[ Che Gove ]
Anggrek
Hutan dan Hak Merdeka
Sampai Kami
Sadar Kami Bukan Indonesia. (Dalton)
Pagi ini
matahari tersenyum ramah di antara pohon-pohon kasbi, dan suara kaka tua
datang lebih awal menyapa anak-anak ayam yang tidur lelap di belakang dapur. So
pasti udara pagi selalu bikin kulit kepala saya sejuk, apalagi bunyi air yang
mengalir dari sungai bak dengar lagu sajojo, bikin saya pe hati bahagia
sekali. Bagi saya ini adalah kebahagiaan terindah. Saya bersyukur setiap pagi
selalu dihibur keindahan alam, puisi yang paling alami dari kampung halaman.
Dan hari ini saya so buat satu puisi untuk menghibur mama-mama di kebun
kasbi.
“Sampai kami
Sadar, kami bukan Indonesia”
Pagi ini
matahari tersenyum ramah di antara pohon-pohon kasbi.
Meri deng Denis so bagi-bagi harum wangi anggrek hutan dari lereng gunung Foja.
Mama-mama berselimut embun menanam harapan panen pada batang-batang kasbi.
Anak-anak muda jubi rusa sambil berbalas pantun Melanesia.
Sayur apa saja tumbuh di tanah ini.
Jantung pisang kitorang juga punya.
Sagu bisa bikin kenyang kami.
Tapi kemerdekaan yang datang dari Indonesia?.
Bikin di tanah Papua tumbuh anak-anak kelaparan lalu mati.
Bikin bapak-bapak kami ditangkap, dipaksa tahan lapar dalam penjara.
Bikin kaka-kaka kami dihujat anjing, monyet dan babi.
Sampai bikin kami sadar, kami bukan Indonesia.
Kami belajar dari kemerdekaan. Indonesia yang membakar hangus harga diri.
Sampai bikin bapak-bapak kami sadar, kami harus merdeka.
Sampai bikin kaka-kaka kami sadar, dorang harus berjuang demi harga diri.
Sampai mama-mama kami hidop bahagia di bawah bintang kejora.
‘Sekian,
mama-mama’, Dalton tutup dia pe puisi.
‘Dalton, ko
pe cara baca puisi bagus sekali’. Pujian mama-mama yang sedang panen kasbi.
‘Dalton,
dapa puisi itu dari mana?’, tanya mama-mama.
‘Dari
belakang dapur’, jawab Dalton,
‘Hahahaha,
ko paling bisa saja’, balas mama Lina sambil tertawa.
Kemudian
dari jauh dapa dengar suara kaka Mery panggil. ‘Dalton, Dalton’, ‘kenapa kaka
Mery?’, tanya Dalton.
‘Sini, kaka Meri mau kase Dalton sesuatu
Apa?’ dari jauh Dalton batanya dengan rasa penasaran.
‘Sini cepat sudah’, suara perintah kaka Mery.
Dalton
bergerak mendekati kaka Mery sambil menjulur tangan Dalton minta. ‘Mana kaka?’
‘Sabar, sabar, tapi sebelumnya Dalton harus jawab dulu teka-teki matematika’.
‘Sabar, sabar, tapi sebelumnya Dalton harus jawab dulu teka-teki matematika’.
‘Bagaimana
kaka?’
‘Kalau
sepuluh kurangi nol sama dengan berapa?’, tanya kaka Mery seperti kase putar
Dalton pe otak. ‘Tetap sepuluh toh kaka’,
‘Salah’,
balas kaka Mery.
‘Lalu berapa
kaka Mery?’
‘Kalau
sepuluh kurangi nol berarti tinggal satu, toh. Nol so dapa kurang samua sisa
satu.’ Dalton tertawa.
‘Dalton,
satu itu dia pe makna torang harus bersatu. Seperti anggrek hutan ini. kalau
dia banyak pasti dapa dia indah dan lebih harum, tapi kalau dia cuma setangkai
akan kelihatan seperti orang kesepian. Dia pe harum pun tidak kemana-mana’,
jelas kaka Mery.
‘Tapi
sebenarnya kaka Mery mau kase Dalton apa?’
‘Anggrek
hutan, Dalton mau?’ kaka Mery batanya.
