Melangkah ke Dunia Luas, Impian dan Pergulatan Anak-anak Papua


 Perensi By Royani Lim
Sastra Papua---ANDA termasuk yang suka makan kolak? Pernahkah sekali waktu bertanya, kenapa pisang yang sudah masak itu kok perlu dimasak lagi?

Gugatan itu yang rupanya muncul di Nabire, Papua, dan tersaji dalam buku Melangkah ke Dunia Luas karya Johanes Supriyono. Penulis menyajikan paparan tentang cara pandang anak Papua yang kadang membuat kita senyum dikulum. Seperti sepenggal kisah keengganan menunggu kolak pisang itu. Mengapa pisang yang telah masak itu perlu dimasak lagi?

Seorang yang lain, tidak sabar menunggu kolak, bersuara keras, “Bawa kemari pisang itu sudah.”

“Untuk apa?,” tanyaku.

“Dimakan to!” cepat sekali Dorteus menyahut.

Buku Melangkah ke Dunia Luas merupakan kumpulan cerita pendek pengalaman dua tahun penulis bergaul dengan anak-anak Papua di Nabire selama menjalani tugas sebagai pendamping asrama mereka di SMA YPPK Budi Luhur. Ada 40 kisah nyata yang menyentuh dan terkadang menyentak nurani kita.

Simbol kemajuan
Siapa mengira, seperti kata penulis, kalau beras menjadi simbol kemajuan. Tulisnya, oran tua di Papua suka menasehati anaknya belajar rajin agar menjadi pegawai dan bisa makan nasi, bukan ubi.

Apa yang salah?
Dalam ‘Logika dari Hutan’ kita diajak memahami cara pikir Pilipus yang ketika haus lebih memilih memetik buah kelapa muda daripada merebus air minum. Karena untuk merebus air, ia harus menyiapkan kayu bakar, mengambil air dari tangki, membuat api, dan air mendidih itu masih perlu ditunggu sebentar sebelum bisa diminum.
Kalau ada yang mudah, untuk apa menempuh jalan yang sulit? (Logika dari Hutan).

Wawasan kedekatan dengan alam itu telah membentuk pola pikir dan perilaku yang bagi kita mungkin dianggap kemalasan semata.

Persepsi beda
Apakah berarti Pilipus yang akrab dipanggil Phil itu pemalas? Tentu bukan kalau kita membaca lebih lanjut riwayat hidupnya dalam kisah Diasuh oleh Alam.
Phil sejak SD bekerja mencukupi biaya sekolahnya dengan mencari kayu ke hutan untuk dijual. Phil merupakan pahlawan bagi dirinya sendiri; ia tidak mau menjadi korban keluarganya yang retak. Semangat hidup yang luar biasa walaupun secara intelektual dia tidak menonjol. Walaupun pengalaman keras sepanjang hidupnya berdampak membuatnya tidak mudah mendengarkan orang lain. Ia memang jarang mendapatkan kebaikan dari orang secara gratis.(Hlm. 26)

Kita diajak memahami cara pandang sebagian orang Papua terhadap perempuan yang masih ‘primitif’, begitu jauh dari logika peradaban modern kita. Perempuan itu serupa mesin cuci .. perempuan itu lebih rendah sehingga pantasnya menjadi abdi laki-laki (Hlm. 32 Nasib Kalau tak Ada Perempuan).

Hal ini seakan kontras dengan kenyataan bahwa perempuan diperbolehkan sekolah setinggi-tingginya di sana. Tetapi rupanya sebagian alasan yang mendasarinya adalah uang!

Mahar mengawini seorang perempuan Papua ditentukan oleh tingkat pendidikannya; seorang tamatan SMP dihargai sekitar 15 juta, sedangkan yang bergelar doktoranda dinilai 30 juta. Maka bagi sebagian masyarakat Papua menyekolahkan perempuan seakan sedang menanam modal yang dipetik pada hari pembayaran maskawin.

BUDAYA denda yang menonjol terjadi di Papua antara lain diceritakan dalam kisah Mengail dari Denda.

Orang merasa dirugikan karena menjadi korban kecelakaan, kejahatan, atau kelalaian. Misalnya, anak dari suatu keluarga meninggal karena tabrakan. Keluarga itu akan menuntut supir yang menabraknya. Tidak berhenti di situ rupanya, kalau anak itu ternyata mabuk, keluarga akan turut menuntut teman-teman si anak yang dianggap membuat anak itu jadi mabuk!

Kisah menarik mengenai lompatan teknologi yang dialami oleh beberapa anak asuhan penulis diceritakan dengan jenaka sekaligus membuat kita miris. Sepeda yang bagi kita merupakan hal yang bisa dikategorikan kuno sekarang ternyata baru pertama kali dilihat oleh Hengky, Dorteus, Selpianus, Yerino, dan Sisco ketika mereka masuk SMA di Nabire.

Tidak bisa membaca
Masalah pendidikan diurai dengan begitu gamblang oleh penulis. Siapa yang patut disalahkan ketika lulusan SMP daerah terpencil tidak bisa membaca dengan baik, belum pernah belajar bahasa Inggris, tidak bisa perhitungan dasar setingkat anak SD, serta mengganggap kalimat ‘Bapak membunuh babi’ sama dengan kalimat ‘Babi membunuh bapak’ – keduanya sama-sama menyatakan bahwa yang mati adalah si babi? Toh dalam satu kesempatan peresmian gedung perkantoran, seorang pejabat tinggi di tingkat kabupaten dengan berwibawa memaklumatkan ‘dengan pita ini saya menggunting gedung baru ini’.

Sudah lumrah anak yang belum bisa membaca dan menulis dengan lancar dinyatakan lulus SMP, anak yang nilainya di bawah kursi jongkok alias 4 bisa naik kelas tiap tahun. Kita dibawa menghayati bagaimana pendidikan di Budi Luhur asuhan Ordo Jesuit ini mempertahankan idealisme pendidikan dengan kosekuensi tiap tahun ada anak yang tidak naik kelas, ada yang tidak lulus ujian nasional. Perjuangan para guru membantu anak didiknya belajar materi yang selayaknya sudah dikuasai ketika SD dan SMP tetapi harus dikejar sekarang ketika dia sudah duduk di SMA.

Apakah ada harapan di Papua, kalau membaca buku tersebut kita mendapat jawaban: Ada. Seperti kisah Arnoldus, anak suku Moni yang berhasil melarang tantenya mengikuti adat memotong jari kelingkingnya sebagai tanda berkabung atas meninggalnya anak laki-lakinya. Arnoldus sudah mulai mempertanyakan budaya yang dipegang sukunya, termasuk juga penetapan denda yang terkesan sesuka hati yang mendenda.

Buku kecil ini menyentak kita dengan kisah-kisah sederhana yang mengalir dengan lancar, membuat kita masuk dalam pergolakan yang dialami anak-anak maupun sang penulis. Lalu kita terhenyak betapa beruntungnya kita yang tidak dilahirkan sebagai mereka, betapa hebatnya kita dan betapa harusnya kita bersyukur dengan segala hal yang buat kita merupakan hal ‘biasa’ ternyata merupakan hal yang lebih dari ‘luar biasa’ di sana.

Buku yang perlu dibaca oleh orang yang peduli dengan sesamanya, orang yang ingin hidupnya berguna bagi orang lain, orang yang berusaha bersyukur atas karunia hidup yang diberikan Yang di Atas.

Selamat membaca.

http://www.sesawi.net/2011/10/10/melangkah-ke-dunia-luas-impian-dan-pergulatan-anak-anak-papua-1/

Posting Komentar

0 Komentar