S A L I, 6 --Kisah Seorang Wanita Suku Dani



ENAM

Bibi dan Gayatri tengah menimang-nimang bayi kecil di teras rumah. Dalam pakaian lembut berwarna merah muda bayi itu telah menjelma menjadi boneka cantik yang menggemaskan. Gayatri tertawa girang ketika bayi kecil itu menghisap susu dengan lahap. Rumah  yang semula sunyi ini menjadi ramai dengan tangis dan kesibukan mengurus makhluk kecil tak bersalah itu. Tiba-tiba sesosok bayangan muncul dengan sebuah suara, “Selamat sore”.

Suara itu mengejutkan Gayatri, ia segera mengalihkan perhatian pada sumber suara. Bias sinar matahari di belakang sosok itu mengaburkan objek pandangan. Dokter itu memicingkan sepasang mata, perlahan-lahan ia mulai dapat mengenali si pemilik suara. Seorang pemuda berseragam militer berwarna daun dengan dua balok pada pundaknya. Pemuda itu tersenyum, menampakkan sepasang lesung pipi, sejenak Gayatri tertegun, ia seakan telah mengenali sosok itu pada jarak yang amat dekat dan tak asing lagi.

“Apa kabar?” pemuda itu mengulurkan tangan. “Saya Herlambang, kita dulu  bertemu di pesawat”.

Gayatri sadar akan keterkejutan itu, nalarnya bekerja dengan cepat, ingatannya kembali pada suasana di pesawat. Yah, benar. Pemuda itu duduk di jok sebelah kiri sampai ia mendarat di landasan pacu bandara Wamena.

“Gayatri”, dokter itu menjabat tangan Herlambang, ia merasakan genggaman tangan yang kuat seakan menyangga kerapuhannya.

“Semua orang di lembah ini mengenalmu, terlebih setelah perjalanan yang nekad itu”, Herlambang memainkan mata dengan jenaka, Gayatri tunduk tersipu.

Bibi menyerahkan bayi pada Gayatri, ia segera berlalu ke dapur dan muncul tak lama kemudian dengan sepoci teh panas, cangkir, dan sekotak kue kering. Ia mengambil bayi itu dari pangkuan Gayatri dan menghilang ke dalam ruangan. “Bayi siapa itu?” Herlambang mengalihkan pembicaraan.

“Bayiku”.

“Bayimu?”

Untuk yang kesekian kali Gayatri melihat pandang keheranan orang lain, karena jawabannya. “Ia anak kembar, harus dipisahkan dari saudaranya, maka aku mengambilnya”, Gayatri mendengar sebuah hembusan napas panjang, ia pun kembali pada penampilan sehari-hari dengan kontrol diri yang kuat.

“Siapa namanya?”

Pertanyaan itu membuat Gayatri tersentak, ia belum memberi nama anak itu. Tali pusarnya sudah hampir putus, ia harus segera memberi nama. Gayatri termangu-mangu, sebelum akhirnya menjawab. “Ia akan kuberi nama Kelila. Kelila Sari”.

“Nama yang manis. Okey Gay, kuharap engkau tidak berkeberatan dengan kedatanganku, untuk kali ini dan kali yang lain lagi. Aku harus informasikan, kau dan rombongan menginap di pondok antara Kobakma dan Pass Valley pada malam Jumat. Dua hari kemudian, tepatnya pada malam Minggu, ada satu kelompok separatis bersenjata lengkap, menginap di pondok yang sama. Ini laporan intelejen, aku tak menakut-nakutimu. Untung kau selamat, tapi lain kali lebih baik engkau tak mengulangi, terlalu berbahaya. Engkau tak benar-benar mengenal tempat ini. Seluruh orang di Wamena ini mengakui keberanian atau kenekatanmu. Tapi ingat, nyawamu hanya satu. Kau ingat kasus-kasus penculikan yang pernah terjadi? Aku selalu berharap, hal semacam itu tak akan pernah menimpamu”, Herlambang menatap wajah di seberang meja, hatinya bergetar, ia seakan telah berjumpa pada sosok yang selalu hadir dalam mimpi. Seraut wajah lembut dengan mata jernih dan sorot mata memancarkan kecerdasan. Ia tak akan pernah melepaskan.

