Hak untuk Merdeka: Cerita untuk Papua (Bagian IV)




[ Che Gove ]

Anggrek Hutan dan Hak Merdeka

Sampai Kami Sadar Kami Bukan Indonesia. (Dalton)

Pagi ini matahari tersenyum ramah di antara pohon-pohon kasbi, dan suara kaka tua datang lebih awal menyapa anak-anak ayam yang tidur lelap di belakang dapur. So pasti udara pagi selalu bikin kulit kepala saya sejuk, apalagi bunyi air yang mengalir dari sungai bak dengar lagu sajojo, bikin saya pe hati bahagia sekali. Bagi saya ini adalah kebahagiaan terindah. Saya bersyukur setiap pagi selalu dihibur keindahan alam, puisi yang paling alami dari kampung halaman. Dan hari ini saya so buat satu puisi untuk menghibur mama-mama di kebun kasbi.

“Sampai kami Sadar, kami bukan Indonesia”

Pagi ini matahari tersenyum ramah di antara pohon-pohon kasbi.

Meri deng Denis so bagi-bagi harum wangi anggrek hutan dari lereng gunung Foja.
Mama-mama berselimut embun menanam harapan panen pada batang-batang kasbi.
Anak-anak muda jubi rusa sambil berbalas pantun Melanesia.
 
Sayur apa saja tumbuh di tanah ini.
Jantung pisang kitorang juga punya.
Sagu bisa bikin kenyang kami.
Tapi kemerdekaan yang datang dari Indonesia?.
Bikin di tanah Papua tumbuh anak-anak kelaparan lalu mati.
Bikin bapak-bapak kami ditangkap, dipaksa tahan lapar dalam penjara.
Bikin kaka-kaka kami dihujat anjing, monyet dan babi.
Sampai bikin kami sadar, kami bukan Indonesia.
Kami belajar dari kemerdekaan. Indonesia yang membakar hangus harga diri.
Sampai bikin bapak-bapak kami sadar, kami harus merdeka.
Sampai bikin kaka-kaka kami sadar, dorang harus berjuang demi harga diri.
Sampai mama-mama kami hidop bahagia di bawah bintang kejora.

‘Sekian, mama-mama’, Dalton tutup dia pe puisi.

‘Dalton, ko pe cara baca puisi bagus sekali’. Pujian mama-mama yang sedang panen kasbi.
‘Dalton, dapa puisi itu dari mana?’, tanya mama-mama.

‘Dari belakang dapur’, jawab Dalton,

‘Hahahaha, ko paling bisa saja’, balas mama Lina sambil tertawa.

Kemudian dari jauh dapa dengar suara kaka Mery panggil. ‘Dalton, Dalton’, ‘kenapa kaka Mery?’, tanya Dalton.

‘Sini, kaka Meri mau kase Dalton sesuatu

Apa?’ dari jauh Dalton batanya dengan rasa penasaran.

‘Sini cepat sudah’, suara perintah kaka Mery.

Dalton bergerak mendekati kaka Mery sambil menjulur tangan Dalton minta. ‘Mana kaka?’
‘Sabar, sabar, tapi sebelumnya Dalton harus jawab dulu teka-teki matematika’.

‘Bagaimana kaka?’

‘Kalau sepuluh kurangi nol sama dengan berapa?’, tanya kaka Mery seperti kase putar Dalton pe otak. ‘Tetap sepuluh toh kaka’,

‘Salah’, balas kaka Mery.

‘Lalu berapa kaka Mery?’

‘Kalau sepuluh kurangi nol berarti tinggal satu, toh. Nol so dapa kurang samua sisa satu.’ Dalton tertawa.
‘Dalton, satu itu dia pe makna torang harus bersatu. Seperti anggrek hutan ini. kalau dia banyak pasti dapa dia indah dan lebih harum, tapi kalau dia cuma setangkai akan kelihatan seperti orang kesepian. Dia pe harum pun tidak kemana-mana’, jelas kaka Mery.

‘Tapi sebenarnya kaka Mery mau kase Dalton apa?’

‘Anggrek hutan, Dalton mau?’ kaka Mery batanya.

