Oleh; Anugerah Perkasa
Ethine sayang,
Ilustrasi; alyfdownload.blogspot.com |
Mas tak akan lupa satu perjumpaan singkat dengan Amatus Douw, pemuda
asal Paniai, Papua di apartemen kecil di Melbourne, Australia pada 4
tahun silam. Amatus bertubuh gempal dan sering melucu—walaupun masa
lalunya demikian pahit. Orangtuanya diduga dibunuh pada 1998, tanpa ada
satu pun pelaku yang diseret ke pengadilan. Dia sendiri menjadi manusia
perahu untuk mencari suaka politik hingga tiba di Queensland, yang
terletak di Timur Laut Australia, pada 2006. Amatus bekerja serabutan
untuk bertahan hidup. Saat itu, dia juga mendapat beasiswa belajar di
Melbourne.
Dan Paniai kembali menyesaki pikiran Mas hari ini.
Pada 8 Desember lalu, empat pelajar tewas di tempat akibat dugaan
berondongan peluru milik aparat gabungan TNI—Polri. Mereka adalah Alpius
Youw, Alpius Gobai, Simon Degei dan Yulian Yeimo. Ini gara-gara tiga
pemuda menegur dua anggota Timsus Batalyon 753 Arga Vira Tama yang
melintasi pondok natal dengan mobil—tanpa menyalakan lampu— di Kampung
Ipakiye, Paniai Timur pada malam harinya.
Human Rights Watch (HRW) menyebutkan kedua anggota yang tak terima
perlakuan itu diduga memukuli Henok Yeimo, salah satu pemuda, hingga
pingsan, tak lama setelah mereka ditegur. Pagi harinya, warga berkumpul
di Lapangan Karel Gobay, untuk meminta penjelasan. Jawabannya, mereka
justru dikepung. Penembakan terjadi. Lima tewas. Puluhan lainnya
luka-luka.
Mas khawatir para pelaku akhirnya tak diadili. Persis dengan apa yang terjadi pada keluarga Amatus.
Tujuh hari sebelum penembakan, tahanan politik sekaligus pemimpin
warga Papua yang berpengaruh, Filep Semuel Karma meluncurkan buku Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua.
Filep cerita tentang kejadian Biak Berdarah pada 1998—dari sudut
pandang korban. Ada soal pengibaran Bintang Kejora. Pembunuhan orang
Papua. Kekebalan hukum hingga rasialisme. Sekitar 60 tahanan politik
lainnya pun masih berada di balik jeruji.
“Saya mewakili dan minta pemerintah Indonesia hentikan diskriminasi
dan rasialisme terhadap orang kulit hitam, rambut keriting, yang disebut
Papua,” kata Benny Giay, penerbit buku tersebut. “Sudah 10 tahun Filep
di penjara karena bicara aspirasi Papua merdeka dengan damai. Apa bedanya
dengan orang di Jawa bicara anti-Pancasila ganti Indonesia menjadi
Khilafah Islamiyah?”
Mas tak bisa lebih setuju dengan Filep atau pun Benny. Mas
menyaksikan sendiri bagaimana Filep diperlakukan diskriminatif ketika
sakit. Kami bertemu hampir 3 tahun silam di satu rumah sakit di Jakarta.
Negara tak mau tanggung biayanya. Keluarga mereka saling bantu. Filep
juga membuka donasi melalui akun Facebook—karena kekurangan uang. Korban
macam Amatus, Filep dan empat pelajar asal Paniai, semakin membuka mata
Mas soal Papua.
Tak hanya soal rasialisme, pencerabutan hak-hak ekonomi dan sosial pun demikian besar: perampasan lahan.
Laporan bersama lima organisasi sipil untuk UN Committee on the
Economic Social and Cultural Rights pada 2013 menyebutkan industri
pertambangan dan perkebunan skala besar di Papua selalu menimbulkan
kekerasan dan konflik berkepanjangan. Ketika hak asasi manusia
didiskriminasi secara sistematis, kata mereka, masalah akibat
pembangunan pun masih terjadi hingga hari ini. Papua memang kaya. Dari
tembaga, emas hingga perkebunan sawit dan tebu terhampar di sana.
Tapi Mas ingin menaruh harapan pada pemerintahan baru Joko
Widodo—Jusuf Kalla. Mas ikut tanda tangan petisi elektronik yang dibuat
Zely Ariane, Koordinator National Papua Solidarity, agar Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membuat Komisi Penyelidikan Pelanggaran
HAM.
Sedikitnya 10.848 pendukung telah tanda tangan. Tujuannya, para
pelaku dapat diadili melalui Pengadilan HAM—bukan pengadilan militer
atau umum yang kerap gagal memenuhi rasa keadilan para korban.
Mas juga meliput aksi damai pemuda-pemudi Papua di Bundaran Hotel
Indonesia (HI), dua hari setelah penembakan terjadi. Mereka ingin
pemusnahan orang Papua dihentikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Diskriminasi memang sejarah panjang Papua. Kabel telegram Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta pada Februari 1968 yang Mas peroleh,
menunjukkan bagaimana ribuan aparat keamanan sudah diterjunkan di sana,
untuk mempengaruhi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.
Tentunya, ini agar Jakarta memperoleh kontrol penuh. Sebagian warga
Papua, termasuk Amatus dan Filep, tahu Jakarta tak mau berdamai dengan
cacat sejarah tersebut.
“Hidup rakyat Papua,” demikian teriak para demonstran pada siang itu, di salah satu sisi Bundaran HI.
“Hidup rakyat sisa-sisa.”
Tetapi usai penembakan Paniai, Jokowi justru tak bicara sepatah kata
pun. Rencana untuk merayakan Natal di Papua, serta merta mendapat
penolakan dari pelbagai organisasi gereja—walaupun sang Presiden
akhirnya menyampaikan dukanya pada perayaan Natal di Stadion Mandala,
Jayapura pada 27 Desember.
Dari Jakarta, budayawan Romo Franz
Magnis-Suseno bahkan menulis surat terbuka pada harian berbahasa
Inggris, the Jakarta Post, dua hari sebelum perayaan kelahiran Isa Almasih itu. Isinya menyengat.
“Dengan mengabaikan pembunuhan lima warga sipil dan melukai lebih
dari 21 orang itu, Presiden menunjukkan dia tak memedulikan hidup orang
Papua,” tulis Franz. “Dia gagal membuktikan bahwa Jakarta menganggap
mereka sebagai orang Indonesia dan manusia.”
Sejarah kejahatan di Papua, Mas kira, menunjukkan secara telanjang
bagaimana mereka disingkirkan secara perlahan. Dari Amatus Douw, Filep
Karma, hingga kematian remaja-remaja Paniai.
Ethine sayang,
Ini adalah rasialisme menuju pemusnahan: seakan kitorang setengah binatang.
0 Komentar