Di lain pihak Gayatri terdiam, ia merasa wajahnya memucat, jantungnya berdebar lebih kencang, dan ketakutan mengancam. Ia telah melakukan hal yang terlalu berani, merambah hutan dan melewatkan malam bersama orang yang tak benar-benar dikenal. Seandainya ia berpapasan dengan kelompok separatis itu …”Terima kasih infonya, tapi aku melakukan semua itu demi Kelila”, Gayatri tak dapat menyembunyikan ketakutan.

“Maksudmu?”

”Aku harus secepatnya kembali ke Wamena untuk menolong kelahirannya, sebab itu aku terpaksa berjalan kaki. Kalau aku masih harus menunggu pesawat, tak mungkin aku dapat mengambilnya. Mari tehnya”, Gayatri menuang teh ke dalam cangkir dan mempersilakan Herlambang meminumnya. Ia tak mengenal benar tamu yang duduk di depannya, tapi tiba-tiba ia merasa begitu dekat. Dokter itu pernah merasakan sebuah kekosongan yang mengerikan pada suatu hari yang harus dilupakan. Kini kekosongan itu mendadak telah terisi. Gayatri menatap sosok di depannya, udara lembah yang dingin perlahan-lahan berubah menjadi hangat.

Mereka saling bertukar cerita sekitar satu jam, ketika suasana telah menjadi temaram, Herlambang berpamit pulang. “Aku harap engkau tak berkeberatan, apabila suatu saat aku datang lagi ke mari”, Herlambang menggenggam tangan Gayatri erat, ia merasakan kehangatan merambat perlahan, menyusup ke dalam tulang belulang. Gayatri tak menjawab, ia hanya tersenyum, dan senyum itu telah menjadi sebuah jawaban, sehingga Herlambang meninggalkan rumah itu dengan langkah riang.

Herlambang teringat pada hari-hari pertama ketika ia mendapat tugas di tempat ini. Satu hal yang dapat ia kerjakan adalah mengutuk. Ia seakan merasa tersesat ke dalam kehidupan masa purba dan ditarik undur ke dalam situasi zaman batu. Herlambang menghabiskan hari-hari dengan membaca buku setelah patroli yang melelahkan. Kalau saja ia dapat menjawab “tidak!” untuk selembar surat perintah. Tapi sejak kapan seorang prajurit dapat berkata “tidak!?” hanya ada satu jawaban yang dapat ia berikan bagi perintah komandan, “siap!” tanpa kecuali.

Tapi pada hari pertama ketika ia mengenal seorang dokter wanita di pesawat, maka kutukan itu segera berubah menjadi rasa syukur. Ia tak lagi terlempar ke masa lalu, tapi telah berdiri di muka pintu masa depan, dengan satu syarat, dokter itu akan menguak kedua tangannya. Herlambang memantau keadaan Gayatri sambil mencari-cari alasan untuk mengunjungi, dan hari ini ia telah memperoleh alasan itu, juga alasan untuk kunjungan pada hari berikutnya.

 ***

Bayi Kelila semakin besar, cantik, dan lucu. Ia memperoleh gizi dan perawatan yang sangat baik dari tangan seorang dokter dan hati yang diliputi kasih sayang. Tak ada tanda-tanda, bahwa makhluk kecil ini pada prinsipnya berasal dari sisa kehidupan masa lampau, karena ia telah berada pada perawatan tangan yang mengerti. Kehadiran Herlambang seakan telah menjadi pengganti akan sosok seorang ayah. Pada  waktu-waktu senggang Herlambang memang datang berkunjung dengan hadiah-hadiah kecil di tangan dan suasana di dalam rumah itu segera menjadi semarak.

