Ibiroma Wamla, ‘Doktor Antropologi’ Lulusan Teknik Mesin


Harian Radar Papua, 05 Agustus 2016

Kita perlu belajar banyak tentang dunia diluar kita, tetapi jangan lupa juga pada identitas dan kebudayaan kita. Karena kebudayaan kita, merupakan jati diri dari kita sendiri.”–Ibiroma Wamla

Sastra dan antropologi, merupakan satu kesatuan yang berkaitan dan terkadang tak dapat dipisahkan. Bagi Tanah Papua sendiri, banyak sekali hal yang dapat digali dan diangkat untuk dijadikan sebuah karya sastra yang menarik. Ibiroma Wamla, begitulah sapaannya. Bagi para pecinta sastra di Papua, mungkin namanya sudah tak asing lagi untuk didengar.

Putra Papua kelahiran Wamena ini, merupakan orang yang gemar ‘menggali’ dan berbagi pengetahuan akan kebudayaan Papua. Melalui karya-karya tulisnya, ia mencoba membuka mata, hati, dan pikiran masyarakat Papua dengan gaya menulisnya yang ringan namun bermakna dalam dari setiap karyanya.

Dengan kemahirannya dalam menulis dan pengetahuannya yang luas akan kebudayaan Papua tersebut, seringkali orang menyangka bahwa ia seorang lulusan antropologi. Namun nyatanya, bukan.

“Banyak orang kira, saya berlatar belakang pendidikan antropologi, tapi sebenarnya bukan, karena saya hanya sedikit belajar sastra. Saya kuliah jurusan Tekni Mesin di Institut Teknologi Nasional, Malang. Selain kuliah teknik, saat semester lima, saya kuliah lagi di jurusan Sastra Inggris di Universitas Kristen Cipta Wacana, saya belajar sastra disitu saya belajar ilmu budaya dasar. Budaya itu menarik bagi saya. Akhinya saya belajar antropologi lewat berbagai bacaan. Jadi saat itu saya kuliah di dua kampus yang berbeda.”

Pria yang gemar memakai pakaian kasual serta menggunakan noken ini, mengatakan bahwa secara berkelakar, dirinya pun pernah disebut-sebut sebagai Doktor Antropologi oleh seorang dosen di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ada juga teman-temannya yang mengolok dengan memanggil prof, “Ah, padahal saya lebih suka disebut sebagai pelajar kehidupan. Karena gemar belajar segala hal tentang hidup.” akuinya.

Mikael Kudiai, salah seorang rekan dari Ibiroma pun mengakui kemahiran sang ‘Doktor Antropologi’ yang juga pernah menjadi pembawa acara Tabea di Papua TV, kepada Radar Papua.

“Beliau itu adalah kakak, guru, dan bahkan dosen bagi saya. Orang Papua maupun non-Papua, jika ingin melakukan penelitian tentang Papua, pasti yang mereka cari pertama itu Kakak Ibiroma sudah. Jadi, yang saya mau sampaikan adalah, kalau ada orang yang mengenal Kakak ini, berarti mereka adalah orang-orang yang beruntung! Mengapa? Karena untuk temukan sosok macam Kakak Ibiroma di Papua ini, bisa terbilang susah dan bahkan sangat jarang!” ungkapnya.

Tak hanya menebar ilmu lewat karya tulisnya, Ibiroma juga membangun sebuah komunitas bernama Universitas Kaki Abu dan Komunitas Sastra Papua sebagai wadah untuk berbagi dan berdiskusi bagi masyarakat khususnya pemuda, di Papua.

Baginya, Kaki Abu merupakan istilah yang diidentikan olehnya sebagai sebuah paham tentang masyarakat pinggiran yang memiliki eksistensi, pengetahuan dan merekalah sesungguhnya adalah doktor, profesor tanpa selembar kertas surat yang bernama Ijazah. Seringkali masyarakat Kaki Abu, distigma tidak tahu apa-apa, namun ternyata banyak doktor dan profesor yang lahir dengan menggali ilmu dari masyarakat Kaki Abu.

Menurutnya, sastra itu penting. Bukan hanya sekedar hiburan seperti cerpen atau novel, tetapi sebenarnya melebihi itu, sastra juga dapat digunakan sebagai fondasi pembangun bangsa melalui perumusan kurikulum pendidikan di Indonesia ini. Dengan kekecewaan yang mendalam, ia sangat menyayangkan bahwa sastra belum dilihat sebagai bagian yang penting dalam dunia pendidikan di Papua untuk membangun indentitas ke-Papua-an.

“Pentingnya sastra dapat itu digambarkan seperti ini; hitam kulit, keriting rambut, adalah identitas fisik. Tanpa isi, identitas fisik itu ibarat kulit kacang tanpa isi. Nah, melalui sastra kita dapat mengetahui makna kehidupan yang lebih mendalam dari setiap aspek kehidupan, sosial, dan kebudayaan, yang menjadi jati diri dari Papua itu sendiri. Bagian ini merupaka isi dari kacang tersebut. Sehingga apalah artinya hitam kulit keriting rambut, tetapi tidak memiliki isi?” Ungkap Ibiroma kepada Radar Papua, pada Jumat (5/8) kemarin.

Usai mengakhiri perbincangan mengenai pandangan akan pendidikan dan sastra, Ibiroma pun menitipkan pesan khusus untuk para pemuda di Papua. “Untuk anak muda Papua, yang harus kita ingat, kita memang perlu belajar banyak tentang dunia diluar kita, tetapi jangan lupakan pula identitas dan kebudayaan kita. Karena kebudayaan kita, merupakan jati diri dari kita sendiri.” (Bunga Nieta Putri Vidanska)

Ko'Sapa@2016

Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW
 Ko'Sapa@2016

Posting Komentar

0 Komentar