‘Mmm, supaya adil, Dalton mau tukar deng Puisi’. Dalton kemudian menaruh sehelai kertas di atas paha kaka Mery.

‘Terimakasih Dalton’, sambil tangan buka puisi, kaka Mery kase anggrek hutan ke Dalton.

Pagi itu Dalton deng kaka Mery sibuk keliling kampung baca puisi sambil bagi-bagi anggrek hutan ke mama-mama.

Ibu-ibu merasa terhibur dengan bunga dan puisi. Mereka sangat gembira mendengar puisi yang dibaca kaka Mery. Sampai pada bunga terakhir, di ujung kampung dari arah yang berlawanan muncullah kaka Alex. Mereka saling tegur dan baku tanya kabar. Sementara matahari sangatlah jujur terhadap kehidupan, dan waktu telah pergi meninggalkan kehidupan pagi.

‘Saatnya makan’, teriak Denis dari kejauhan.

Mereka semua gembira melihat Denis, mama-mama so mulai buka mereka punya makanan. ‘Ayo, makan’, teriak mama-mama dari rumah kecil di pinggir kebun kasbi. ‘Ayo kitorang gabung saja’, ajak kaka Alex. ‘Hari ini hari yang sangat spesial’kata kaka Alex. ‘Kenapa kaka?’, tanya Denis. ‘Karena kita bisa makan sama-sama deng mama-mama di kebun kasbi’. 

‘Selain itu kita juga tadi so dapa hibur dari kaka Mery deng Dalton’, suara mama-mama menyahut. 
‘Mereka biking apa mama?’ Alex batanya. ‘Dorang baca puisi pe bagus sampe mama terharu apalagi deng ada bunga anggrek’, suara mama Lina dari sudut dinding. Seperti membuka forum, Dalton pun tertawa lebih awal dan diikuti mama-mama yang sambil cuci tangan.

‘Ayo, ayo makan dulu baru lanjut bacarita lagi’, suara mama Lina. Denis deng Dalton so mulai makan lebih awal, kaka Mery deng Alex baru buka pembungkus nasi, sementara, mama-mama mo hampir selesai santap dorang pe kasbi rebus deng dabu-dabu.

‘Ayo kitorang lanjut bacarita’, suara mama-mama. ‘Tapi bacarita apa?’ tanya mama Lina. ‘Jadi bagini, kitorang bacarita tentang torang pe tanah papua saja, atau ada yang mau cerita lain?’.

Kaka Mery tiba-tiba bertanya ke Alex. ‘Alex, apa itu bangsa dan pantaskah kitorang orang papua disebut bangsa?’ Jawab Alex, ‘sa masih belum paham’.

‘Nah, diskusi soal bangsa saja kalau bagitu. Minta Denis deng Dalton’.

‘Oke kalau bagitu, kaka Alex setuju’.

‘Bagaimana mama setuju ka tidak?’ tanya kaka Mery. ‘Setuju, setuju, setuju’, suara mama-mama bersahutan.

Alex so buka catatan kecilnya kemudian menjelaskan.

‘Jadi bagini tamang-tamang deng mama-mama. Bangsa itu adalah komunitas yang hidop pake bahasa yang sama, dorang hidop di suatu wilayah yang sama, dorang pe kehidupan ekonomi juga sama, dong pe psikologis yang sama sampe bikin dorang punya budaya juga sama. Jadi bangsa itu sesuatu yang ada dia pe bukti sejarah. Dia itu muncul pada masa bangkitanya kapitalisme.’

‘Kapitalisme itu apa lagi?’, tanya mama Lina. ‘Kapitalisme itu dorang punya duit banyak sampe bisa beli mesin-mesin, bisa beli orang-orang jadi buruh di pabrik atau bisa beli tanah luas untuk tanam kelapa sawit atau gali emas, dorang punya perusahaan. Contoh kaya Freepot’, jelas kaka Mery.

‘Mama so bisa paham ka tidak?’, ‘Sudah, sudah’, jawab mama Lina.

‘Selanjutnya kitorang akan belajar satu per satu dari penjelasan bangsa tersebut. Yang pertama soal bahasa’. Sambil mencatat, kaka Alex disuguh pinang deng siri oleh Denis.

