“Seni membuat orang peka dan menyadari
ketidakberesan dalam hidupnya. Seni bisa membuat setiap orang memberontak dan
melawan sesuatu yang menindas”- Saut Situmorang
foto; |
Ko"Sapa-Yogya-,Setiap penyair yang dikenal dalam dunia
sastra Indonesia memiliki keunikan. Keunikan itu dapat dijumpai dalam bentuk
karya sastra yang dihasilkannya. Karakter tulisan seorang penyair bisa
merepresentasikan sikapnya dalam menanggapi perkembangan dunia sastra Indonesia
yang konon telah tercemar oleh berbagai kepentingan.
Pada masa Orde Baru, dunia sastra
Indonesia didominasi oleh para sastrawan yang mengusung mazhab ‘seni untuk
seni’. Dalam perkembangannya, muncul seorang penyair ala Rastafarian yang
berbeda sikap dalam menanggapi isu itu. Ia dikenal sebagai penyair yang berani
menentang apolitisasi seni oleh Orde Baru.
Penyair sekaligus politikus sastra yang lahir
di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 29 Juni 1966 ini memiliki semangat yang unik
dalam hidup dan karyanya. “Lawan!” adalah kata yang cocok untuk menggambarkan karakter penyair bernama lengkap
Saut Situmorang ini.
Bang Saut, begitu ia akrab disapa,
menjelaskan bahwa seni diciptakan bukan sekedar menghibur pembaca, tetapi
membuat orang berpikir tentang sesuatu yang ditulis. Setelah berpikir, orang
akhirnya menyadari persoalan hidup seperti ketertindasan, perampasan dan
kekuasaan.
“Salah satu hukum seni adalah seni
diciptakan bukan untuk menghibur saja, man. Seni mengajak kau berpikir karena
ada persoalan yang terjadi dalam masyarakat,” ucapnya.
Begitulah bang Saut dengan santai
berwacana soal sastra yang menjadi bagian dari seni. Dengan gaya rastaman
sembari mengepulkan asap kretek, ia mulai membagikan pengetahuannya. Suara yang
keluar dari tenggorokannya terdengar penuh energi.
Obrolan kami berlanjut pada persoalan
esensi sebuah seni. Seni bukan soal hal yang segalanya diindahkan seperti karya
para novelis pop zaman sekarang yang mendapat gelar Best Seller. Menurut bang
Saut, karya best seller yang ringan dan populer bukanlah seni, juga bukan
sastra.
“Seni tidak sekedar hadir untuk menghibur
tapi mengajak kita untuk berpikir dan berdiskusi. Karya pop zaman sekarang
hanya menghibur, hanya memaparkan persoalan di awal yang menjadi latar cerita
saja,” ungkapnya.
Ia menyebutkan bahwa Andrea Hirata adalah salah satu novelis
pop yang karyanya tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah karya sastra.
Persoalan kemiskinan yang dimunculkan dalam novel Laskar Pelangi tidak dibahas
akar permasalahannya tetapi hanya menganjurkan orang berusaha agar keluar dari
kemiskinan. “Ini kan cuman menghibur orang agar bisa kerja keras, tapi nyatanya
ada orang miskin yang berusaha keras namun gak kaya juga.”
Menurutnya,
persoalan harus juga dilihat lebih dalam lagi seperti dampak kemiskinan yang
terkait dengan sistem kekuasaan kapitalisme.
Kontras dengan novel populer, novel yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer menurut bang Saut adalah contoh karya sastra
besar. Sebab, Pram mengajak kita berpikir tentang persoalan di bumi kita. “Isu
seperti rasisme, feodalisme dibahas Pram dalam Tetralogi Buru. Ia mengajak kau
berpikir tentang kenyataan yang terjadi di masyarakat. Itulah karya sastra,”
tegasnya.
Bang Saut memberi contoh karya lain,
yakni sebuah film Italia yang digarap pada zaman Musolini berjudul ‘Pencuri
Sepeda’. Saat itu, orang sulit mencari pekerjaan. Salah satu pekerjaan yang
bisa didapat adalah sebagai pengantar pos yang harus punya sepeda. Dengan susah
payah, karakter utama pengantar pos di film itu membeli sepeda. Sayangnya,
sepeda miliknya malah dicuri orang. Demi mempertahankan hidup dan tidak
kehilangan pekerjaan, ia akhirnya mencuri sepeda orang lain. Saat sedang
mencuri, ia ditangkap massa.