Herlambang dan Gayatri tak banyak berkata-kata, tapi bahasa tubuh telah saling bicara, mereka memerlukan antara satu dengan yang lain. Pada hari-hari yang cerah mereka akan membawa Kelila pergi berkeliling kota, seolah sebuah keluarga, dan masyarakat di lembah itu menanggapinya dengan keramahan. Senyum dan tegur sapa membuat Gayatri mengerti, bahwa ia telah diterima menjadi bagian hidup di tempat ini. Ada kalanya pula Herlambang dan Gayatri hanya pergi berdua, menatap Wamena kota dari sebuah ketinggian pada sebuah tempat yang bernama Habama. Namun ada kalanya berhari-hari Herlambang tak menampakkan diri, tak juga menelepon. Ia sibuk dengan tugas dan tak pernah menyampaikan apa pun pada Gayatri tentang pentingnya tugas itu. Gayatri memaksakan diri untuk mengerti, ia memahami arti sebuah rahasia. Dan bersibuk diri dengan mengurus Kelila.

Suatu hari ketika Gayatri tengah menggendong Kelila di bawah pohon alpokad , tiba-tiba Liwa telah berdiri di depan pintu. Wanita itu telah menjadi sosok rupa yang tua dengan Sali dan pakaian amat kusut. Liwa diam mematung tak bergerak dan tak berkata-kata. Pandangan matanya tak pernah lepas dari Kelila, ia mencoba mengenali anak yang pernah dilahirkan. Bibir tebal wanita itu menampakkan senyum, ketika akhirnya ia dapat mengenali boneka cantik yang tengah dipandangnya.

“Mama”, Gayatri setengah berteriak menyambut kedatangan Liwa. Tergesa ia membuka pintu pagar mempersilakan Liwa masuk.

“Anak”, Liwa memeluk Gayatri kemudian kembali menatap bayi sehat yang nyata-nyata amat terawat. “Apakah ia bayi yang telah ….?” Liwa ragu-ragu, sejak hari kelahiran itu ia selalu didera rindu kepada makhluk tak berdosa yang pernah bersemayam di dalam rahimnya. Hari ini rindu tak tertahan lagi. Tanpa terasa mata Liwa menjadi basah. Ia melihat keadaan dirinya, tangannya legam dan kasar, karena kerja kebun sehari-hari kemudian ia melihat bayi dengan kulit halus dan pakaian yang lembut itu. Liwa undur satu langkah, ia tak pantas menyentuhnya, bayi itu menebarkan aroma bunga, kulitnya amat bersih. Sungguh berbeda dengan bayi yang ia  besarkan di dalam silimo.

“Ia telah menjadi anak saya, namanya Kelila. Tentu mama tetap sebagai ibu, dan boleh mengunjungi sewaktu-waktu”, Gayatri tersenyum, ia ragu untuk memberikan Kelila kepada Liwa, ia tak berpikir buruk, tetapi betapa kotor badan Liwa, tak mungkin bayi sehat itu diserahkan kepada wanita yang tak merawat dirinya dengan baik. Akhirnya Gayatri mengambil jalan tengah. “Mari, mama langsung ke dalam minum teh”, Gayatri mempersilakan Liwa masuk, memberinya segelas teh dan makanan kering. Setelah Liwa meneguk teh dan mencicipi kue, Gayatri member Liwa pakaian ganti dan mempersilakan wanita itu mandi.

Tak lama kemudian Kelila telah berada dalam gendongan Liwa, wanita itu tampak demikian bahagia, karena telah mendekap kembali anak kesayangannya. Senyum polos di bibir Liwa dan matanya yang berkaca-kaca telah cukup mengisyaratkan keharuannya. Gayatri membiarkan Liwa menumpahkan rindu, mendekap Kelila berjam-jam lamanya hingga bayi manis itu tertidur dan Liwa pun mengakhiri kunjungannya. Sikap ramah Gayatri membuat Liwa tak menghentikan kunjungannya, ia kembali datang pada minggu-minggu berikut dengan bermacam hasil bumi di tangan. Liwa bukan hanya menjaga Kelila, ia juga membantu Bibi merawat tanaman, mencuci pakaian bayi, dan membersihkan halaman rumah. Demikian Liwa melakukan hal serupa berulang-ulang hingga berbulan-bulan sampai Kelila dapat berjalan dan terus bertumbuh.