‘Pertama. Sebuah kesamaan bahasa adalah salah satu ciri karakteristik dari sebuah bangsa. Tidak berarti bahwa tidak boleh ada dua bangsa berbicara dalam bahasa yang sama. Orang Inggris deng orang Amerika dorang bicara dalam satu bahasa tetapi dorang tidak menunjukkan sebagai sebuah bangsa yang sama’.

Dalton pun memotong pembicaraan Kaka Alex dengan pertanyaan. ‘Kalau torang orang Papua merdeka nanti torang pake bahasa apa kaka?’

‘Torang bisa pake bahasa Melanesia khas Papua atau bisa pake bahasa Indonesia kalau tidak keberatan’, jawab kaka Alex.

‘Tapi Indonesia itu jajah pa kitorang, masa pake dorang pe bahasa?’ tanya Denis dengan nada suara yang cepat.

‘Ambil contoh, Timor Leste dorang pe bahasa nasional selain Tatum, dorang pake bahasa Portugis. Portugis itu negara yang pernah jajah pa dorang pe tanah air’. Lanjut kaka Alex sambil makan pinang. ‘Tapi kitorang harus jujur bahwa bahasa yang bisa satukan kitorang adalah bahasa Melanesia yang khas Papua’.

‘Bahasa Melanesia yang khas Papua itu bagaimana?’, tanya Denis.

Kaka Alex pun batanya balik ke Denis, ‘Denis so pernah ke pasar atau belum?’,

‘Sudah’, jawab Denis.

‘Yang Denis dengar orang-orang pake bahasa di pasar itu adalah bahasa Melanesia khas Papua. Nanti kalau kitorang so merdeka torang bisa pake bahasa pasar tersebut sebagai bahasa nasional West Papua. Jadi nanti torang so tidak pake lagi kata kamu, mereka atau pergi karena torang so ganti deng kata ko, dorang deng pigi‘. Mama-mama pun rame-rame tertawa mendengar penjelasan kaka Alex.

‘Yang ke dua’, lanjut kaka Alex. ‘Kesamaan teritori, salah satu ciri karakteristik dari sebuah bangsa. Inggris deng Amerika dorang bukan satu bangsa meskipun dorang punya bahasa yang sama. Itu karena dorang tidak hidop bersama atau dorang hidop di wilayah yang berbeda. Sedangkan orang Amerika atau Inggris bisa hidop bersama dalam waktu yang panjang dari nenek moyang ke nenek moyang karena dorang punya kesamaan teritori. Jadi, meskipun saat ini torang deng orang-orang Indonesia punya bahasa yang sama tetapi sesungguhnya torang hidop dalam teritori yang berbeda sejak lama. Sehingga torang bukanlah bagian dari bangsa Indonesia’.

‘Ada pertanyaan?’, tanya kaka Alex. ‘Lanjut, lanjut’, suara kaka Mery dari dapur kecil.
‘Oke, yang ke tiga’.

‘Kesamaan proses ekonomi atau kaka pe kawan-kawan PEMBEBASAN bilang kohesi ekonomi. Jadi kohesi ekonomi tra boleh dianggap hanya hal biasa seperti hanya melakukan aktifitas ekonomi semata atau seperti tanam kasbi deng jual pinang di pasar. Kitorang harus memahami kohesi ekonomi sebagai kesatuan ekonomi-politik deng sosio-ekonomi atau bahasa kawan-kawan PEMBEBASAN antagonisme kelas’.

‘Waduh, mama binngung, istilah apa itu?’, tanya mama Lina.

‘Antagonisme klas itu seperti Freeport yang ambe tong pe emas banyak tapi dorang kase pa kitorang sadiki, dorang bikin miskin pa kitorang, bunuh deng penjara pa kitorang. Kaka Alex pe Maksud torang ini orang yang dapa tindas dari dorang yang punya Freeport. Termasuk yang bekerja di dalam Freeport sebagai buruh pun dorang dapa tindas. Contoh lain, proyek MIFFE yang rampas tong pe sodara-sodara dari suku Mahuze di Merauke. Jadi, bos-bos Freeport deng MIFFE adalah torang pe musuh. Dorang itu bisa ada di torang pe nene moyang pung tanah karena dorang punya uang banyak, dorang bisa bayar pemerintah Indonesia’.