“Itu baru seni, cerita dari persoalan
hidup yang nyata. Yang kayak gitu terjadi loh dan sangat manusiawi,” ucap bang
Saut. Begitulah yang dapat dilihat sebagai perbedaan dari karya seni dan karya
pop. Keduanya mempunyai dunia sendiri, tidak bisa dicampuradukkan.
Persoalannya, saat ini, seni mulai
dikacaukan. Orang yang baru saja menulis tentang sesuatu yang indah namun bukan
seni mengklaim dirinya seniman. “Yah kayak Andrea Hirata. Setelah mendapat
gelar Best Seller ia menjadi kaya dan tulisannya diterjemahkan ke dalam lima
bahasa. Kalau mau dibandingkan, karya Pram diterjemahkan ke dalam puluhan
bahasa tapi nggak cuma bergelar Best Seller. Itulah seniman man, hahaha,” bang
Saut tertawa.
***
Proses berkarya bang Saut sendiri
dimulai ketika ia berkuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Sumatra
Utara, Medan pada 1986. Usai S1, bang Saut merantau selama sebelas tahun ke
New Zealand. Kala itu, bang Saut tak sempat menuntaskan S2nya di bidang Film
and Creative Writing. Namun, di Negeri Kiwi, ia sempat mengajar bahasa dan
sastra Indonesia di almamaternya, Victoria University of Wellington dan
University of Auckland.
Di New Zealand, bang Saut semakin aktif
berkarya di bidang sastra. Ia aktif terlibat dalam dunia poetry-reading di bar
dan café kota Wellington dan Auckland. Selain itu, ia makin produkif menulis
karya sastra. Ia gemar menulis haiku.
“Haiku adalah sajak pendek dari Jepang
yang sangat mementingkan imajinasi. Bila haiku bisa menunjukkan suatu imajinasi
yang bagus, itu sangat luar biasa maknanya, begitu membosankan, ikan
emas berenang mengukur aquarium,” bang Saut merapal haiku bikinannya berjudul
“Such Boredom” yang versi aslinya berbahasa Inggris.
Keseriusannya menekuni sastra membuahkan
hasil. Haiku karyanya, Such Boredom, menjadi pemenang pertama lomba Haiku
International Poetry Society pada 1992. Sebagai karya terbaik, haiku bang Saut
dikoleksi oleh museum Haiku di Kyoto, Jepang. Tak hanya itu, atas kreativitas
seninya, bang Saut dianugerahi “Poetry Award” oleh almamaternya: Victoria
University of Wellington (1992) dan University of Auckland (1997).
Puas merantau ke negeri orang, bang Saut
berlayar ke Bali. Ketika itu, ia bekerja sebagai redaktur majalah Bali Echo
serta Surf Time. Bosan dengan rutinitas keredaksian, bang Saut memutuskan
pindah ke Yogyakarta pada 2002. Bang Saut sempat menjadi dosen S2 Ilmu Religi
dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta selama setahun. Lepas setahun,
pekerjaan mengajar tak lagi ia tekuni.
Kesibukan bang Saut sekarang adalah
menulis karya dan kritik sastra. Ia aktif menulis cerita pendek, esai dan
puisi. Sampai sekarang, banyak karya telah dihasilkannya.
“Pada dasarnya saya penulis fulltime di
Kompas, Tempo, dan Suara Merdeka. Saya juga sering diundang menjadi pembicara
seminar sastra,” ceritanya. Sambil tersenyum, ia mengatakan bahwa ia biasa
mencipta puisi saat mabuk. Imajinasi dalam benaknya muncul sebanyak buih bir
yang sedang diminumnya.
Sebagai sastrawan sekaligus pelaku seni,
bang Saut tegas berpendapat bahwa seni membuat orang peka dan menyadari
ketidakberesan dalam hidupnya. Baginya, seni bisa membuat setiap orang
memberontak dan melawan ketertindasan. “Dalam seni sastra, orang peka untuk
berevolusi, menuntut sebuah perubahan dengan rumusan mazhab cendekiawan sama
dengan revolusi,” ucapnya lantang. Begitulah, Saut si penyair berambut gimbal
berkisah.(Dedi
Lolan)
0 Komentar