‘Mmm, supaya
adil, Dalton mau tukar deng Puisi’. Dalton kemudian menaruh sehelai kertas di
atas paha kaka Mery.
‘Terimakasih
Dalton’, sambil tangan buka puisi, kaka Mery kase anggrek hutan ke Dalton.
Pagi itu
Dalton deng kaka Mery sibuk keliling kampung baca puisi sambil bagi-bagi
anggrek hutan ke mama-mama.
Ibu-ibu
merasa terhibur dengan bunga dan puisi. Mereka sangat gembira mendengar puisi
yang dibaca kaka Mery. Sampai pada bunga terakhir, di ujung kampung dari arah
yang berlawanan muncullah kaka Alex. Mereka saling tegur dan baku tanya kabar.
Sementara matahari sangatlah jujur terhadap kehidupan, dan waktu telah pergi
meninggalkan kehidupan pagi.
‘Saatnya
makan’, teriak Denis dari kejauhan.
Mereka semua
gembira melihat Denis, mama-mama so mulai buka mereka punya makanan. ‘Ayo,
makan’, teriak mama-mama dari rumah kecil di pinggir kebun kasbi. ‘Ayo kitorang
gabung saja’, ajak kaka Alex. ‘Hari ini hari yang sangat spesial’kata kaka
Alex. ‘Kenapa kaka?’, tanya Denis. ‘Karena kita bisa makan sama-sama deng
mama-mama di kebun kasbi’.
‘Selain itu
kita juga tadi so dapa hibur dari kaka Mery deng Dalton’, suara mama-mama
menyahut.
‘Mereka
biking apa mama?’ Alex batanya. ‘Dorang baca puisi pe bagus sampe mama terharu
apalagi deng ada bunga anggrek’, suara mama Lina dari sudut dinding. Seperti
membuka forum, Dalton pun tertawa lebih awal dan diikuti mama-mama yang sambil
cuci tangan.
‘Ayo, ayo
makan dulu baru lanjut bacarita lagi’, suara mama Lina. Denis deng Dalton so
mulai makan lebih awal, kaka Mery deng Alex baru buka pembungkus nasi,
sementara, mama-mama mo hampir selesai santap dorang pe kasbi rebus deng
dabu-dabu.
‘Ayo
kitorang lanjut bacarita’, suara mama-mama. ‘Tapi bacarita apa?’ tanya mama
Lina. ‘Jadi bagini, kitorang bacarita tentang torang pe tanah papua saja, atau
ada yang mau cerita lain?’.
Kaka Mery
tiba-tiba bertanya ke Alex. ‘Alex, apa itu bangsa dan pantaskah kitorang orang
papua disebut bangsa?’ Jawab Alex, ‘sa masih belum paham’.
‘Nah, diskusi
soal bangsa saja kalau bagitu. Minta Denis deng Dalton’.
‘Oke kalau
bagitu, kaka Alex setuju’.
‘Bagaimana mama setuju ka tidak?’ tanya kaka Mery. ‘Setuju, setuju, setuju’, suara mama-mama bersahutan.
Alex so buka
catatan kecilnya kemudian menjelaskan.
‘Jadi bagini
tamang-tamang deng mama-mama. Bangsa itu adalah komunitas yang hidop pake
bahasa yang sama, dorang hidop di suatu wilayah yang sama, dorang pe kehidupan
ekonomi juga sama, dong pe psikologis yang sama sampe bikin dorang punya budaya
juga sama. Jadi bangsa itu sesuatu yang ada dia pe bukti sejarah. Dia itu
muncul pada masa bangkitanya kapitalisme.’
‘Kapitalisme
itu apa lagi?’, tanya mama Lina. ‘Kapitalisme itu dorang punya duit banyak
sampe bisa beli mesin-mesin, bisa beli orang-orang jadi buruh di pabrik atau
bisa beli tanah luas untuk tanam kelapa sawit atau gali emas, dorang punya
perusahaan. Contoh kaya Freepot’, jelas kaka Mery.
‘Mama so
bisa paham ka tidak?’, ‘Sudah, sudah’, jawab mama Lina.
‘Selanjutnya
kitorang akan belajar satu per satu dari penjelasan bangsa tersebut. Yang
pertama soal bahasa’. Sambil mencatat, kaka Alex disuguh pinang deng siri oleh
Denis.
‘Pertama.