‘Berarti torang pe musuh pemerintah Indonesia juga?’ tanya mama Lina.

‘Ya, betul sekali’, jawab kaka Mery.

‘Bukan cuma itu, torang juga punya musuh di jalan-jalan’, lanjut Dalton.

‘Musuh apa lagi?’, mama Lina batanya lagi.

‘Tentara, toh’, mama jawab Dalton deng sambil kupas kasbi rebus.

Betul-betul itu..suara mama-mama di rumah kecil

‘Mama dengar bae-bae e, yang ke empat. Suatu bangsa dorang punya kesamaan psikologi yang berwujud dalam kesamaan budaya. Kesamaan psikologis ini dia pe makna sama dengan karakter nasional. Kesamaan psikologis ini adalah hasil dari hubungan timbal balik dari tiga hal yang torang so bahas sebelumnya tadi yaitu soal ekonomi politik dan sosial ekonomi, wilayah, deng bahasa. Itulah lahan bagi pertumbuhan kesamaan psikologis atau karakter nasional. Semua di halaman rumah tampak serius seperti nyala api yang serius rebus kasbi di tungku rumah kecil.

Tiba-tiba kaka Alex tunjuk jari: ‘Mery, Kaka Alex mau tanya sesuatu, boleh, toh?’

‘Boleh, boleh’, jawab kaka Mery.

‘Kitorang orang Papua so layak jadi bangsa ka belum?’

‘Menurut saya, dari penjelasan kaka Alex tadi, so bisa tarik kesimpulan bahwa kitorang ini memang so layak untuk disebut bangsa Papua. Sebab kitorang orang Papua so bisa punya bahasa pemersatu kalau pake versi kaka Alex tadi adalah bahasa Melanesia khas Papua, toh. Kemudian kitorang juga so lama hidop dalam satu teritori bersama yaitu di tanah Papua. Selain itu, kitorang pung hidup paling tra rasa nyaman sama sekali karena dijajah oleh pemerintah Indonesia deng perusahaan-perusahaan besar seperti Freeport deng MIFFE di Merauke. Jadi, semua itulah yang bikin kitorang punya kesamaan psikologis yang berwujud dalam kesamaan budaya. Jadi sebenarnya mama-mama, kitorang so pantas untuk bapisah diri dari Indonesia, kitorang so layak untuk merdeka dan menentukan nasib kitorang pe bangsa sendiri yaitu Bangsa Papua’, jawab kaka Mery sambil kupas kasbi rebus.

‘Selain itu’, lanjut kaka Alex, ‘satu hal yang penting juga adalah anak-anak muda Papua, dorang so mulai sadar deng terlibat berorganisasi mendukung pembebasan Papua Barat. Ini adalah gejala psikologis yang paling bagus untuk kitorang samua harus dukung. Kitorang harus dukung perjuangan anak-anak muda. dorang ada yang masuk di Aliansi Mahasiswa Papua, ada yang masuk di Garda Papua deng masih banyak lagi. Inila kunci menuju kitorang pung kemerdekaan’.

Muncul suara teriak dari luar halaman rumah, ‘Freedom for West Papua!‘, yang kemudian disambut rame-rame oleh mama-mama dengan teriakan yang sama. Saat itu, semua orang seperti merasakan kemerdekaan. Satu persatu saling jabat tangan, berpelukan dan meneteskan air mata yang rindu akan kemerdekaan.

Saat itu (kemerdekaan) akan datang. Datang di tanah Papua yang kitorang cintai ini. ‘Freedom for West Papua!‘, teriak Dalton dalam hati sambil memeluk mama Lina.

Diskusi yang panjang mengantarkan mereka sampe pada sore yang cerah. Sore itu juga Mama-mama mengurung niatnya untuk kembali bekerja di kebun kasbi. Mereka pergi membagi-bagi anggrek hutan ke mama-mama yang lain. Dalton, Denis, kaka Alex dan kaka Mery pun ikut terlibat membagi-bagi anggrek hutan. Mereka juga mengajak mama-mama ikut terlibat dalam diskusi-diskusi selanjutnya.

Terimakasih

Posting Komentar

0 Komentar