homogen, pengairan
yang baik, penggunaan bibit unggul, dan pemupukan yang tepat, sehingga hasilnya
sangat tinggi lalu kemudian hasil tersebut dikonversi ke luasan 1 hektar.
Menurut data
statistik terbaru (BPS 2013), luas panen sawah di Pulau Jawa pada tahun 2012
adalah 6.165.079 ha (hektar), merupakan dari 46,89% dari total luas panen
Indonesia. Luas panen seperti padi menghasilkan sebanyak 34.404.557 ton, atau
tersusun dari 52,32% dari produksi beras nasional. Dengan kata lain, Pulau
Jawa, yang hanya sekitar 6,9% dari luas daratan Indonesia, memberikan
kontribusi untuk 52,32% dari produksi padi di Indonesia (Widiatmaka et al,
2014). Berdasarkan hal ini maka untuk ketahanan pangan khususnya beras
pemerintah Indonesia mulai berekspansi ke daerah di luar Jawa, salah satunya
Merauke. Merauke bukanlah pulau Jawa, andaikata 1 ha sawah di pulau Jawa bisa
menghasilkan 8 ton padi/ha, di Merauke 1 ha hanya bisa menghasilkan 4 ton/ha.
Pertanyaannya kenapa pulau Jawa bisa memberikan sumbangan 52,32 % produksi
beras nasional walau luasnya hanya 6,9 % dari luas daratan Indonesia? Karena
pulau Jawa merupakan pulau dengan tanah yang subur. Pulau Jawa tanahnya subur
karena Pulau Jawa kaya akan gunung berapi, yang apabila meletus akan
memperbaharui dan meningkatkan kembali kesuburan tanahnya.
Dahulu
pemerintah Belanda telah menetapkan daerah Jawa sebagai daerah produksi pangan,
daerah Sumatera produksi perkebunan, daerah Irian/Papua sebagai paru-paru dunia
dengan mempertahankan hutannya ataupun dijadikan daerah perkebunan karet.
Mengapa demikian? Jawabannya karena pemerintah Belanda tahu potensi dari
masing-masing daerah. Tetapi kini karet itu telah berubah menjadi padi sawah
dan sawit. Merauke akan dikenal sebagai Lumbung Pangan dari Negri di Timur
Marahari.
![]() |
Papuans Photo Wordpress.com |
Kembali ke soal
ketahanan pangan artinya ekspansi padi di luar Jawa pasti membutuhkan lahan
yang lebih besar. Untuk 1 ha sawah di Jawa sama dengan 2 ha sawah di Merauke.
Artinya ekstensifikasi (perluasan lahan pertanian dimana-mana), penggunaan
bibit unggul, pupuk dan pestisida dimana-mana. Semoga pembangunan demi
ketahanan pangan tidak membawa malapetaka dan kehancuran bagi masyarakat asli
Marind. Masyarakat asli Marind yang belum siap akan semakin terpinggirkan,
hutan-hutan ditebang, rawa-rawa sagu mulai hilang, spesies flora dan fauna
endemik akan musnah. Hutan hilang, sumber-sumber air pun terancam hilang. Kita
tinggal menunggu kapan datangnya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim
kemarau. Mesin pertanian seperti traktor, pemberian pupuk kimia serta pestisida
akan merusak tanah dan air. Ketika pupuk dan pestida terbawa air hujan menjadi
aliran permukaan akan mencemari sungai dan rawa.
Tetapi apakah
masih ada rawa-rawa kalau sudah tidak ada hutan? Apakah masyarakat asli Marind
atau mama-mama Mappi yang berjualan ikan dan udang di pasar bisa mendapatkan
ikan tangkapannya kalau rawa dan sungai telah rusak dan tidak ada ikan yang
hidup karena tempat hidupnya tercemar pupuk dan pestisida? Apakah kota Merauke
akan berubah menjadi kota yang sungainya telah tercemar baik dari limbah
pertanian maupun perkebunan, sehingga tidak ada lagi ikan yang hidup? Apakah
kita yang telah terbiasa makan ikan segar dari sungai/kali mau makan ikan yang
dipelihara di tambak yang pakannya berupa pelet? Sehingga mohon maaf rasanya di
lidah saya seperti makan kapas. Sungai-sungai kita, yaitu Sungai
Maro/Bian/Kumbe apakah kita mau bernasib sama seperti sungai-sungai di Jawa
seperti sungai Ciliwung atau Citarum yang kita nonton di TV sering banjir pada
musim hujan?