Sebuah kesamaan bahasa adalah salah satu ciri karakteristik dari sebuah bangsa.
Tidak berarti bahwa tidak boleh ada dua bangsa berbicara dalam bahasa yang
sama. Orang Inggris deng orang Amerika dorang bicara dalam satu bahasa tetapi
dorang tidak menunjukkan sebagai sebuah bangsa yang sama’.
Dalton pun
memotong pembicaraan Kaka Alex dengan pertanyaan. ‘Kalau torang orang Papua
merdeka nanti torang pake bahasa apa kaka?’
‘Torang bisa
pake bahasa Melanesia khas Papua atau bisa pake bahasa Indonesia kalau tidak
keberatan’, jawab kaka Alex.
‘Tapi
Indonesia itu jajah pa kitorang, masa pake dorang pe bahasa?’ tanya Denis
dengan nada suara yang cepat.
‘Ambil
contoh, Timor Leste dorang pe bahasa nasional selain Tatum, dorang pake bahasa
Portugis. Portugis itu negara yang pernah jajah pa dorang pe tanah air’. Lanjut
kaka Alex sambil makan pinang. ‘Tapi kitorang harus jujur bahwa bahasa yang
bisa satukan kitorang adalah bahasa Melanesia yang khas Papua’.
‘Bahasa
Melanesia yang khas Papua itu bagaimana?’, tanya Denis.
Kaka Alex
pun batanya balik ke Denis, ‘Denis so pernah ke pasar atau belum?’,
‘Sudah’,
jawab Denis.
‘Yang Denis
dengar orang-orang pake bahasa di pasar itu adalah bahasa Melanesia khas Papua.
Nanti kalau kitorang so merdeka torang bisa pake bahasa pasar tersebut sebagai
bahasa nasional West Papua. Jadi nanti torang so tidak pake lagi kata kamu,
mereka atau pergi karena torang so ganti deng kata ko, dorang
deng pigi‘. Mama-mama pun rame-rame tertawa mendengar penjelasan
kaka Alex.
‘Yang ke
dua’, lanjut kaka Alex. ‘Kesamaan teritori, salah satu ciri karakteristik dari
sebuah bangsa. Inggris deng Amerika dorang bukan satu bangsa meskipun dorang
punya bahasa yang sama. Itu karena dorang tidak hidop bersama atau dorang hidop
di wilayah yang berbeda. Sedangkan orang Amerika atau Inggris bisa hidop
bersama dalam waktu yang panjang dari nenek moyang ke nenek moyang karena
dorang punya kesamaan teritori. Jadi, meskipun saat ini torang deng orang-orang
Indonesia punya bahasa yang sama tetapi sesungguhnya torang hidop dalam
teritori yang berbeda sejak lama. Sehingga torang bukanlah bagian dari bangsa
Indonesia’.
‘Ada
pertanyaan?’, tanya kaka Alex. ‘Lanjut, lanjut’, suara kaka Mery dari dapur
kecil.
‘Oke, yang
ke tiga’.
‘Kesamaan
proses ekonomi atau kaka pe kawan-kawan PEMBEBASAN bilang kohesi ekonomi. Jadi
kohesi ekonomi tra boleh dianggap hanya hal biasa seperti hanya melakukan
aktifitas ekonomi semata atau seperti tanam kasbi deng jual pinang di pasar.
Kitorang harus memahami kohesi ekonomi sebagai kesatuan ekonomi-politik deng
sosio-ekonomi atau bahasa kawan-kawan PEMBEBASAN antagonisme kelas’.
‘Waduh,
mama binngung, istilah apa itu?’, tanya mama Lina.
‘Antagonisme
klas itu seperti Freeport yang ambe tong pe emas banyak tapi dorang kase pa
kitorang sadiki, dorang bikin miskin pa kitorang, bunuh deng penjara pa
kitorang. Kaka Alex pe Maksud torang ini orang yang dapa tindas dari dorang yang
punya Freeport. Termasuk yang bekerja di dalam Freeport sebagai buruh pun
dorang dapa tindas. Contoh lain, proyek MIFFE yang rampas tong pe sodara-sodara
dari suku Mahuze di Merauke. Jadi, bos-bos Freeport deng MIFFE adalah torang pe
musuh. Dorang itu bisa ada di torang pe nene moyang pung tanah karena dorang
punya uang banyak, dorang bisa bayar pemerintah Indonesia’.