Sementara Herlambang secara rutin terus mengunjungi Gayatri, kehadirannya  telah mengganti peran seorang bapak bagi Kelila. Pada hari libur seharian Herlambang akan berada seharian bersama Gayatri, setelah itu ia pun kembali menghilang untuk berminggu-minggu lamanya. Ketika kembali, maka wajah Herlambang berubah menjadi sedemikian lelah, sementara mulutnya terbungkam. Gayatri tak berani bertanya lebih lanjut, ia hanya menerka-nerka kemudian terdiam.

Gayatri pun tenggelam dalam tugas-tugas rutin, sesekali ia menjadi dokter terbang dengan sambutan hangat masyarakat yang mengesankan. Masyarakat yang memberi sekaligus berharap terlalu banyak dari kehadirannya dan membawanya pada satu kesimpulan, betapa sulit sebenarnya persoalan yang dihadapi. Ia bersyukur memiliki seorang Herlambang. Waktu dan kesibukan tak memungkinkan keduanya untuk selalu bertemu. Tapi pertemuan pada waktu-waktu tertentu sudah cukup sebagai arti, bahwa ia masih amat berharga dan dapat menentukan kehidupan seseorang. Segalanya berjalan dengan wajar dan menggairahkan.

Akan tetapi, situasi di dalam lembah tiba-tiba berubah cepat. Harga Sembilan bahan pokok dan segala macam harga kebutuhan hidup membumbung demikian tinggi, semakin hari harga barang semakin melambung mencapai titik yang mengerikan. Gayatri terhenyak dengan gaji pegawai tidak tetap yang diterima setiap bulan. Jumlah itu tak mencukupi lagi untuk menutup seluruh pegeluaran dengan seorang Kelila yang harus dibesarkan. Sementara di layar kaca tampak mahasiswa melakukan unjuk rasa hingga berbulan-bulan lamanya dengan satu tuntutan: Turunkan Presiden! Pada Mei 1997 satu rezim yang berkuasa lebih dari tiga decade dengan akibat krisis moneter yang mengancam kehidupan bernegara, tumbang!

Wakil presiden menggantikan posisi kepala Negara. Atas desakan public Pemilihan Umum 1999 kembali diselenggarakan. Jajak pendapat di Timor Timur dimaklumkan dan provinsi itu terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa peovinsi mengajukan tuntutan yang sama termasuk Aceh dan PapuaIrian Jaya—di setiap tempat mulai muncul isyu Papua Merdeka. Suasana wamena yang ramah dan bersahaja secara perlahan-lahan mulai berubah menjadi ganjil dan menggelisahkan. Ketertinggalan dan kesengsaraan penduduk setempat telah berubah menjadi pijar api yang melanggengkan diri di dalam sekam, sehingga tiupan angin sepoi-sepoi saja sudah cukup buat mengobarkannya. Gayatri merasa tanah yang dipijak seakan berubah menjadi bara, ia terperangkap ke dalam gelisah dan cemas yang berkepanjangan. Sementara Herlambang lebih sering menghilang. Segala sesuatu yang dikerjakan menjadi rahasia.

Gayatri menatap Bibi dan Liwa dengan gamang semula ia tak pernah menyadari perbedaan yang ada. Sekarang ia harus mengerti, bahwa perbedaan itu benar ada, dan persoalannya ia tak pernah dapat memahami isi hati orang lain. Gayatri merasa limbung pada tempatnya berpijak, ia pernah berniat meneruskan karir di lembah ini, tapi niat itu harus dipertanyakan kembali. Di kabupaten lain kerusuhan telah terjadi, korban berjatuhan. Tanda-tanda serupa terjadi pula di Wamena dengan isyu perbedaan ras dan agama. Gayatri hanya dapat berkeluh kesah dengan Hera, selebihnya ia termangu-mkangu. Ada sebuah tawaran untuk mengambil spesialis di luar negeri dari sebuah donatur, Gayatri menimbang-nimbang tawaran itu. Sementara hari-hari terus berlalu.


Bersambung (Bagian VII)

***


Posting Komentar

0 Komentar