Kita tahu selama
ini kita di Merauke hanya mengandalkan sistem sawah “tadah hujan”, belum ada
irigasi sehingga ada wacana untuk mendirikan jaringan irigasi guna mendukung
program pertanian ini, tetapi bukankah air sungai kita seperti Kali Maro dan
Kali Bian sudah terasa asin akibat intruisi air laut, karena hulu-hulu sungai
sudah beralih fungsi menjadi kebun sawit dan perusahaan? Padahal menurut orang
tua, dahulu air sungai dapat diminum karena airnya tawar.
Saya berharap
para ahli dan pejabat yang berada di sekeliling bapak presiden, benar-benar
memberikan masukan yang tepat dan sesuai kondisi real di lapangan. Jangan
seperti jaman orde baru dulu, bapak presiden Soeharto mencanangkan pembukaan 1
juta hektar lahan gambut di Kalimantan yang gagal total, dana sebesar 3 triliun
dikeluarkan untuk itu dan hasilnya adalah nol, dan dana sebesar 3 triliun pula
dikeluarkan untuk merestorasi lahan gambut yang rusak. Belum lagi jutaan pohon
jutaan kubik kayu yang hilang pada saat itu.
Dalam suatu
seminar nasional di kampus saya IPB dengan tema ketahanan dan kedaulatan
pangan, saya bertanya tentang wacana pembukaan 1,2 juta ha lahan sawah di
Merauke dan terkait isu Genosida orang
asli Papua akibat program transmigrasi di Merauke kepada seorang guru besar IPB
yang merupakan salah satu staf ahli presiden. Beliau menjawab petanyaan saya
dengan berkata, beliau telah berpesan kepada tim khusus presiden Jokowi,
hati-hati mengambil keputusan soal Merauke, pembukaan 1,2 juta ha akan
membutuhkan 1,2 juta orang lagi dari luar Merauke, karena rata-rata seorang
petani hanya mampu menggarap 1 hektar sawah, artinya penduduk asli akan semakin
terpinggirkan apalagi kalau belum dilengkapi keterampilan untuk menghadapi perubahan
ini. Merauke bisa hilang, penduduk asli akan meminta melepaskan diri dari NKRI.
Kalau menonton
film ” The Hunger Games the series”
sebuah film yang diaptasi dari novel trilogi karya Suzanne Collins yang
dibintangi dengan apik oleh Jennifer Lawrence (Katniss Everdreen), Liam
Hemsworth (Gale Hawthrone) dan Josh Hutcherson (Peeta Mellark) yang
menceritakan tentang perjuangan para pemuda dari 12 distrik yang memperjuangkan
kemerdekaan dari kapitalisme Presiden Snow (Donald Sutherland) pemimpin
Capitol. Sungguh tidak adil kekayaan alam dari 12 distrik hanya dikumpulkan dan
dinikmati oleh mereka yang tinggal di Capitol, sedangkan mereka yang tinggal di
distrik dikuras kekayaan alamnya dan tenaganya namun hidupnya sangat pas-pasan
bahkan cenderung kekurangan. Mungkin ini hanya perasaan saya saja tetapi
melihat perjuangan Katniss Everdreen dan kawan-kawan, yang terlintas di pikiran
saya adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka). Entahlah mungkin saya terlalu
banyak berkhayal dan korban film, tetapi saya merasa suatu pemberontakan atau
perjuangan muncul dari rasa sakit hati, kecewa dan dikhianati. Mereka yang
ingin merdeka adalah mereka yang merasa kekayaan alamnya dikuras habis-habisan
tetapi mereka tetap miskin, lapar, haus di tanahnya sendiri yang kaya akan
emas, lautnya kaya, hutannya kaya, tetapi mereka tetap lapar, tidak merasakan
pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak. Sebuah perjuangan karena melihat
sodaranya yang sama-sama berkulit hitam dan berambut keriting hidup dengan
kurang layak di tanahnya sendiri.