‘Berarti
torang pe musuh pemerintah Indonesia juga?’ tanya mama Lina.
‘Ya, betul
sekali’, jawab kaka Mery.
‘Bukan cuma
itu, torang juga punya musuh di jalan-jalan’, lanjut Dalton.
‘Musuh apa
lagi?’, mama Lina batanya lagi.
‘Tentara,
toh’, mama jawab Dalton deng sambil kupas kasbi rebus.
Betul-betul
itu..suara mama-mama di rumah kecil
‘Mama dengar
bae-bae e, yang ke empat. Suatu bangsa dorang punya kesamaan psikologi yang
berwujud dalam kesamaan budaya. Kesamaan psikologis ini dia pe makna sama
dengan karakter nasional. Kesamaan psikologis ini adalah hasil dari hubungan
timbal balik dari tiga hal yang torang so bahas sebelumnya tadi yaitu soal
ekonomi politik dan sosial ekonomi, wilayah, deng bahasa. Itulah lahan bagi
pertumbuhan kesamaan psikologis atau karakter nasional. Semua di halaman rumah
tampak serius seperti nyala api yang serius rebus kasbi di tungku rumah kecil.
Tiba-tiba
kaka Alex tunjuk jari: ‘Mery, Kaka Alex mau tanya sesuatu, boleh, toh?’
‘Boleh,
boleh’, jawab kaka Mery.
‘Kitorang
orang Papua so layak jadi bangsa ka belum?’
‘Menurut
saya, dari penjelasan kaka Alex tadi, so bisa tarik kesimpulan bahwa kitorang
ini memang so layak untuk disebut bangsa Papua. Sebab kitorang orang Papua so
bisa punya bahasa pemersatu kalau pake versi kaka Alex tadi adalah bahasa
Melanesia khas Papua, toh. Kemudian kitorang juga so lama hidop dalam satu
teritori bersama yaitu di tanah Papua. Selain itu, kitorang pung hidup paling
tra rasa nyaman sama sekali karena dijajah oleh pemerintah Indonesia deng
perusahaan-perusahaan besar seperti Freeport deng MIFFE di Merauke. Jadi, semua
itulah yang bikin kitorang punya kesamaan psikologis yang berwujud dalam
kesamaan budaya. Jadi sebenarnya mama-mama, kitorang so pantas untuk bapisah
diri dari Indonesia, kitorang so layak untuk merdeka dan menentukan nasib
kitorang pe bangsa sendiri yaitu Bangsa Papua’, jawab kaka Mery sambil kupas
kasbi rebus.
‘Selain
itu’, lanjut kaka Alex, ‘satu hal yang penting juga adalah anak-anak muda
Papua, dorang so mulai sadar deng terlibat berorganisasi mendukung pembebasan
Papua Barat. Ini adalah gejala psikologis yang paling bagus untuk kitorang
samua harus dukung. Kitorang harus dukung perjuangan anak-anak muda. dorang ada
yang masuk di Aliansi Mahasiswa Papua, ada yang masuk di Garda Papua deng masih
banyak lagi. Inila kunci menuju kitorang pung kemerdekaan’.
Muncul suara
teriak dari luar halaman rumah, ‘Freedom for West Papua!‘, yang kemudian
disambut rame-rame oleh mama-mama dengan teriakan yang sama. Saat itu, semua
orang seperti merasakan kemerdekaan. Satu persatu saling jabat tangan,
berpelukan dan meneteskan air mata yang rindu akan kemerdekaan.
Saat itu
(kemerdekaan) akan datang. Datang di tanah Papua yang kitorang cintai ini. ‘Freedom
for West Papua!‘, teriak Dalton dalam hati sambil memeluk mama Lina.
Diskusi yang
panjang mengantarkan mereka sampe pada sore yang cerah. Sore itu juga Mama-mama
mengurung niatnya untuk kembali bekerja di kebun kasbi. Mereka pergi
membagi-bagi anggrek hutan ke mama-mama yang lain. Dalton, Denis, kaka Alex dan
kaka Mery pun ikut terlibat membagi-bagi anggrek hutan. Mereka juga mengajak
mama-mama ikut terlibat dalam diskusi-diskusi selanjutnya.
Terimakasih
0 Komentar