Melihat
pembangunan hanya dinikmati di pusat, padahal saya di tanah Jawa juga merasakan
tidak ada pelayanan listrik di desa yang hanya beberapa kilometer dari kota
Metropolitan, ibu kota negara Jakarta. Mungkin kami di Papua merasa berbeda
karena akan kelihatan sekali perbedaan si kaya dan si miskin diantara yang
berambut lurus dan berkulit putih dengan yang berambut keriting dan berkulit
hitam. Terkadang juga tidak adil ketika menurut saya, anak bangsa sendiri yang
dipercayakan menjadi pejabat hanya memperkaya diri sendiri dengan “beternak”
mobil mewah, atau membangun “istana” di luar Papua padahal saudaranya sendiri
kelaparan, saudaranya kekurangan biaya untuk pendidikan. Sosok President Alma
Coin (Julianne Moore) saya bayangkan seperti pihak asing yang menunggangi
kelompok separatis ini, ujung-ujungnya hanya ingin menguasai tanah Papua yang
kaya ini. Semoga gebrakan pembangunan yang dilakukan oleh bapak presiden Jokowi
benar-benar tepat sasaran dengan menyentuh Orang Asli Papua, sehingga Orang
Asli Papua menjadi tuan di tanahnya sendiri. Tuan yang berilmu, adil, bijak,
sejahtera dan makmur dalam mengelola surganya sendiri.
Akhir-akhir ini,
saya mendengar kembali wacana pembentukkan Provinsi Papua Selatan, yang
meliputi Kabupaten Merauke, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven
Digoel dan akan ada kabupaten pemekaran baru. Tujuan dari pembentukkan provinsi
baru ini sungguh mulia, agar pembangunan merata. Tetapi bukankah diperlukan
banyak sumberdaya manusia. Apakah sumber daya manusia Orang Asli Papua dari ke
empat kabupaten ini sudah mencukupi untuk mengisi lini terdepan dalam
pemerintahan, pendidikan, kesehatan, swasta, mengisi setiap sektor dalam
pembangunan? Sehingga menjadi tuan pembangunan yang arif, adil dan bijaksana
terhadap saudara-saudaranya dan terhadap alamnya yang kaya agar tercipta suatu
pembangunan yang berkelanjutan, adil merata dan memenuhi aspek sosial, ekonomi,
lingkungan serta politik.
Terkenang
kembali kisahku pada saat mengikuti pelayanan bersama dengan teman-teman dari
Pemuda Katolik dan SKP KAMe, Minggu 15 Juli 2012 di Stasi Nasem. Suatu kampung
di pinggiran kota Merauke yang didiami oleh penduduk asli Merauke yaitu suku
Marind. Sambil menunggu mobil jemputan untuk kembali ke kota, di depan rumah
pastor saya berbincang-bincang dengan sekelompok anak perempuan yang saya
taksir berusia sekitar 4 tahun sampai 12 tahun. Ketika saya bertanya “kam smua sekolah?”, mereka serempak
menjawab sekolah. Lalu salah seorang anak bernama Maria bilang dia sekolah TK,
tapi teman-temannya yang lain bilang namanya sudah terdaftar di SD tapi dia
selama ini sekolah di TK. Saya tanya “
adik kenapa ko tidak sekolah di SD?” Lalu Maria jawab dia tidak punya
pakaian seragam SD, kebetulan di situ ada kakak Maria yang bernama Susana,
teman- temannya yang lain berkata kenapa Susana tidak kasih pakaiannya yang
sudah kecil untuk Maria. Susana pun menjawab “sa punya pakaian seragam cuma satu jadi sa tidak bisa kasih Maria pakai”.
Spontan bocah – bocah lugu itu menghibur Maria, mereka bilang Maria tunggu nanti
ada bantuan pakaian seragam sekolah. Sedih mendengar kondisi Maria tidak ke
sekolah karena tidak punya seragam sekolah, saya hanya bisa bilang ke Maria “ko pakai pakaian biasa saja ke sekolah,
tidak apa-apa yang penting ko sekolah biar jadi orang pintar”.
Harapanku semoga
apapun bentuk dan nama pembangunan itu kiranya dimulai dari mereka yang hidup
di kampung, yang selama ini hanya menggantungkan hidup dari alam. Mereka yang
apabila tidak dipersiapkan dengan baik akan kalah dengan kita yang hidup di kota,
kemana mereka akan pergi? kalau mereka hanya bisa menjadi penonton ketika surga
mereka dirampas. Tolong berpihaklah kepada mereka yang mempunyai hak ulayat,
yang dulu menjaga surga ini dengan indah ketika belum ada “monster manis” yang
bernama pembangunan. Tolong persiapkan mereka untuk mengahadapi pembangunan
guna menyongsong kehidupan yang lebih baik atas nama modernitas, dan tentu
bukan proyek MIFEE yang menjadi harapan.
0 Komentar